dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjuangan dan kesabaran untuk bisa menemukan mu
"Yaa Allaah... Apakah benar itu gus afnan?, tapi kalo memang itu gus afnan... Tapi kenapa dia datang ke tempat ini yaa Allaah?.... Bukankah dia telah menolak menolong ku waktu itu?... " alya bertanya tanya didalam dirinya, mengadu kepada Tuhan nya. Dia bingung apa yg telah afnan lakukan.
Alya terus berjalan hingga sampai didepan kost an nya dan masuk, lalu melahap soto ayam Banjar dgn toping kulit kesukaannya itu, dgn hati yg terus bertanya tanya tentang apa yg dia lihat.
Setelah selesai makan, alya berjalan ke wastafel untuk mencuci piring...Tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu dari luar,
Tok tok tok.... Suara ketukan tersebut.
"Siapa yaa? " gumam alya didlm hati.
Alya melangkah keluar membuka pintu... Dan ternyata itu adalah tantenya alya yg berkunjung ke sana, tante sima.
"Ahhh.... Ternyata tante sima kesini.... Gimana kabarnya tan? " ucap alya mengawali pembicaraan.
Tante Sima tersenyum ramah sambil menatap Alya penuh perhatian. "Alhamdulillah, Tante sehat, Nak. Tante kangen sama kamu, jadi sekalian mampir. Kebetulan tadi ada urusan di dekat sini," jawab Tante Sima sambil masuk ke dalam kost-an kecil Alya.
Alya mempersilakan Tante Sima duduk di kursi ruang tamu seadanya, kebetulan nilai sedang keluar bersama teman-teman lainnya. "Aku buatkan teh ya, Tan?" tawar Alya sopan.
"Ah, boleh, Nak. Teh hangat enak nih," ujar Tante Sima seraya meletakkan tasnya di meja kecil. Matanya menyapu ruangan sederhana itu. "Kamu betah tinggal di sini, Alya?"
"hehehe,nggk sih sebenarnya Tan. Alya kurang cocok kayak nya kalo berteman sama orang yg seperti ini," jawab Alya sambil beranjak ke dapur.
"emang nya ada apa Alya? cerita sini sama tante" tanya tantenya yg merasa khawatir dgn Alya.
"nggak kok tan, cuma masalah biasa" ucap Alya sambil memberikan teh hangat kepada tante sima.
"beneran?? kalo ada apa apa, jangan sungkan untuk bilang ke tante yaa!! ingat itu" ucap tantenya sambil mencubit hidung mancung alya dgn gemas.
"emmm, tante baru inget... tante mau ngenalin anak tante, abang nya kamu.... saka namanya, kebetulan dia baru pulang dari Australia,banyak tuh oleh oleh dari sana, sekalian kita jalan jalan ke kebun binatang bagaimana?... Alya mau kan? ! " ajak tante sima kepada Alya dgn semangat.
"boleh tante" ucap Alya dgn semangat.
"okeyy, baiklah kalo begitu... tante jemput besok pagi yaa? " ucap sima sambil berdiri.
"iya tante, besok pagi" jawab Alya dgn semangat.
"baiklah, tante pulang dulu yaa, assalamu'alaikum.. bye"
"waalaikumsalam" ucap Alya dgn senyuman yg manis diwajahnya.
Tante Sima melangkah keluar kost-an Alya dengan senyuman hangat, meninggalkan aroma teh yang masih tersisa di ruangan. Alya duduk kembali di kursi, memandangi gelas teh Tante Sima yang hampir habis. "Abangnya aku? Saka?" pikir Alya. Entah kenapa, ajakan itu membuat hatinya terasa lebih ringan.
"Setidaknya besok aku bisa melupakan sejenak tentang Gus Afnan dan semua pertanyaan yang berputar-putar di kepalaku," gumamnya dalam hati.
Namun, meskipun senyum masih terukir di wajahnya, pikirannya tak bisa benar-benar lepas dari apa yang terjadi pagi tadi. Sosok itu—yang entah benar Gus Afnan atau hanya bayangan semu—seakan menghantui hatinya.
Alya menatap jendela kecil di ruang tamunya. Matahari mulai turun ke ufuk barat, menyisakan sinar jingga yang temaram. "Kadang hidup ini aneh. Ketika kita berusaha menjauh dari satu kenangan, kenangan itu malah muncul di tempat yang tak kita duga," batin Alya sambil menghela napas.
* * *
ke esokan harinya, Alya bersiap siap untuk berangkat pergi ke rumah tantenya yg megah.
Tittt....
(klakson mobil terdengar didepan kost an Alya)
"Hai Alya" sapa tante sima kepda Alya.
"Hai tan, assalamu'alaikum hehe" jawab Alya menggunakan salam sambil malu malu.
"eh iyaa... lupa ngucapin salam tante al, aduhh... astagfirullah, assalamu'alaikum" ucap sima dgn muka merah karena malu.
"hehe... waalaikumsalam tan" jawab Alya.
"ayo kita berangkat!! " ucap sima
Mobil melaju pelan meninggalkan kost-an kecil Alya. Di dalam mobil, Tante Sima masih sempat menggoda Alya sambil tertawa kecil.
"Aduh, tadi Tante sampai malu sendiri. Masa lupa ngucapin salam, ya ampun," kata Tante Sima sambil melirik Alya di sampingnya.
Alya tersenyum, berusaha menahan tawa. "Nggak apa-apa, Tan. Namanya juga manusia, kadang suka lupa," ujarnya sambil menatap ke luar jendela, melihat suasana pagi yang cerah.
