Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ultimately It Comes Down To One Question
Yirgafara mengepalkan tangannya, armor perang berderit pelan. "Kau pikir begitu mudah memintaku bergabung?" Matanya berkilat tajam. "Apa yang kau tawarkan? Pengkhianatan melawan Noah? Dewa yang telah memberikan, mendedikasikan dirinya untuk mengajari kekuatan padaku selama berabad-abad?"
Arata tidak bergerak. Dinginnya angin es tidak mempengaruhi sikapnya yang tenang. "Bukan sekadar pengkhianatan, Yirgafara. Ini tentang keselamatan dimensi yang kita jaga."
"Omong kosong!" Yirgafara membalik tubuhnya, memunggungi Arata. "Memangnya apa yang kau lindungi Arata? Noah adalah segalanya. Dia membentuk kekuatanku, membangunku dari sesosok lemah—"
"Dia akan menghancurkanmu," potong Arata. "Percayalah."
Hening sejenak. Hanya desir angin dan dentingan es yang terdengar.
"Noah itu adalah guruku, mengkhianati murid adalah kemustahilan," kata Elliot pelan. "Dengarkan Arata, yang terbaik selalu menuntun ke jalan kebaikan. Noah guruku tidak pernah membuatku kecewa, kekuatannya selalu penuh kejutan dan takjub."
Arata membeku. "Kali ini dia akan membuat peperangan di antara dua dunia atas," balas Arata. "Dia yang kau banggakan adalah raja iblis—"
"Mengapa kau bersikap ini padaku," potong Elliot. "Melindungi Keseimbangan Dimensi? Jangan bercanda, kau membunuh adiknya Noah, tentu saja itu menciptakan peperangan dan amukan."
Sang Dewa kutub kandidat kelima selalu mematahkan logika Arata.
"Dengarkan aku," Arata melangkah mendekati Elliot. "Suatu saat kita akan bergandengan tangan meruntuhkan dimensi Sea Abyss. Bukan hari ini. Bukan besok. Tapi akan tiba waktunya."
Elliot berbalik, menatap Arata dengan mata penuh amarah. "Pergi," bisiknya. "Pergi sekarang, sebelum aku membunuhmu." Energi divine Elliot mulai bergejolak.
Arata tersenyum tipis. "Kita akan bertemu lagi, Yirgafara Elliot. Dan ketika itu terjadi, kau akan memilih."
Dia berbalik, meninggalkan Yirgafara sendirian di puncak Gunung Es Abadi. Sang Dewa kutub hanya berdiri melihat penuh kekejaman, pertempuran batin berkecamuk dalam diri Elliot. Untuknya tidak akan pernah tinggal diam saat seseorang yang dia banggakan dihinakan, terutama gurunya.
Di kejauhan, bayangan Noah seakan tersenyum—menunggu pergerakan selanjutnya dalam permainan takdir yang rumit ini.
Setelah meninggalkan Yirgafara di Gunung Es Abadi, Arata melanjutkan perjalanannya menuju Fablohetra, dunia yang tersembunyi di balik kabut dimensi. Langkahnya mantap, membawa beban rahasia yang tak terucap.
Langkah demi langkah Arata mendekati pintu gerbang Fablohetra, dunia yang dipenuhi manekin-manekin bergerak. Mereka berjalan, berbicara, tertawa—seolah benar-benar hidup, setidaknya sebelum Noah datang menjemput Arata.
Revalon sudah menunggunya.
Sosok itu berdiri tegak. "Kau membawa peperangan ke dalam dunia suci ini," suaranya bergetar, nyaris seperti dentuman guntur yang membelah langit.
"Revalon," Arata tersentak dengan suara Revalon yang kasar menyambutnya. "Aku datang mencari Eika."
Sebuah tawa sinis meletus dari bibir Revalon. "Mencari Eika? Kau pikir nyawanya semudah benda yang bisa kau temukan? Kau telah merusak keseimbangan! Dunia Manekin adalah dunia boneka yang rapuh, setiap gerakan perang akan meruntuhkan struktur dimensi!"
"Bukan seperti itu, aku ingin membentuk aliansi bersama Eika dan kau, Revalon. Bersama meruntuhkan Noah," Arata menjelaskan dengan susah payah ketika dia melihat Eika meneteskan air mata yang membuat dunia Fablohetra di ujung tanduk kehancuran.
"Kau..." Revalon menggeram, mengangkat tangannya. Kabut dimensi berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran energi yang mengancam. "Berani-beraninya kau bicara tentang aliansi setelah apa yang kau lakukan pada Eika!"
Air mata Eika terus menetes, setiap tetesannya menciptakan retakan di tanah Fablohetra. Manekin-manekin di sekeliling mereka mulai bergetar, emosi Eika mengubah ketidakstabilan resonansi Circuit para manekin yang terbagi dari sumber kekuatan divine Dewi Eika.
"Revalon, dengarkan aku," Arata mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya terpotong oleh serangan mendadak Revalon.
"DIAM!" Revalon melepaskan gelombang energi dimensi, menghantam Arata telak. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menyakiti Eika? Dia sudah cukup menderita!"
