NovelToon NovelToon
L'Oubli

L'Oubli

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dela Tan

Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.

L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Season 1 ; Bab 18 - Duduk Dalam Bayangan

Murni berusaha menepis tuduhan itu, bergumam sendiri. “Ah tidak tidak! Itu hanya rasa penasaran, karena lelaki itu terlalu misterius dan mengundang rasa ingin tahu.”

Namun, bagaimana pun mulutnya ingin mengingkari, baik kepala maupun hatinya tidak bisa mengingkari.

Meskipun begitu, ia tetap bersikeras.

Ingin menguji. Apakah benar itu cinta, atau… hanya rasa penasaran.

Malam itu, angin terasa lebih lambat, seperti segan bergerak. Warung Murni berdiri dalam diam, namun lampunya menyala seperti biasanya.

Murni mendorong pintu kayu yang makin lama makin rapuh itu. Lonceng kecil di ambang pintu berdenting pelan, seolah bisikan lirih dari jauh.

Di dalam warung tampak kosong. Tak ada pelanggan, tidak ada suara kompor menyala. Hanya satu lilin di atas meja, berpendar lemah, seolah malas menerangi tempat itu.

“Mahanta?” Murni memanggil ragu.

“Kau sudah di sini?” suara Mahanta terdengar dekat, seolah di samping telinganya.

Murni tersentak menoleh. Mahanta berdiri di belakangnya, bukan di balik meja yang memisahkan mereka seperti biasa. Untung saja ia tidak menabrak lelaki itu.

Wajah Mahanta tak seperti biasanya. Bukan senyum sinis atau sorot dingin, tapi... tenang.

“Warung tidak buka malam ini.” Lelaki itu melanjutkan.

“Kau menyalakan lampu, tapi tidak buka warung?”

Mahanta mengangkat bahu. “Kadang tempat ini butuh hening.”

Murni duduk di meja biasa, namun kali ini Mahanta tidak pergi ke dapur. Dia duduk bersamanya. Di sampingnya. Begitu dekat. Lilin di antara mereka membuat bayangan menari-nari di dinding, seolah dua roh sedang bercakap dalam dimensi lain.

Mereka sama-sama membisu, membiarkan hening membungkus keduanya cukup lama.

Detak jantung Murni mulai tidak beraturan. Baru kali ini mereka duduk bersisian. Murni melirik tangannya dan tangan Mahanta yang terletak di meja. Hampir tidak berjarak. Dan hawa dingin merayap di punggungnya, membuatnya merasa meriang.

Akhirnya Mahanta bertanya, “Kenapa kau terus datang ke sini?”

Karena duduk bersisian, ketika bicara mereka harus saling menoleh pada satu sama lain.

Murni menoleh, dan mendapati tatapan lelaki itu sangat dalam, memandangnya lekat, seolah bisa menemukan jawaban atas pertanyaan itu di wajah Murni.

Murni seketika menunduk, merasa salah tingkah. Baru kali ini ia merasa serba salah seperti ini, membuatnya gugup.

“Aku sendiri tidak tahu.” Suaranya sehalus kepakan sayap nyamuk. “Mungkin karena kau membuatku... ingin tahu.”

“Bahaya,” ucap Mahanta.

“Apa?” Murni mendongak. Kali ini ia melihat lelaki itu sedang tersenyum, bukan senyum tipis yang berusaha disamarkan, melainkan senyum… entahlah, mencemooh sekaligus menggoda? Yang jelas kata-katanya bukan sebuah peringatan yang mengancam.

“Apakah kau pernah mendengar peribahasa ‘rasa ingin tahu membunuh kucing’?”

“Oh…” Murni mengembuskan napas, terpancing untuk balas menggoda. “Tapi tidak ada kucing di sini, jadi tidak akan ada yang terbunuh.”

“Hm… cerdas.” Ujar Mahanta.

Tiba-tiba, angin bertiup dari celah jendela. Lilin berkedip. Murni berusaha menutupi api agar tak padam. Mahanta refleks menjulurkan tangan untuk membantu. Pada saat bersamaan.

Jari mereka bersentuhan.

Kilat.

Bukan kilat yang tampak. Tetapi kedipan rasa yang terlalu cepat dan dalam. Seperti gempa kecil yang hanya bisa dirasakan oleh dua hati yang tak ingin saling tahu, tapi tak bisa menghindar.

Mereka sama-sama menarik tangan masing-masing secepat itu terjadi.

Namun, kesunyian menjadi tebal. Udara berubah. Lilin tetap menyala, tapi dunia di sekeliling mereka terasa lain.

Murni tidak bisa menahan pertanyaan yang sudah lama mengganggu.

“Kamu sendiri kenapa di sini, Mahanta? Maksudku... sejak kapan dan sampai kapan?”

Wajah Mahanta menegang sejenak. Tapi bukan karena marah. Ia hanya terlihat... lelah. “Mungkin… suatu saat kau akan tahu. Atau mungkin tidak.”

“Jawaban dan kata-katamu yang selalu mengambang itulah yang membuatku ingin tahu. Apakah kau sengaja memancing agar aku terus datang?” Entah mendapat keberanian dari mana, Murni menumpahkan pertanyaan itu.

