Rojak adalah pemuda culun yang selalu menjadi bulan-bulanan akibat dirinya yang begitu lemah, miskin, dan tidak menarik untuk dipandang. Rojak selalu dipermalukan banyak orang.
Suatu hari, ia menemukan sebuah berlian yang menelan diri ke dalam tubuh Rojak. Karena itu, dirinya menjadi manusia berkepala singa berwarna putih karena sebuah penglihatan di masa lalu. Apa hubungannya dengan Rojak? Saksikan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sugito Koganei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11 - Apa yang terjadi di masa lalu?
Darah masih menetes dari pedang Regulus ketika ia berdiri di hadapan monster belalang berzirah Mars. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, sementara kegelapan malam hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkedip-kedip. Di sampingnya, Vina yang sebelumnya ceria, kini terlihat sangat serius. Aura gotiknya semakin kuat, membuat Regulus semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak ia pahami dari gadis ini.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Regulus, masih mencoba memahami situasi.
Vina menoleh sekilas, tatapannya tajam.
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kita harus bertarung!”
Regulus tidak membantah. Dia tahu bahwa bertanya terlalu lama hanya akan memberi kesempatan bagi musuh mereka untuk menyerang lebih dulu. Dengan sigap, mereka berdua mengambil posisi. Regulus berhadapan dengan monster belalang itu, sementara Vina menghadapi dukun tua yang berdiri tidak jauh dari sana.
Monster belalang itu meraung, armor berkilauan dengan warna merah kecoklatan seperti permukaan Mars. Makhluk itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang Regulus dengan cakarnya yang tajam. Regulus menghindar dengan lompatan cepat, lalu membalas dengan serangan pedangnya. Namun, setiap tebasannya mengenai zirah monster itu tanpa menghasilkan luka berarti.
Sementara itu, Vina bertarung dengan dukun tua yang melepaskan semburan energi hitam dari tongkatnya. Vina menghindar dengan lincah, namun ia tahu bahwa lawannya bukanlah sembarang dukun. Dukun ini memiliki pengalaman dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Regulus mulai berpikir keras. Jika zirah monster ini berasal dari teknologi atau sihir dukun, maka pasti ada sumber daya yang mengaktifkannya. Dia mengamati gerakan monster itu, lalu memperhatikan sesuatu di pinggangnya yaitu sebuah gawai kecil yang berkedip-kedip dengan warna merah.
“Itu dia!” gumamnya.
Dengan cepat, Regulus menggunakan jurusnya.
"Regulus Thousand Stab!"
Dalam sekejap, pedangnya bergerak begitu cepat hingga menciptakan ilusi seribu tebasan sekaligus. Serangan itu menghantam titik lemah monster, menghancurkan gawai yang mengaktifkan zirah Mars.
Monster itu mengeluarkan suara nyaring, tubuhnya mulai bergetar hebat. Tanpa ragu, Regulus segera mengaktifkan jurus lainnya, Regulium Beam.
"Regulium beam!" teriak Regulus.
Dari ujung pedangnya, sebuah sinar laser biru terang ditembakkan langsung ke tubuh monster yang kini tak terlindungi. Monster belalang itu menjerit sebelum akhirnya meledak menjadi abu.
Di sisi lain, Vina terus bertarung dengan dukun tua itu. Serangan demi serangan dukun itu semakin cepat, membuat Vina harus menggunakan seluruh kekuatan telekinesisnya. Ia mengangkat tubuh dukun tua itu dengan pikirannya, lalu menghantamnya ke tanah dengan kekuatan penuh.
Dukun itu terguling, wajahnya menampakkan keputusasaan. Ia mencoba kabur, tetapi Vina sudah lebih dulu bertindak. Ia meraih tongkat sihir dukun itu, lalu melemparkannya seperti tombak ke arah dada nenek tua itu.
“CROT!”
Tongkat itu menembus jantungnya. Dukun itu terdiam, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke tanah, tak bernyawa.
Keheningan menyelimuti medan pertarungan. Regulus menatap sekeliling, memastikan tidak ada ancaman lagi. Perlahan, energi bertarungnya mulai mereda. Dia kemudian merasakan tubuhnya melemah, kembali ke bentuk aslinya sebagai Rojak.
Dia menoleh ke Vina. Gadis itu berdiri dengan napas terengah-engah. Pandangannya mulai kabur, tubuhnya melemah setelah mengerahkan seluruh kekuatannya.
“Hei Seraphina.” panggil Rojak.
