"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 11
Ariella tidak menangis dan ia menatap lurus ke mata hijau Carlton.
"Apa yang kau tuduhkan itu tidak benar. Aku hanya gadis biasa yang dililit hutang, aku tidak tahu soal rencana-rencana pria bernama Tora yang kau katakan itu! Aku bahkan tidak tahu siapa dia!"
"Maka kau akan kuberitahu seperti apa dia."
Mereka sampai di kediaman Carlton yang megah, dan di sana Ariella diseret menuju sebuah kamar.
Pintu ditutup dengan kasar, lalu gadis itu didorong nyaris seperti dilempar ke atas tempat tidur oleh Carlton. Pria itu menggeram marah karena Ariella tidak ingin jujur padanya.
"Aku tahu, kau bersembunyi di balik wajah lugu dan sedih itu untuk menjebakku!"
"Tidak! Lepaskan aku, biarkan aku pergi!"
"Kau rela melakukan apa pun untuk uang, bukan begitu? Bagaimana kalau kau membuka pahamu untukku? Aku bisa membayarmu sangat mahal. Aku bisa memberi apa yang tidak dapat diberikan Tora."
"Hentikan!"
Ariella tersentak mundur, ia mendorong tubuhnya menjauh dari Carlton, dari tangannya yang mencoba meraih.
Ariella berhasil menghindar, tetapi hanya beberapa saat saja sebelum ia tertangkap, dan Carlton yang marah berada di atasnya. Napas kasar pria itu menampar wajah Ariella bagaikan udara panas yang membakar, dan Ariella ketakutan setengah mati.
"Lepaskan aku!"
"Apa mereka menyentuhmu?"
"L-lepaskan aku!"
"Jawab aku!"
Mata hijau Carlton semakin menggelap. Tidak pernah Carlton merasa begitu kesal, marah, dan juga bernafsu seperti saat ini. Ia kesal karena Tora mempermainkannya, ia marah karena melihat anak buah pria itu hampir memperkosa Ariella.
Jika benar itu hanya kebohongan, kenapa tadi Ariella terlihat begitu ketakutan? Tetapi wanita memang pandai berakting bukan? Bisa saja Ariella hanya mencoba membuat scenario agar dia bebas dari tuduhan sebagai mata-mata Tora.
Hari itu, saat Carlton berada di apartemennya dan menemukan Ariella di ruang tamu. Ia tahu persis bahwa Ariella menguping, gadis itu waspada, dan begitu tegang. Carlton terlalu peka untuk mengabaikannya.
"Mereka akan melakukannya jika kau tidak datang."
"Benarkah? Atau justru kalian akan bersenang-senang setelahnya?"
"Brengsek!"
Ariella memberontak, tetapi tidak dapat melakukan lebih jauh selain membuang-buang tenaganya saja. Kedua tangan Ariella masih diborgol, dan saat ini Carlton memenjarakan Ariella menggunakan tubuhnya yang tinggi dan berat. Menatap gadis di bawahnya dengan ancaman mematikan.
"Apa yang Tora inginkan darimu, Ariella? Aku tahu kenapa kau tidak punya tato, karena kau bukan bagian dari mereka, tetapi kau akan bekerja untuk mereka. Benar begitu?"
"Tidak, sudah kukatakan tidak!"
"Katakan padaku!"
"Kau tidak akan melakukan itu. Aku tidak bersalah, aku...."
Sebelum Ariella dapat menyelesaikan ucapannya, mulutnya sudah disumpal oleh bibir Carlton Rutherford, yang begitu panas dan kasar, menuntut, mendominasi, memaksa Ariella menerimanya.
Gadis itu mengemukakan protes, kepalanya menggeleng ke kanan dan kiri, tetapi Carlton segera menahan kepalanya agar tetap diam, mulutnya dibuka lebar-lebar, melahap Ariella seolah ia setitik air di tengah gurun. Melahapnya dengan gemas.
Tubuh Carlton mengencang oleh gairah membara saat ia bersentuhan dengan Ariella dalam sentuhan yang intim untuk pertama kali, dan rasanya sungguh menakjubkan. Ariella hangat, dan gadis itu terasa seperti permen yang dingin dan manis.
Carlton mencoba untuk mendapatkan lebih banyak, karena menempelkan bibir saja tidak cukup, ia ingin berbagi saliva dengan Ariella, ingin merasakan lidah gadis itu di lidahnya, ingin merasakan erangan dan juga rintihan saat berada di bawahnya.
Gadis itu seolah menjadi hal baru bagi Carlton, dan ia tidak berniat untuk berhenti. Ia menginginkan lebih, lebih dari sekadar mencium, lebih dari sekadar merasakan, ia ingin menguasai Ariella, menguasai tubuhnya, pikirannya, hidupnya.
Obsesi.
Apakah ia mulai terobsesi?
Carlton memang pria penuh obsesi, tetapi Ia tidak pernah terobsesi dengan seorang gadis.