Ratu Esme Coventina Vasilica dieksekusi oleh suaminya sendiri, Raja Stefan Vasilica karena dituduh membunuh anak raja.
Anak raja yang berasal dari selir Jenna itu akan jadi putra mahkota dan akan duduk di tahta selanjutnya. Keputusan itu diambil karena Ratu Esme dinyatakan oleh tabib tidak akan bisa mengandung selamanya alias mandul.
Karena dianggap membunuh keturunan raja, Esme yang merupakan seorang ratu tetap tidak lepas dari hukuman.
Namun ketika ekseskusi akan dimulai, sebuah senyum licik dari Jenna membuat Esme merasa bahwa semua ini tidak lah benar. Dia sendiri tidak pernah merasa membunuh anak dari suaminya itu.
" Jika aku diberi kesempatan untuk hidup kembali, maka akan ku balas semua rasa sakit dan penghinaan ini."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reyarui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Queen 25
"Selamat siang Tuan Marquis, saya diutus oleh Baginda Raja untuk menjemput Selir Jenna. Bisakah Anda memanggilkan Selir Jenna. Baginda ingin segera bertemu."
Peter berangkat sendiri untuk menjemput Jenna. Bukannya dia kurang kerjaan, atau juga sedang menganggur. Semua itu dilakukannya agar penjemputan Jenna bisa dilakukan hari itu juga. Jenna harus segera kembali ke istana untuk mengerjakan bagiannya. Maka dari itu tidak boleh ada alasan besok ataupun ditunda.
"Ba-baik Tuan Ajudan. Silakan tunggu sebentar. Saya akan memanggilkan Jenna."
Drap drap drap
Marquis Rosen Arcarito sangat terkejut ketika melihat Peter di depan rumahnya.Tidak ada pemberitahuan lebih dulu, dan orang-orang itu tiba-tiba muncul. Tentu ini akan menjadi gawat jika apa yang mereka rencanakan tercium oleh Peter. Bisa-bisa mereka dihukum dengan berat.
"Panggilkan Jenna,"ucap Marquis Rosen kepada pelayan yang saat ini berdiri di depan kamar Jenna."
"Ta-tapi Tuan Marquis, Nona sedang ... ."
Sang pelayan tidak mampu melanjutkan ucapannya. Pasalnya apa yang dilakukan Jenna di dalam kamar adalah hal yang tabu untuk diucapkan.
Marquis Rosen membuang nafasnya kasar. Dia tidak menyangka Jenna berbuat berlebihan dari apa yang dia harapkan. Anaknya ini malah menikmati apa yang diperintahkan.
Namun saat ini bukan waktunya Jenna melakukan terus kenikmatan itu, kini dia waktunya kembali ke istana untuk dapat bisa menjalankan misi selanjutnya.
Blaaak!
"A-ayah."
"Bersihkan tubuh mu. Dan segera keluar. Ajudan Baginda datang untuk menjemput."
"Apa?"
Jenna segera bangun dari ranjang, dia lalu berlari ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Seorang pelayang masuk membantu Jenna untuk bersiap. Hanya saja sekarang yang membuat bingung adalah banyaknya tanda merah di tubuhnya.
"Tutupin dengan bedak. Lalu sampai di istana jangan dulu berhubungan dengan Baginda. Katakan saja kau sedang berhalangan. Sampai tanda itu hilang, ajak beliau berhubungan. Ayah yakin pasti apa yang dilakukan budak itu sudah membuahkan hasil.
"Baik Ayah, ah iya. Ayah, jangan buang budak itu. Biarkan dia ada di sini, beri saja pekerjaan apa saja. Aku menyukainya. Siapa tahu apa yang aku lakukan belum berhasil dan harus kembali menggunakannya."
Rosen hanya bergeming, dia tahu akan jadi begini. Namun memang tidak ada pilihan lain, apa yang diucapkan oleh Jenna benar adanya. Maka dari itu, ia juga memilih untuk menunda menyingkirkan si budak.
"Aku akan kembali nanti. Bersikap baiklah di sini."
"Baik Nona."
Jenna melenggang pergi meninggalkan kamar, dan si budak masih berada di sana sembari mengenakan pakaiannya. Ia tahu dirinya hanya akan jadi begini, namun bagi dia yang tidak memiliki apapun dan berakhir menjadi budak, bisa makan dan tidur saja sudah hal yang sangat cukup.
Akan tetapi dia juga manusia yang memiliki rasa lelah, dia tetap punya harapan bisa lepas dari tali kekang yang mengikat lehernya itu.
"Saya sudah siap Tuan Ajudan."
"Baiklah kalau begitu, mari kita berangkat Selir Jenna. Tuan Marquis, kami pergi dulu."
"Hati-hati putriku. Jangan lupa mengirimi ayahmu ini surat ya."
