Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Mati di Hutan Misteri
Mpu Bharada membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tetapi ia bisa merasakan tubuhnya terbaring di atas sesuatu yang keras dan kasar. Suara gemeretak kayu terdengar di sekitarnya, bercampur dengan bisikan-bisikan cemas. Dengan setengah sadar, ia melihat beberapa wajah samar di atasnya. Mereka adalah pria-pria dengan pakaian compang-camping, kulit mereka gelap dan kotor, seolah sudah lama tidak tersentuh sinar matahari.
Wajah-wajah itu tampak tegang, ketakutan, dan tergesa-gesa. Mereka mengangkat tubuh Mpu Bharada dengan papan kayu sepanjang satu meter persegi yang diikat dengan tali rotan. Langkah kaki mereka cepat, tetapi hati-hati, seperti takut sesuatu sedang mengawasi dari bayang-bayang hutan.
Mpu Bharada ingin berbicara, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Kesadarannya kembali memudar, tetapi sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran, ia mendengar salah satu dari mereka berkata dengan suara bergetar, “Cepat, bawa dia sebelum malam tiba. Kita tidak bisa membiarkan dia tetap di luar terlalu lama.”
...****************...
Hari-hari berlalu. Mpu Bharada mulai sadar sepenuhnya, meskipun tubuhnya masih terasa lemah, dan kanuragannya tetap terkunci oleh ilmu Waringin Sunsang. Ia terbaring di sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu usang, dindingnya penuh retakan, dan atapnya bocor di beberapa tempat. Aroma kayu lapuk bercampur dengan bau tanah basah memenuhi ruangan. Sebuah tikar anyaman bambu menjadi alas tidurnya, dengan bantal keras yang terbuat dari kain tua.
Orang-orang yang menyelamatkannya merawatnya dengan sederhana. Mereka memberikan sup dari akar-akaran dan daun-daunan, serta air yang disimpan dalam tempayan kecil. Mereka tampak selalu waspada, sering melirik ke luar jendela kecil yang hanya ditutupi kain. Mata mereka menunjukkan ketakutan yang mendalam, seperti ada sesuatu yang terus menghantui mereka.
Setelah beberapa hari, salah satu dari mereka akhirnya berbicara kepada Mpu Bharada.
“Nama saya Kerta,” katanya dengan suara pelan.
“Kami adalah penduduk asli hutan ini. Anda beruntung kami menemui Anda sebelum malam tiba. Jika tidak…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi sorot matanya cukup menjelaskan bahwa bahaya besar mengintai di kegelapan hutan.
"apa yang terjadi disini?" tanya mpu Bharada
Penduduk desa lainnya, seorang pria tua bernama Ki Manggala, melanjutkan cerita Kerta. Suaranya parau, seperti orang yang sudah lama tidak berbicara.
“Dulu, desa ini adalah tempat yang makmur,” katanya. “Tanahnya subur, hasil panen melimpah. Kami hidup damai dan tidak pernah kekurangan. Tetapi, segalanya berubah sekitar dua puluh tahun yang lalu.”
Ki Manggala menghela napas panjang, seolah-olah berat baginya untuk mengingat masa-masa kelam itu.
“Anomali cuaca tiba-tiba muncul. Hujan deras turun setiap hari selama berminggu-minggu, lalu diikuti oleh musim kering yang begitu panjang hingga tanah retak dan tanaman mati. Penduduk desa mencoba bertahan, tetapi saat itu kami menyadari sesuatu yang jauh lebih menyeramkan.”
Ia menatap Mpu Bharada dengan mata penuh kengerian.
“Kami tidak bisa keluar dari desa ini. Ada pembatas aneh yang tidak kasat mata. Orang-orang yang mencoba keluar akan mendapati diri mereka kembali ke tempat semula, seperti berjalan dalam lingkaran. Dan yang lebih aneh lagi, orang dengan kanuragan tidak bisa masuk. Seolah-olah kekuatan ini melarang mereka untuk ikut campur.”
Mpu Bharada mendengarkan dengan seksama dan berpikir, mungkin karena kanuragannya hilang dia bisa memasuki tempat ini
“Aku tidak tahu apa yang menyebabkan anda memasuki tempat ini, Tetapi percayalah, tempat ini bukanlah tempat yang aman. Kami yang terjebak di sini telah lama kehilangan harapan. Meski begitu, kami bersama masih mampu menjaga kemanusiaan untuk tetap saling menolong.”
Setelah mendengar cerita itu, Mpu Bharada merasa cukup kuat untuk bangun. Ia melangkah perlahan keluar dari rumah yang lapuk itu, dan pandangan pertama yang menyambutnya adalah desa mati yang menyeramkan.
Rumah-rumah berdiri miring dengan kayu-kayu yang retak, beberapa bahkan sudah runtuh sepenuhnya. Atap-atap rumbia berlubang, dan dinding-dindingnya ditumbuhi lumut tebal berwarna hitam kehijauan. Jalan desa yang dulu mungkin beralaskan batu kini dipenuhi rumput liar dan genangan air berlumpur. Tidak ada suara, bahkan dari serangga sekalipun. Sunyi total.
Penduduk desa yang masih hidup tampak seperti bayangan dari masa lalu mereka. Tubuh mereka kurus, dengan pakaian yang compang-camping. Wajah mereka pucat, dengan mata cekung yang penuh kehati-hatian. Mereka bergerak dengan langkah perlahan, menghindari kontak mata satu sama lain. Tidak ada tawa, tidak ada percakapan. Hanya keheningan yang memekik.
Beberapa anak kecil terlihat bermain di sudut desa, tetapi permainan mereka aneh, mereka tidak tertawa atau tersenyum, hanya bergerak seperti boneka tanpa jiwa. Di tepi desa, sebuah pohon besar dengan batang hitam berdiri menjulang, ranting-rantingnya melengkung seperti cakar, memberikan bayangan gelap yang menutupi sebagian besar desa.
Udara di sana dingin, meskipun tidak ada angin. Kabut tipis melayang di antara rumah-rumah, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
“Desa ini lebih menyerupai kuburan yang dihuni oleh orang-orang hidup,” pikir Mpu Bharada dalam hati.
Penduduk desa tampak mengawasi Mpu Bharada dari area sekitar rumah dan balik pintu rumah mereka, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Seorang wanita tua mendekat, membawakan secawan air.
“Tolong jangan membuat terlalu banyak suara,” katanya dengan suara gemetar. “Hutan ini mendengarkan. Dan jika dia terbangun, kita semua dalam bahaya.”
“Siapa ‘dia’ yang kau maksud?” tanya Mpu Bharada dengan dahi berkerut.
Sesaat kemudian, muncul raungan raungan mengerikkan yang menggema dan mengisi seluruh desa hingga membuat semua warga yang tersisa menggigil ketakutan dan memasuki rumah masing masing.
"dia, sang penunggu hutan, Buto ijo" jawab wanita tua sambil menunjuk ke arah kegelapan.
Mpu Bharada melihat samar sama sepasang mata merah di balik kabut. Mata tersebut berpijar dan sangat besar. Di perkirakan sosok Buto Ijo tersebut sebesar bukit.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