“Menurutmu? Bukankah aku sudah mengatakan agar kau jangan kembali? Bahkan baru malam kemarin aku menyuruhmu segera pulang.”

Murni seketika merasa malu. Benar, Mahanta telah berkali-kali mencegahnya datang ke sini. Bagaimana bisa ia menuduh lelaki itu memancingnya agar ia datang? Ia datang atas kehendak sendiri. Atas dorongan yang tidak mampu ia hentikan, yang tidak ingin ia tolak.

“Maaf,” Murni menunduk.

“Tidak perlu minta maaf.” Suara Mahanta sangat lembut, seolah lelaki itu sangat menyesal telah menyerangnya. “Meskipun aku mengatakan semua itu, kau tetap diterima di sini.”

“Tapi kau tetap tidak bersedia menjawab pertanyaanku?” Murni kembali mengangkat kepala.

Mereka berpandangan. Tapi bibir Mahanta masih terkunci.

“Bolehkah aku masuk ke dapurmu?” tanya Murni tiba-tiba.

Mahanta menoleh, “Kenapa?”

“Aku ingin tahu apa yang kau simpan di sana. Bukan makanan. Tapi… rahasia.”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Tetapi tiba-tiba saja Murni sudah berada di bagian dalam meja. Mahanta membuka tirai tipis dapur, dan mendahului masuk. Murni mengikutinya.

Di dapur hanya ada cahaya dari lilin, membuat semuanya tampak temaram. Kompor besar, rak rempah-rempah aneh, dan sebuah meja potong kayu yang entah kenapa... memberi kesan seperti altar.

Murni berjalan mendekat ke salah satu toples rempah. Tangannya menyentuh permukaan kaca. Mahanta mendekat, berdiri di belakangnya, tidak sampai sejengkal. Murni seolah merasakan napas lelaki itu di tengkuknya. Meskipun ia tahu itu hanya perasaannya saja.

“Hati-hati. Jika pecah rempah itu... bisa membakar.”

Murni menoleh kaget, toples itu hampir terlepas dari tangannya. Mahanta buru-buru menangkapnya. Tangan mereka bersinggungan. Wajah mereka hampir bersentuhan.

Keduanya membeku. Tidak ada yang bergerak.

Tatapan mereka saling terisap. Tidak dalam birahi, bukan nafsu, tapi dalam ketertarikan yang mengancam untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih liar dari akal.

Murni menahan napas, memaksakan kalimat dengan susah payah. “Apakah... kau juga akan membakarku, Mahanta?”

Mahanta tak menjawab. Hanya tangannya bergerak pelan, menyentuh pergelangan tangan Murni.

Sangat ringan, nyaris tak terasa, namun cukup untuk menyampaikan satu pesan:

"Aku tak bisa."

Dan mungkin, "Tapi aku ingin."

Lalu dia menjauh seketika. Kehangatan itu lenyap begitu saja, seperti kabut pagi yang dipaksa pergi oleh matahari.

Dan Murni merasa… seolah ada yang hilang dari hatinya.

Dan itu terasa… nyeri.

“Pulanglah,” ucap Mahanta, lirih. Lalu dia berbalik, meninggalkan Murni di tengah dapur sendirian.

Murni menunduk, tapi tersenyum tipis. Ia tahu ia tak akan berhenti datang.

Karena setiap sentuhan, setiap tatapan, membuatnya merasa semakin hidup. Padahal warung ini adalah tempat jiwa-jiwa tersesat singgah untuk terakhir kali.

Malam menyaksikan mereka dari kejauhan. Menunggu siapa yang akan jatuh lebih dulu.

Di kegelapan, dari balik jendela warung, Mahanta menatap punggung Murni yang perlahan menghilang dalam kabut. Dalam benaknya, ada suara bergema.

'Belum waktumu.'

Ia menunduk, menatap telapak tangannya sendiri.

Dan untuk sesaat...

Bayangan kuku tajam dan kulit membara tampak di permukaan kulitnya.

Ia mengerjap. Bayangan itu hilang. Dadanya turun naik. Seolah napasnya sesak. Seolah... dirinya sendiri mulai ingin bangkit.

1
adi_nata
baru bab awal aura misterinya sudah sangat pekat.
💕💕syety mousya Arofah 💕💕
kok pas nmne Salman kek anakku 🙈🙈
💕💕syety mousya Arofah 💕💕: hrusnya jgn slman thorrr...Salman itu artinya minta aman dn keselamatan...nanti KLO pke slman jdi GK sesuai..haiiishhh.,galau q thorrr...tpi GK PP..cuma crita kug y
Dela Tan: Haha... otor ngebayangin profilnya Salman Khan, serem kan?
total 2 replies
Ryan Jacob
semangat Thor
Jati Putro
setiap nyawa yg di selamatkan ,
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
Jati Putro
mungkin murni reinkarnasi dari wanita yg terbakar ,
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
Jati Putro
Kalimat jangan bermakna dilarang
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran
Nike Raswanto
wow.....keren ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!