Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
API SEKAR (18+)
Sekar terkekeh pelan sambil bersandar di dinding lift.
"Aku tidak percaya kita baru saja melakukan itu."
Panji langsung mendekat, menekannya ke dinding lift, bibirnya melayang di atas bibir Sekar.
"Aku suka suaramu," ucapnya, penuh godaan.
Tawa Sekar terhenti saat tangan Panji bergerak, mengangkat gaunnya. Dalam satu gerakan cepat, jari-jarinya mengait celana dal am Sekar dipinggangnya dan menariknya turun.
Dengan tenang, dia berlutut, perlahan meluncurkan celana dal am itu ke sepanjang betis Sekar. Sekar menggunakan tangannya untuk menahan tubuh pada bahu Panji saat dia melangkah keluar dari pakaian itu. Hanya tindakan sederhana itu saja sudah cukup untuk memulai kembali api di dalam dirinya. Sekar bahkan tidak yakin bahwa semua ini nyata.
Panji berdiri, membiarkan gaun Sekar jatuh kembali menutupi tubuhnya sambil menyelipkan celana dal amnya ke saku belakang celananya. Tepat saat pintu lift terbuka, dia tersenyum penuh arti.
"Mari kita percepat ini."
Sebelum Sekar bisa mempertanyakan atau memprotes niatnya, Panji membungkuk dan mengangkatnya dengan gaya pengantin, berjalan keluar lift dan menyusuri lorong menuju kamar hotel mereka.
"Whoa," desah Sekar terkejut, otomatis melingkarkan tangannya di leher Panji untuk menjaga keseimbangan. Begitu mereka sampai di kamar, Panji menendang pintu hingga tertutup, lalu memindahkan berat tubuh Sekar, menempatkannya di atas meja kecil di dekat dinding.
"Lebih baik," katanya, puas dengan posisi mereka.
Tinggi meja itu membuat wajah Panji sejajar dengan dadanya, dan dia melangkah di antara kaki Sekar, menetap tepat di tempat yang dia inginkan.
"Sempurna."
Sebelum Sekar sempat berkomentar, apalagi protes, Panji kembali merebut bibirnya. Rasanya manis, seperti sinar matahari dan senyuman, dengan sedikit rasa stroberi. Lezat, dan dia merasa lapar untuk lebih.
Telapak tangannya menyentuh lutut Sekar, berhenti sejenak untuk merasakan kulitnya sebelum bergerak naik, membelai kehangatan lembut pahanya. Sekar menggigil, napasnya terhenti sejenak. Sekar sangat seksi. Panji menelusuri tepi gaunnya, kain itu lembut dan halus, tapi masih tidak bisa menyaingi kelembutan kulit Sekar.
Sekar adalah pelariannya. Saat dia menyentuhnya, semua pikiran gelap dan kekosongan di benaknya menghilang. Semua yang tersisa adalah fokusnya hanya tertuju pada kenikmatan. Jari Sekar mencengkeram lengannya, pah anya bergetar di bawah sentuhannya. Napasnya semakin cepat, dan Panji bisa merasakan detak jantungnya di bawah jemarinya—kencang dan penuh gairah.
Panji tidak memiliki kekuatan, juga tidak ingin menemukan kekuatan untuk melawan godaan dalam bentuk Sekar. Dimulai dari lututnya, dia menggeser tangannya ke atas, mendorong kain gaunnya seiring gerakannya. Jari telunjuknya meluncur di bagian dalam pahanya, sengaja di perlambat untuk melihat reaksinya.
Tatapan Panji terkunci pada matanya saat jarinya menyusuri rambut halus yang sudah lembap sejak tadi. Kemudian, dengan lembut, dia menyentuh bagian sensitif yang membengkak di sana. Sekar tersentak, suara itu memberinya kepuasan sebesar kenikmatan yang dirasakan Sekar.
