Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 Dika Mulai Ada Rasa
Mereka merampungkan makanannya selama 10 menit. Tanpa suara, hanya dentingan sendok yang menari-nari di atas piring mereka.
Meila memulai pembicaraannya, memecah keheningan, karena dirasa penting untuk disampaikan.
"Maaf, dokter Dikara, pasien atas nama Naya keadaannya sudah membaik, kondisi bayi pun baik, dia menanyakan tentang kepulangannya," Meila melaporkan tentang kondisi Naya saat ini.
Dikara mengusap bibirnya dengan tisu. Dia menatap Meila yang memberi informasi tentang Naya. Hampir saja lupa. Naya belum sempat ia tengok.
"Oh ya. Nanti aku cek ulang keadaannya. Kalau semuanya sudah memungkinkan baru bisa dipulangkan,"
"Iya, dia menunggu kebijakan dari dokter,"
"Oke siap," Dika langsung berdiri, hendak beranjak dari tempat tersebut.
"Mau ke mana, dok?" tanya Amanda tiba-tiba.
"Saya harus memeriksa pasien sekarang juga. Karena sudah kelamaan kutinggal;"
"Tapi dok..."
"Nanti saja kita ngobrol di luar, oke! Tidak etis berbicara masalah pribadi di rumah sakit. Aku akan menghubungimu nanti, ya!" ujar Dikara lembut. Seraya tersenyum.
Amanda mengangguk. Matanya menatap punggung kekasihnya dengan kekecewaan yang kesekian kalinya.
Amanda harus menekan sabar untuk bisa jalan berdua dengan Dikara. Ia memahami, kekasihnya orang yang sangat sibuk. Walaupun demikian kekasihnya itu selalu dapat meluangkan waktunya untuk bertemu walau hanya sebentar saja.
Dikara melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia ingin memastikan keadaan Naya dan bayinya baik-baik saja.
Dikara membuka pintu ruang perawatan, tampak Naya sedang terbaring di tempat tidur.
"Assalamualaikum Ibu Naya. Bagaimana kondisimu malam ini?"
"Waalaikumussalam, dokter? Ya Allah akhirnya dokter datang juga kemari," wajah Naya menampakan kebahagiaan begitu melihat Dikara. Karena ia ingin secepatnya pulang.
"Aku rasa, aku sudah membaik dok. Aku ingin secepatnya pulang. Aku ingin ke makam suamiku besok pagi. Masalah pembayaran dan hal lainnya, nanti aku usahakan untuk menggantinya ya dok!" lanjut Naya,
Dikara tersenyum, seraya mulai memeriksa kondisi Naya. Ada rasa yang berbeda manakala dekat dengannya. Desiran hati Dikara seakan bergetar hebat, bagaikan tersengat aliran listrik yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Dikara mencoba untuk mengabaikan perasaannya dan fokus pada pemeriksaan kondisi Naya.
"Baik, Ibu Naya. Saya akan memeriksa kondisi Ibu terlebih dahulu. Kalau semuanya terlihat membaik, ada kemungkinan Ibu bisa pulang secepatnya," kata Dikara dengan suara yang lebih tenang.
Tidak bisa dipungkiri, di balik ketenangannya, ia merasa ada sesuatu yang spesial, sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat dengan Naya.
Saat Dikara memeriksa kondisi Naya, diam-diam ia memperhatikan betapa cantik dan lembutnya wajah wanita yang ada di hadapannya. Ia terpesona dengan wajah Naya yang natural. Ia tidak mengerti mengapa secepat itu rasa cintanya bisa berubah haluan.
"Baik, Ibu Naya. Kondisi Ibu memang sudah membaik," kata Dikara, berusaha untuk tetap tenang. Ia mencoba menata perasaannya.
"Alhamdulillah, Jadi sekarang boleh pulang, dok?" Naya senang, wajahnya berbinar mendengar hasil pemeriksaan Dikara.
"Bisa. Tapi bukan sekarang ya!"
"Ya...tidak bisa sekarang, dok? Tanya Naya terlihat wajahnya yang ditekuk memendam kekecewaan yang mendalam.
Dikara tersenyum melihat perubahan wajah Naya yang murung, terlihat sedih.
"Kalau sekarang kan sudah malam. Tidak mungkin Ibu pulang malam-malam, iya kan? Tunggu sampai besok pagi ya!"
Naya mendongak, menatap Dikara dengan senyuman manisnya.
"Baik dok. Terima kasih," Wajah Naya berbinar lagi.
Dikara ikut senang melihat kebahagiaan Naya. Dikara bergeming sesaat, tidak tahu harus mengatakan apa setelah memeriksa kondisi Naya. Pikirannya seolah buntu berada di dalam ruangan yang hanya berdua saja.
"Dok, boleh minta tolong?"
Dikara mengerutkan keningnya, ia ingin tahu apa yang dibutuhkan Naya saat ini.
"Iya minta tolong apa? Semoga saya bisa membantumu,"
"Dokter tahu bukan, aku baru saja ditinggal pergi suami untuk selamanya. Ternyata dokter yang membantuku membawa jenazah suamiku sampai ke rumahnya, dan ternyata dokter menginap di sana beberapa hari. Maaf kalau saya lancang, apakah bisa Pak dokter mengantarku ke Garut. Aku tidak tahu harus meminta tolong ke siapa lagi. Hanya Pak dokter satu-satunya yang peduli padaku. Terus terang aku takut. Aku takut musibah itu datang lagi kalau aku naik bus ke sana. Sopir itu sopir itu sudah merenggut nyawa suamiku...aku...aku...." Naya menangis pilu mengingat suaminya yang terjatuh dari bus karena sopir yang ugal-ugalan.
Dikara menatap Naya dengan sendu. Ia jadi teringat kembali dengan sosok Ammar.
"Saya yang akan mengantarmu sampai ke rumah Ammar. Bu Naya tidak usah sedih lagi. Saya akan membantu Ibu. Saya akan selalu dekat dengan Ibu,"
Naya menatap tajam Dikara. Ada ketulusan di mata Dikara.
"Mengapa Pak dokter begitu baik padaku. Padahal kita tidak saling kenal?"
"Aku sahabat suamimu. Sudah sepantasnya aku menolong istrinya. Ammar orang baik. Apapun permintaannya selalu aku turuti. Begitupun dia,"
"Sahabat?"
Dikara mengedipkan matanya, seraya mengangguk sambil tersenyum.
"Mas Ammar tidak pernah bercerita tentang sahabatnya. Ia selalu menutupi tentang masa lalunya,"
"Tindakan Ammar sudah benar. Tidak perlu membicarakan sesuatu yang bisa saja mengundang hal yang negatif. Kalau suamimu membicarakan lelaki lain pada istrinya ada kemungkinan istrinya bisa saja jatuh cinta pada lelaki itu. Dan itu tidak diinginkan Ammar. Berbeda kalau ammar sudah tidak ada, Ia bisa jadi menceritakan kalau ia punya sahabat yang bisa menggantikan perannya," ujarnya ambigu.
"Oh iya Bu Naya. Istirahat saja dulu. Saya masih ada pasien yang harus ditangani. Siap-siap saja besok pagi selepas subuh kita berangkat ke Garut!"
"Terima kasih dokter!"
Dikara tersenyum, lantas ia pun menutup pintu.
Naya masih mencerna ucapan Dikara yang mengatakan sahabat yang menggantikan perannya. Maksudnya apa?