Varsha memiliki arti hujan menghiasi hidup seseorang dengan derai air mata.
Seorang wanita muslimah berdarah Indonesia harus dijodohkan dengan pria asing tidak dikenalnya. Pria kejam memakai kursi roda meluluh lantahkah perasaan seorang Varsha, seolah ia barang yang bisa dipermainkan seenaknya.
Rania Varsha Hafizha, harus hidup dengan Tuan Muda kejam bernama Park Jim-in, asal Negara Ginseng.
Kesabaran yang dimilikinya mengharuskan ia berurusan dengan pria dingin seperti Jim-in. Balas budi yang harus dilakukan untuk keluarga Park tersebut membuat Rania terkurung dalam sangkar emas bernama kemewahan. Ditambah dengan kehadiran orang ketiga membuat rumah tangga mereka semakin berantakan.
“Aku tidak mencintaimu, hanya Yuuna... wanita yang kucintai.”
“Aku tidak bisa mengubah mu menjadi baik, tetapi, aku akan ada di sampingmu sampai Tuan jatuh cinta padaku. Aku siap terluka jika untuk membuatmu berubah lebih baik.”
Bisakah Rania keluar dari masalah pelik tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agustine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11
...🌦️...
...🌦️...
...🌦️...
Surat yang berada dalam genggaman diremas kuat. Rania kembali menangis seorang diri dalam kamar yang sunyi.
Rasa sakit terus menerus menghujani hatinya begitu kuat. Ia tidak percaya apa yang baru saja terjadi. Benarkah pria pemilik senyum manis itu menyakitinya separah ini?
Rania masih belum tahu siapa sebenarnya Park Jim-in yang dinikahinya. Tuan muda berdarah dingin yang menyembunyikan luka dalam senyuman.
Isak pilu terdengar menyayat, dalam keheningan hanya ada suara tangisan. Ia tidak bisa melihat sang ibu untuk terakhir kali, wanita yang sangat ia cintai melebihi apa pun.
Beberapa menit kemudian, setelah merasa sedikit tenang ia membuka surat tersebut. Kertas yang sudah tidak berbentuk sempurna itu memperlihatkan tulisan tangan sang ibu. Air mata kembali mengalir di pipi gembilnya yang memerah.
Rania membaca kata demi kata yang tertuang dalam kertas.
"Varsha sayang. Maafkan mamah karena sudah menikahkan mu dengan tuan muda Park Jim-in. Kamu tahu, mamah mempunyai penyakit gagal ginjal yang setiap saat harus cuci darah? Tanpa kamu ketahui Tuan Muda selalu mengirim uang untuk mamah berobat. Sayang, jika suatu saat Allah memanggil mamah, dan sesuatu terjadi hingga membuatmu tidak melihat mamah untuk terakhir kali, mamah mohon jangan membenci Tuan Muda ataupun nyonya besar. Tuan anak yang kesepian. Selama ini sering terkurung dalam kemewahan dan kehilangan kasih sayang. Kamu juga merasakan seperti apa merindukan kehadiran ayah, kan? Kepala keluarga Park meninggal bersama ayahmu tepat saat mereka hendak pergi bersama ke luar negeri. Pesawat mereka mengalami kecelakaan. Di saat itulah Tuan Muda benar-benar merasa kehilangan. Nyonya menjadi gila kerja dan meninggalkannya sendirian. Beberapa tahun kemudian nyonya memutuskan untuk menjodohkan kalian. Terlebih ketika kecelakaan tragis menimpa Tuan Muda. Mamah harap kamu bisa menjadi matahari baginya. Kamu punya senyum cerah yang bisa membangkitkan kembali semangatnya. Kamu juga anak yang baik, sholehah kebanggaan mamah dan ayah. Sebagai balas budi kepada keluarga Park, mamah harap kamu bisa mencintai Park Jim-in. Sekarang dia sudah menjadi suamimu. Berbaktilah kepada dia, nak. Karena surga ada pada keridhoan suami."
Itulah isi surat yang membuat tangisan Riana kembali pecah. Ia memeluk seraya meremas surat pemberian ibunya, seolah hal tersebut menjadi benda terakhir peninggalannya.
Sudah enam bulan lebih sejak pernikahan itu terjadi, Rania tidak bertemu dengan sang ibu. Selama itu pula ia mendo'akan yang terbaik untuknya. Namun, ternyata takdir berkata lain. Sang Khalik lebih dulu memanggilnya.
Bak dihujani beribu jarum berita mengenai meninggalnya sang ibu begitu memilukan. Rania tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Setelah membaca pesan terakhir dari ibunya, ia tersadar akan sesuatu.
Jim-in, pria tidak berperasaan itu masih memiliki hati nurani untuk ibu mertuanya. Tanpa ia ketahui sang suami selalu memberikan uang untuk pengobatan. Sayang, takdir berkata lain, Allah lebih menyayangi Basimah.
Rania tidak menyalahkan siapa-siapa. Semua sudah ada yang mengatur, Allah tahu yang terbaik untuknya.
"Aku harap bisa menjalani pernikahan ini lebih baik lagi. Aku patuhi guratan takdir yang sudah digariskan," bisik Rania pada keheningan.
Malam semakin larut dan hujan datang dengan derasnya. Pemakaman Basimah, ibunda Rania sudah berakhir sore tadi. Tidak ada waktu sedikit pun untuknya bertemu jasad sang ibu. Hanya mampu mendo'akan semoga almarhumah di tempatkan di sisi-Nya yang terbaik.