Arata menahan serangan, membuat dirinya sedikit terdorong, namun dengan cepat mendapatkan kembali keseimbangannya. Matanya berkilat dingin. "Kalau begitu, kau tidak memberiku pilihan lain."
"Pilihan?" Revalon tertawa getir. "Kau yang tidak pernah memberikan kami pilihan! Kau hanya menciptakan keuntungan bagi diri sendiri." Dia melesat maju, energi divine membungkus tubuhnya seperti armor.
Pertarungan pecah. Revalon menyerang dengan membabi buta, setiap pukulannya menciptakan suara retakan tulang. Namun Arata menyembuhkan diri dengan cepat—bergerak dengan presisi, setiap gerakannya terukur dan mematikan.
"Hentikan!" Eika berteriak, air matanya semakin deras. Retakan di Fablohetra melebar, manekin-manekin mulai berjatuhan ke dalam jurang esensi divine Eika tak terbentuk.
Tapi kedua petarung itu tidak mendengar. Revalon, dikuasai amarah dan tekad untuk melindungi Eika, terus melancarkan serangan. Namun perlahan, gerakannya mulai melambat.
Arata melihat celah itu.
Dalam sekejap mata, Arata muncul di belakang Revalon. Tangannya bergerak cepat, energi gelap berkumpul di telapaknya. "Maafkan aku," bisiknya, sebelum menghunjamkan tangannya menembus dada Revalon.
Waktu seakan berhenti. Eika menjerit tanpa suara. Revalon terbelalak, menatap tidak percaya pada tangan yang menembus tubuhnya.
"Kenapa..." dia terbatuk, darah dimensional mengalir dari sudut bibirnya. "Kenapa kau melakukan ini..."
"Karena takdir menuntut pengorbanan," Arata menjawab dingin, menarik tangannya keluar.
Tubuh Revalon ambruk perlahan, di bawah kaki Arata. Fablohetra berguncang hebat, tangisan Eika kini berubah menjadi raungan pilu yang mengoyak dimensi.
Arata berdiri di tengah kehancuran, matanya tertuju pada Eika yang kini menatapnya dengan campuran ketakutan dan kebencian. Di kejauhan, bayangan Noah kembali muncul, senyum tipis menghiasi wajahnya melihat drama yang baru saja terungkap.
Dari balik tubuh Dewi Eika, bayangan-bayangan pekat mulai merembes keluar, mengental menjadi sosok-sosok manekin yang tak terhitung jumlahnya.
Mata mereka kosong, namun memancarkan ancaman yang tak terucap. Satu per satu, manekin-manekin itu melangkah maju dengan gerakan kaku dan tersendat, seolah digerakkan oleh benang-benang kesedihan dan amarah Eika yang tak terkendali.
"Kau..." Eika berbisik, suaranya bergetar hebat. "Kau membunuhnya..." Air matanya kini berubah warna menjadi hitam pekat, menetes ke tanah dan menciptakan retakan-retakan yang memancarkan energi divine yang kacau.
Para manekin bergerak semakin dekat ke arah Arata, membentuk lingkaran yang perlahan mengunci pergerakannya. Tangan-tangan kaku mereka terulur, jari-jari kayu dan logam berderit mengerikan.
"Eika, kendalikan emosimu," Arata memperingatkan, matanya mengawasi gerakan setiap manekin. "Kau bisa menghancurkan seluruh Fablohetra!"
"MENGHANCURKAN?" Eika menjerit, suaranya bergema di seluruh dimensi. "BUKANKAH ITU YANG KAU INGINKAN? MENGHANCURKAN SEGALANYA?"
Tanah Fablohetra kini benar-benar berguncang. Retakan-retakan semakin melebar, menelan beberapa manekin yang berdiri terlalu dekat dengan tepiannya. Namun untuk setiap manekin yang jatuh, dua manekin baru muncul dari bayangan Eika, seolah kesedihannya tak ada habisnya.
"Bunuh dia," Eika berbisik. "Bunuh dia seperti dia membunuh Revalon."
Para manekin bergerak serentak, mata kosong mereka kini berpendar dengan cahaya merah mengancam. Mereka adalah manifestasi dari kemarahan Eika, boneka-boneka yang digerakkan oleh dendamnya.
Arata berdiri tegak, menyadari bahwa situasi telah berubah jauh lebih buruk dari yang dia perkirakan. Kematian Revalon bukan hanya menghancurkan keseimbangan Fablohetra bahkan menghancurkan sang pencipta para manekin, membangunkan sesuatu yang jauh lebih mengerikan dalam diri Dewi Eika Hetra.
"Hancurkan mereka semua," Eika mengangkat tangannya ke arah Arata. Ratusan manekin bergerak serentak, sebagian melompat dengan kecepatan tak masuk akal, sebagian lain membentuk lingkaran sihir di udara.
Arata hanya tersenyum, bayangan hitamnya mulai memadat menjadi wujud solid. "Boneka-bonekamu tak akan cukup, Eika sayang."
Lima manekin di barisan depan mengangkat tangan mereka. Api biru menyembur dari telapak tangan mereka, berputar membentuk tornado yang melesat ke arah Noah. Di saat bersamaan, tujuh manekin lain menciptakan tombak-tombak es yang berkilau di udara.