Sekar menggeliat sedikit, seolah ingin memperdalam sensasi itu. Panji, selalu senang membuat wanitanya bahagia. Sekar mend esah pelan, napasnya semakin berat. Tangannya kini menjelajahi dada Panji, menarik kemejanya dengan tidak sabar sebelum merobek kancingnya, meraih kulitnya.
Sentuhan Sekar sempurna—perpaduan yang pas antara kasar dan lembut saat jemarinya turun, menggaruk lembut permukaan rata otot dadanya. Rasanya membuat Panji ingin segera menanggalkan semua pakaiannya, hanya untuk melihat apa yang akan Sekar lakukan selanjutnya.
Dia membenamkan wajahnya di lekukan lembut leher Sekar, menghirup aroma tubuhnya yang khas. Aromanya membangkitkan gairahnya semakin dalam.
"Kamu begitu menggoda," bisiknya sambil mencubit lembut area pusat Sekar yang bengkak. Gerakan itu seperti menekan tombol saklar. Seluruh tubuh Sekar menegang, napasnya tersengal-sengal, dia merespons begitu cepat. Panji yakin, jika diberi kesempatan, Sekar seperti api liar yang menyala begitu dia mulai terbakar—liar, kuat, dan mampu menanggapi intensitas nafsunya yang begitu besar. Saat itu juga, dia memutuskan bahwa Sekar Arum Pradipta adalah miliknya. Pernikahan mereka, menurutnya, kini tak tergoyahkan.
Dalam upaya membuat Panji merasakan kenikmatan yang sama seperti yang diberikannya, Sekar menggerakkan jemarinya dengan lembut di sepanjang otot lengannya yang keras dan berbentuk sempurna.
Tubuh Panji luar biasa, seperti karya seni yang dirancang dengan sempurna. Dia ingin menyentuhnya, mengelus seluruh bagian tubuh Panji yang tegap dan berotot itu. Namun, dia tak mampu bergerak, tidak saat Panji tengah melakukan hal-hal yang begitu indah dengan jemarinya.
Sekar begitu fokus hingga tidak menyadari bahwa Panji telah melepaskan jas dan kemejanya dari sisi kiri tubuhnya. Kini, dia menarik pakaian itu sepenuhnya dari tubuhnya, melepas ikat pinggang, dan mengeluarkan sebungkus kond om dari sakunya. Dengan gerakan cepat, dia membuka celana panjangnya hingga jatuh ke lantai.
Sekar menggigit bibir bawahnya, matanya terpaku pada Panji yang mengenakan kond om. Dalam pikirannya, segalanya terasa berputar begitu cepat, tetapi di saat yang sama waktu seperti melambat ketika dia menyaksikan Panji bergerak. Saat Panji kembali ke antara kakinya, Sekar bersiap dengan membuka kakinya lebih lebar, memberikan ruang untuknya. Bagian ujung milik Panji yang halus menekan kulitnya yang masih bergetar, seolah meminta izin untuk masuk.
"Siap untuk merasakan gairah?" tanyanya dengan suara rendah dan serak, menatap dalam-dalam ke mata hitam Sekar.
"Tentu," Sekar membalas dengan napas yang berat, melingkarkan jemarinya di belakang leher Panji dan mempersiapkan dirinya untuk apa yang dia harapkan akan menjadi pengalaman yang mengguncang,
"Karena sejauh ini semuanya terasa cukup membosankan."
Panji tertawa, suara tawanya membuat kepercayaan diri Sekar melonjak. Kemudian, Panji masuk ke dalam dirinya, keras dan dalam. Sekar menyadari bahwa dia salah. Tidak ada yang pernah terasa sebaik ini sebelumnya. Rasanya seperti semua ujung saraf di tubuhnya berkumpul di antara kakinya, setiap sensasi terhubung dengan gerakan Panji yang maju mundur. Des ahannya berubah menjadi erangan, yang kemudian menjadi seruan tak beraturan yang tak mungkin dia tahan.