Vina berusaha berbicara, tetapi tubuhnya tidak mampu bertahan. Kepalanya terasa berat, pandangannya semakin gelap. Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk ke tanah, pingsan.
Vina terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, seolah baru saja mengalami mimpi yang panjang dan melelahkan. Tubuhnya terasa lemas, dan ada sesuatu yang dingin menyentuh kulitnya. Saat matanya mulai bisa beradaptasi dengan cahaya remang-remang di ruangan itu, ia menyadari bahwa dirinya tidak berada di tempat yang ia kenal.
Seorang wanita paruh baya sedang duduk di sampingnya, tangannya dengan lembut menyeka wajah dan lengannya menggunakan kain basah. Wanita itu tampak peduli, meskipun wajahnya menyiratkan sedikit kebingungan. Vina berusaha menggerakkan tubuhnya, namun rasa lemah masih mendominasi tubuhnya.
Wanita itu menyadari gerakannya dan tersenyum lembut.
"Kamu sudah bangun, Nak?"
Vina menatap wanita itu dengan penuh kebingungan.
"Aku... di mana ini?" suaranya terdengar serak.
"Kamu ada di rumah kami," jawab wanita itu.
"Aku Diah, ibunya Rojak, temanmu. Rojak dan Poppy membawamu kesini." Jelasnya.
Vina mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Pertarungan sengit dengan Dukun tua dan monster belalang itu terbayang kembali di benaknya. Ia ingat bagaimana ia mengerahkan seluruh kekuatannya hingga akhirnya kelelahan dan kehilangan kesadaran. Dan sekarang, ia berada di rumah Rojak, dirawat oleh keluarganya.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua memasuki ruangan sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air hangat.
"Kakak Vina sudah bangun?" tanya gadis kecil itu dengan wajah berbinar.
"Aku bawakan makanan supaya Kakak cepat sembuh."
Diah tersenyum melihat kedatangan putrinya.
"Poppy, letakkan saja di meja samping. Biarkan Vina beristirahat sebentar."
Poppy menurut dan meletakkan nampan di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia kemudian duduk di pinggir kasur, memperhatikan Vina dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kak Vina udah gapapa kan sekarang?"
Vina tersenyum lemah.
"Terima kasih, Poppy."
Diah kemudian berdiri.
"Aku akan turun sebentar. Kalian berdua mengobrol saja dulu. Jika ada apa-apa, panggil aku."
Diah meninggalkan ruangan dan berjalan menuruni tangga. Ia menuju ke dapur, di mana suaminya, Tono, dan putranya, Rojak, sedang duduk sambil menikmati teh hangat. Diah langsung menghampiri mereka.
"Rojak, siapa sebenarnya Vina itu?" tanyanya langsung.
Rojak, yang sedang menyeruput tehnya, hampir tersedak mendengar pertanyaan ibunya. Ia segera meletakkan cangkirnya dan menatap ibunya dengan waspada.
"Kenapa, Bu?"
"Aku hanya merasa ada yang aneh dengan anak itu," lanjut Diah.
"Kelakuannya agak berbeda... seperti bukan anak biasa."
Tono, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, ikut berkomentar.
"Mungkin saja dia memiliki indera keenam. Ada orang yang memang terlahir dengan bakat istimewa seperti itu."
Rojak menghela napas. Ia tahu bahwa Vina bukan orang biasa. Namun, ia tidak bisa mengungkapkan semuanya kepada kedua orang tuanya. Mereka belum mengetahui tentang identitasnya sebagai Regulus, apalagi tentang dunia supranatural yang selama ini ia hadapi.
Sementara itu, di kamar atas, Poppy masih terus berbicara dengan Vina. Gadis kecil itu tampaknya sangat senang mendapatkan teman baru di rumahnya.
"Kakak harus makan malam bersama kami nanti." ujar Poppy tiba-tiba.
Vina menggeleng lemah.
"Gausah lah. Takut ngerepotin. Lagi pula, tadi kan aku juga udah makan di kasih sama kamu."
"Ah, tidak masalah! Lagi pula, makanan buatan Ibu jauh lebih enak kalau dimakan bersama," Poppy merajuk.
"Tolong, Kak? Sekali saja?"
Vina terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
"Yaudah deh..."
Malam itu, Vina akhirnya duduk di meja makan bersama keluarga kecil itu. Mereka mengobrol santai tentang banyak hal. Namun, tiba-tiba Poppy menanyakan sesuatu yang membuat suasana berubah.
"Kakak Vina... kenapa Kakak tahu kalau Abang Rojak itu sebenarnya Regulus?"