Jenna mengangguk paham. Ya dia paham betul apa maksud dari ayahnya itu. Meskipun Marquis Rosen juga memiliki mata-mata yang ditempatkan di istana, namun tetap saja untuk perkembangan kehamilan Jenna harus Jenna sendiri yang melaporkan.
Rencana ini tidak boleh gagal, Marquis Rosen bagaimanapun caranya merasa harus mendapatkan apa yang diinginkan. Tahta kerajaan Vasilica, itu harus berada di genggamannya.
Tap tap tap
Dengan langkah ringan dan senyum yang mengembang, Jenna masuk ke ruang kerja Stefan. Wanita itu sangat percaya diri. Dia juga beranggapan pemanggilan dirinya itu karena Stefan merindukannya.
"Saya Jenna menghadap Baginda Raja."
"Bagus kau sudah datang, cepat juga rupanya. Duduklah di sana, Jenna. Pete, segera beri dia pekerjaan. Jelaskan secara singkat dan suruh dia langsung melakukannya."
Jenna sama sekali tidak mengerti, Stefan pun bahkan bicara tanpa memerhatikan dirinya. Pria itu sangat sibuk dengan kertas yang menumpuk.
"Sebelah sini Selir Jenna, silakan Anda duduk. Nah setelah itu Anda mulai memeriksa ini, kemudian ini, lalu ini. Semua ini adalah ... ."
Jenna membelalakkan matanya, dia kini paham untuk apa dirinya dipanggil cepat-cepat ke istana. Rupanya semua itu untuk bekerja. Jenna kaget bukan main. Pekerjaan yang ada di depan matanya itu sungguh sangat banyak. Mungkin memang tidak sebanyak milik Stefan, namun tetap saja baginya itu banyak.
"Tahu begitu aku lebih baik berada di rumah dan bermain dengan budak itu,"gerutu Jenna dalam hati. Terang saja dia tidak berani bicara langsung. Jika ketahuan Stefan terhadap apa yang terjadi di rumahnya, maka mungkin sekarang dia bisa dihukum mati.
Wanita milik raja tidak boleh tersenyum oleh siapapun. Jika wanita bangsawan lain diperbolehkan memiliki simpanan seorang budak. Tapi selir maupun ratu tidak boleh memilikinya. Laki-laki bagi mereka ya hanya satu yakni sang raja.
Selama berkutat dnegan pekerjaan itu, sekali dua kali Jenna melirik ke arah Stefan. Pria itu sungguh sangat fokus, bahkan bicara dengannya pun tidak. Jenna menjadi sedikit kesal.
"Baginda? Apa Anda tidak lelah?"
"Tidak, pekerjaan ku masih sangat banyak. Sebaiknya kau juga cepat selesaikan itu. Pekerjaan rumah istan itu masih sangat banyak. Dan yang ada di meja mu itu baru seperempat saja. Jadi jangan banyak bicara dan segera selesaikan."
Mulut Jenna menganga lebar. Yang benar saja, ini baru sebagian kecilnya! Begitulah arti dari tatapan Jenna. Seketika tubuhnya terasa sangat lelah. Mengapa juga dirinya harus bekerja sekeras ini.
Jenna benar-benar menggerutu. Bibirnya mengerucut, kakinya menghentak beberapa kali, semua itu karena dia sangat kesal.
Kembali ke Istana ia pikir akan kembali pada kehidupan yang menyenangkan. Melakukan pesta teh, pesta dansa, mengunjungi taman, dan merangkai bunga. Tapi ternyata bukan itu, dia harus membereskan pekerjaan yang begitu banyak.
"Ba-baginda, bolehkan saya istirahat sebentar."
"Ya lakukan, ini juga sudah waktunya makan. Setelah makan kau harus kembali, aah tidak, Pate siapkan makanan di sini. Kami akan makan di sini saja."
Doeeeeengg
Lagi-lagi dia tidak habis pikir, bisa-bisanya Stefan makan di tempat kerja seperti ini. Lalu makanan apa yang akan disajikan?
Yang Jenna tahu, di meja makan Stefan biasanya tersaji banyak sekali makanan. Jika itu disajikan di sini maka tentu sama sekali tidak muat mejanya.
"Pete, satu lagi. Bawakan yang mudah saja, tidak usah terllau banyak seperti biasanya. Aku hanya akan makan sebentar dan kembali mengerjakan pekerjaanku lagi."
Jena hanya membuka mulutnya lebar-lebar. Dia benar-benar sama sekali tidak bisa menyangka hal ini. Dan dirinya pun hanya bisa pasrah mengikuti apa yang dilakukan oleh Stefan. Tentunya sambil terus menggerutu dalam hati.
"Aku lelah, aku ingin pergi ke kamarku sekarang juga."
TBC
sekarang daku malah tidak sabar nungguin kebenaran tentang dirinya yang mandul, dan si jenong hamil mungut kecebong seorang budak /Sly//Smirk/