Bunyi meja yang membentur dinding setiap kali Panji mendorong tubuhnya semakin menambah suara erotis dari pers etub uhan mereka. Tali gaun di bahu Sekar telah jatuh, dan Panji menarik bagian atasnya hingga kedua pay udaranya terdorong keluar, penuh dan terbuka di depannya seperti sajian mewah.
Mulutnya sibuk mengecap kulit Sekar, menj ilat dan menc iumi bagian lehernya sambil mengerang. Otot-ototnya mengencang saat tangannya bekerja keras memeluk tubuh Sekar, merayapi kakinya, dan pada satu titik memegang kedua kakinya terbuka lebar, membuatnya benar-benar terbuka dan rentan di hadapan Panji.
Segala sesuatu tentang pria ini terasa begitu menggairahkan—cara dia memaksa Sekar untuk mengimbanginya dan bagaimana dia selalu mengambil alih ketika Sekar tak lagi mampu, tenggelam dalam kenikmatan yang tak terkendali.
“Panji!” serunya, jari-jarinya menyelusup ke rambut Panji sementara wajahnya tenggelam di lehernya, menggigit kulit kencang di pangkal lehernya.
"Astaga," desahnya, kehabisan napas. Tubuhnya melampaui batas untuk merangkai kata-kata, dan sesaat, dia bahkan tidak bisa mengingat namanya sendiri atau di mana dia berada.
Segala sesuatu memudar menjadi pijar kuning lembut yang memabukkan, sebuah kebahagiaan total yang nyaris menyakitkan tetapi terasa begitu nikmat hingga dia merasa harus mencengkeram Panji untuk menambatkan dirinya, agar tidak melayang ke dunia yang tidak dikenal.
Saat org asme Panji mencapai puncaknya, tubuhnya menegang, tangannya memeluk Sekar erat-erat saat dia melepas semuanya ke dalam tubuhnya, mengerang dalam keni kmatan.
Setelah beberapa saat berusaha mengatur napas, Sekar bersandar ke dinding, jantungnya berdetak kencang di dalam dadanya. Ya Tuhan, apa yang tadi dia pikirkan? Di mana akal sehatnya? Bagaimana mungkin dia berubah dari seorang wanita muda yang pemalu menjadi makhluk liar ini, merasa begitu hidup dan seksi?
“Berhenti menggigit bibirmu, atau hal berikutnya yang akan aku nikmati adalah mulutmu.”
Ancaman Panji membangunkannya dari lamunannya, dan Sekar langsung berhenti menggigit bibir bawahnya. Dia bahkan tidak sadar sedang melakukannya. Namun, dia juga tidak bisa menahan senyum nakal yang muncul di bibirnya saat melihat Panji mengumpulkan pakaiannya dari lantai. Sebelum bisa menahannya, Sekar tertawa—gelak tawa yang panjang dan menyenangkan, melihat Panji tersenyum padanya dengan pesona kekanakannya.
“Menurutmu ini lucu?” tanya Panji.
“Tidak,” jawab Sekar sambil menggeleng, berusaha menahan tawanya tanpa benar-benar menggigit bibirnya lagi. Tapi itu hanya membuatnya tertawa lebih keras. Usaha untuk menghentikan tawanya terasa sia-sia, dia bahkan tidak yakin bisa menghentikannya.
Panji tersenyum dan melangkah mendekat, dengan cepat mengangkat Sekar dari meja dan menurunkannya perlahan ke lantai. Saat itu, tawanya mereda menjadi cekikikan kecil.
Panji memandangnya dengan senyum lebar, matanya memperhatikan api kehidupan yang menyala di balik tatapan Sekar. Dia tahu, dia terpikat oleh apa yang dilihatnya. Dan dia sadar, dia ingin melihat itu lebih sering—dan dia ingin menjadi alasan mengapa cahaya itu terus ada.
(Jangan bosan-bosan baca ceritaku ya, belum sampai plot twistnya, ditunggu soalnya masih panjang😅, kritik dan saran sangat membantu, jangan lupa klik like dan beri komentarnya, terima kasih.)
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'