Suasana meja makan mendadak hening. Mata Diah dan Tono membulat. Mereka menatap Vina dan Rojak dengan ekspresi penuh kebingungan.
"Regulus? Siapa itu?" tanya Tono.
Rojak terkejut. Ia tak menyangka Poppy akan menanyakan hal seperti itu di depan kedua orang tua mereka.
Vina menatap Rojak sekilas sebelum akhirnya menutup matanya dan mengangkat tangannya perlahan. Seketika, Tono dan Diah langsung tertidur di tempat.
Rojak membelalakkan mata.
"Vin! Lu apain nyokap sama bokap gua?!"
"Tenang saja." jawab Vina.
"Mereka hanya tertidur selama satu jam. Ini satu-satunya cara agar kita bisa berbicara dengan leluasa."
Rojak menghela napas panjang. Ia tahu bahwa malam itu, akan ada banyak hal yang harus dijelaskan.
“Jak."
Vina memanggil Rojak, lalu menghela nafas sejenak, kemudian ia berbicara.
“Gue akan menceritakan mengenai Regulus.”
“Bagaimana ceritanya? Gue cuma tahu Regulus itu siluman singa dari zaman kolonialisme.”
Vina menarik napas panjang, lalu mulai mengisahkan sejarah yang telah lama terkubur di balik waktu.
"Pada zaman dahulu, di era Batavia, banyak masyarakat pribumi hidup dalam kesengsaraan akibat penjajahan Belanda. Mereka diperlakukan tak ubahnya seperti binatang. Diskriminasi terjadi di mana-mana, keadilan hanyalah ilusi belaka. Namun, di tengah penderitaan itu, ada seseorang yang memilih untuk melawan, seorang pendekar muda yang dihormati."
Rojak menyimak dengan saksama. Ia merasa seakan dirinya sudah pernah mendengar kisah ini, tetapi entah di mana dan kapan.
"Pendekar muda ini namanya adalah Solihin, putra seorang pemuka agama terhormat di desa itu. Mereka berdua berjuang untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Namun, saat itu ada seorang dukun yang berusaha mencari jalan pintas. Ia membuka portal ke dunia lain dan memanggil monster yang memiliki kekuatan luar biasa, berharap makhluk itu akan membantunya melawan para penjajah."
Rojak merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Ada sesuatu dari cerita ini yang terasa begitu dekat dengannya.
"Namun, banyak yang menolak tindakan dukun itu. Mereka tahu, meminta bantuan dari dunia lain bisa membawa kehancuran yang lebih besar. Maka, pendekar muda itu bersama Solihin memutuskan untuk mengakhiri nyawa sang dukun. Mereka berhasil, tapi sebelum mati, dukun itu sempat melepaskan sesuatu dari portal tersebut, salah satu monster yang bernama Regulus."
Vina menatap Rojak dengan penuh makna.
"Regulus bukan monster biasa. Ia adalah makhluk berwujud singa yang mampu menguasai pedang dengan ilmu tertinggi. Dan dalam pertempuran itu, Regulus masuk ke dalam tubuh Solihin. Mereka menjadi satu kesatuan. Dengan kekuatan barunya, Solihin yang telah bersatu dengan Regulus berhasil menyapu bersih pasukan Belanda, nyaris menggulingkan Hindia Belanda."
Rojak mulai merasa dadanya sesak, seakan ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya.
"Lalu, apa yang terjadi setelahnya?"
Vina tersenyum miris.
"Dukun yang mereka bunuh tak sepenuhnya mati. Ia bangkit kembali, dibantu oleh kekuatan iblis yang mengikat jiwanya. Dan lebih dari itu, ia dibayar oleh Jenderal Belanda untuk menghentikan Solihin. Dengan kekuatan hitamnya, dukun itu menciptakan sebuah lubang hitam dari dalam sebuah berlian. Dan dalam sekejap, Regulus terserap ke dalamnya, meninggalkan dunia ini... hingga akhirnya, berlian itu ditemukan olehmu."
Rojak membelalakkan matanya. Ia meraba dadanya sendiri, di mana ia tahu ada sesuatu yang berbeda sejak ia menelan batu aneh itu.
“Ya. Memang benar jika di dalam berlian itu terdapat Regulus. Regulus pernah ngedatengin gw di mimpi.”Ucapnya.
“Terus dia bilang ap...”
Belum sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba Vina merasakan sakit pada dadanya.
“Vina? Vina? Lu kenapa?”tanya Rojak.
“Kak Vina? Kak Vina?”
Apa yang terjadi pada Vina?
Bersambung