Rania sudah jatuh terlelap dalam buaian kelelahan. Guratan kesedihan masih nampak di wajah ayunya. Kedua mata bulat itu membengkak dengan hidung memerah. Bibirnya masih sesenggukan sangking lamanya menangis.
Pria yang tengah duduk di kursi roda menyandang sebagai suaminya itu terus memandangi Rania dalam diam.
Ada penyesalan dalam dirinya saat melihat sang istri seperti ini. Namun, sayang nasi sudah menjadi bubur, waktu tidak bisa diulang kembali.
Tangan putihnya terulur mengusap pelan kepala berhijab sang istri. Ini kedua kalinya Jim-in menyentuh Rania. Wanita yang ia inginkan untuk hadir dalam hidupnya, berharap sosok itu bisa menghibur dikala kebosanan melanda.
Namun, hal itu seolah menjadi boomerang baginya. Jim-in semakin tidak mengerti dengan sesuatu yang mengusik hati terdalam.
Tidak lama berselang setelah itu ia pun pergi menuju tempat tidurnya berada. Ia berusaha seorang diri untuk mencapai king size miliknya tanpa bantuan Sang Oh atau siapa pun. Alhasil ia pun berbaring di sana dan menatap kedua kakinya.
Hanya ada sorot mata yang berbicara tanpa ada kata terucap. Dalam keheningan malam pikirannya berkecamuk atas apa yang sudah terjadi.
...🌦️🌦️🌦️...
Selesai melaksanakan kewajiban, Rania langsung keluar kamar tanpa sedikit pun melihat ke arah sang suami. Tidak ada momen membangunkan untuk beribadah bersama. Entah kenapa luka itu masih menetap dalam dada.
Pintu tertutup rapat, baru saja melangkah keluar kamar, Rania terdiam memandangi lantai marmer di bawahnya. Seperti ada perasaan bersalah menyapanya begitu saja. Ucapan sang ibu dalam surat kemarin malam kembali berputar. Jika dirinya harus berbuat baik apa pun yang terjadi.
"Apa itu sebuah wasiat? Jika memang benar, aku harus melakukannya. Ya Allah bantu hamba untuk melewati semuanya. Lapangkanlah dada hamba dalam menghadapi situasi ini," gumamnya menguatkan diri sendiri.
Ia melangkahkan kaki menuju dapur untuk membuat sarapan seperti biasa. Beberapa orang yang bertugas membuat makanan pun terheran-heran saat melihat kedatangannya. Mereka berpikir jika tidak seharusnya Rania secepat itu melakukan kewajibannya.
Bisikan demi bisikan berdengung dalam pendengaran. Tanpa mengindahkan hal itu Rania melakukan apa yang biasa ia lakukan.
Tiga puluh menit berselang makanan yang dibuatnya pun selesai. Ia membawanya untuk di hidangkan kepada tuan muda. Iris jelaganya terus memandang ke bawah menyelam dalam sup hangat di atas nampan. Wajah ayu yang biasa memperlihatkan keramahan sirna sudah. Senyum di bibir ranumnya hilang dan terkatup rapat.
"Rania." Panggil seseorang.
Rania mendongak mendapati suaminya beberapa meter di depan. Namun, dia tidak sendirian, ada seorang wanita yang tengah berdiri di belakang tuan muda itu. Senyum mengembang di bibir tipisnya menambah kecantikan.
"Aku membawa Yuuna ke sini untuk mengenalkannya langsung padamu. Seperti kataku hari itu ... aku sangat mencintai Yuuna."
Bersamaan dengan kata-kata itu selesai diucapkan napan yang berisi sarapan untuknya terlepas dari genggaman. Hal tersebut membuatnya hancur berantakan, pecahannya berhamburan di hadapannya. Bola mata Rania melebar seketika tidak percaya apa yang baru saja didengar. Suaminya kembali memberikan luka baru.
Baru kemarin ia mendapatkan luka dan sekarang suaminya berulah lagi. Istri mana yang tidak sakit hati saat suaminya membawa wanita lain dan mengatakan jika ia mencintainya? Begitu pula dengan Rania. Ia yang awalnya tidak mengerti perasaan apa dihatinya, kini menyadari sesuatu. Jika cinta sudah tumbuh di sana. Sakit satu kata mewakili apa yang ia rasakan sekarang.
Harus berapa kali air mata keluar dari kelopaknya? Tidak bisakah sang suami memberikan payung ditengah guyuran hujan yang berkali-kali menimpa akibat kelakuannya? Rania tidak ingin menangis lagi. Namun, keadaan memaksanya untuk mengeluarkan air hujan di balik awan mendung di matanya.
Wanita bernama Yuuna tadi hanya terdiam seraya tersenyum penuh makna. Entahlah apa yang tengah dipikirkannya, Rania tidak tahu.
...🌦️KEBAIKAN DAN LUKA🌦️...
GAK ETIS LANJUTIN NOVEL YANG SEHARUSNYA UDAH TAMAT, TAMAT YAH TAMAT JANGAN DI LANJUTIN. JADI KELUAR DARI ALUR.
makasih buat karyanya thor ,bunga sekebon buat thor 💜😍
rania itu jgn2 thor ya ,gpp thor semangat 😘