Setelah beberapa menit perjalanan, Alya mulai memperhatikan pemandangan di sekitar. Rumah-rumah besar mulai tampak berjajar, menunjukkan bahwa mereka sudah mendekati kawasan perumahan elite.
"Ini rumah tante yang mana, Tan?" tanya Alya, matanya berbinar-binar melihat bangunan megah di kanan kiri jalan.
"Sebentar lagi sampai, Nak. Itu yang paling ujung, yang warna putih dengan pagar emas," jawab Tante Sima sambil menunjuk ke depan.
Sesampainya di depan rumah megah itu, Alya tercengang. Rumah tersebut tampak begitu luas, dengan taman hijau yang tertata rapi dan beberapa bunga indah yang bermekaran di halaman.
"Subhanallah... gede banget rumahnya, Tan," ujar Alya dengan kagum.
Tante Sima hanya tertawa kecil. "Ah, biasa aja, Alya. Yuk, turun. Abang Saka sudah nunggu di dalam. Katanya dia penasaran mau ketemu kamu."
Alya menelan ludah, sedikit gugup. "Abangnya aku? Saka? Aduh, kayak apa ya orangnya," pikir Alya sambil mengikuti Tante Sima memasuki rumah.
Begitu pintu terbuka, seorang pemuda bertubuh tegap dengan tinggi mencapai 180 cm, wajah ramah berdiri di ruang tamu, tersenyum hangat ke arah mereka
Alya terdiam mematung begitu melihat wajah Saka lebih dekat. Senyum ramah pria itu terasa familiar, seperti sebuah potongan kejadian yang berusaha ia lupakan.
"Astaghfirullah... ini... ini kan orang yang kutabrak di bandara minggu lalu!" batin Alya dengan wajah pucat. Ingatan itu mendadak menyeruak—suara koper jatuh, omelan tajam dari dirinya sendiri, dan pria yang hanya diam sambil tersenyum canggung.
Saka menatap Alya dengan ekspresi penuh arti, seakan membaca kegugupannya. Bibirnya membentuk senyuman tipis, hampir seperti mengejek dengan lembut. "Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya, ya?" ujarnya santai.
Alya menelan ludah, wajahnya merah padam. "Eh... a-aku... nggak tahu maksud Kakak," jawab Alya terbata-bata, pura-pura tak mengerti.
Tante Sima, yang tidak menyadari ada ketegangan di antara keduanya, justru tertawa riang. "Loh, kalian pernah ketemu? Wah, kebetulan dong! Dunia ini sempit ya. Kalian pasti jodoh..." goda Tante Sima sambil tertawa kecil.
"Tante!" seru Alya cepat, wajahnya semakin memanas.
Saka tertawa kecil, lalu duduk santai di sofa sambil menatap Alya dengan tatapan jahil. "Aku nggak lupa, kok. Minggu lalu di bandara, ada seseorang yang sangat "tegas" marah-marah karena aku dianggap nggak lihat jalan sampai akhirnya—"
"—sampai akhirnya aku nggak sengaja nabrak Kakak!" potong Alya cepat, tak tahan dengan rasa malunya sendiri. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan Saka yang seolah menikmatinya.
"makasih yaa kak, atas tiketnya kemarin... dan maaf atas perlakuan ku yg tidak sopan terhadap kak saka" ucap Alya pelan menunduk merasa malu.
"it's okay,, santai aja"ucap saka
" mari kita berangkat ke kebun binatang!! "ucap tante sima dgn semangat.
Saka Askara Dirgantara memang memiliki kepribadian yang berubah total ketika berada di dekat Alya. Meskipun dia biasanya dingin dan tempramental, kehadiran Alya membuatnya lebih ramah dan baik hati. Perubahan ini menunjukkan betapa besar pengaruh Alya terhadap diri-Nya.
......................
Momen di Kebun Binatang.....
Pagi itu, udara segar kebun binatang terasa menenangkan.
Tante Sima memimpin langkah, penuh semangat seperti biasa, sementara Alya dan Saka mengikuti di belakangnya.
Suasana ramai, anak-anak berlarian, dan suara hewan-hewan terdengar riuh di sekitar mereka, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sebuah ketegangan yang tak terucapkan antara Alya dan Saka.
Alya yang merasa canggung mencoba mengalihkan perhatian dengan mengamati binatang di sekelilingnya.
Ia berusaha tidak terlalu memikirkan Saka, yang entah kenapa, selalu berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Entah karena rasa malu atau karena tatapan tajamnya yang terkadang terasa begitu dalam, Alya tidak bisa menahan rasa gugup itu.
Saka, di sisi lain, tampak santai, bahkan lebih ramah dari biasanya. Ia berbicara dengan Tante Sima, tetapi matanya sesekali melirik Alya, yang tampaknya tidak menyadari perhatiannya.
Dengan ponselnya, Saka diam-diam mengarahkan kamera untuk mengambil gambar Alya yang sedang berkeliling, menikmati keindahan kebun binatang.
Setiap kali Alya berhenti di depan kandang, mengamati binatang atau tertawa dengan semangat, Saka mengambil foto—tanpa sepengetahuan Alya. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia merasa perlu melakukannya.
Alya yang sedang memperhatikan seekor panda yang sedang tidur di dalam kandang, tiba-tiba merasakan ada yang aneh.
Ketika ia menoleh, Saka sepertinya sedang sibuk dengan ponselnya, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda—seolah dia sedang mengamati dirinya dengan cara yang sangat intim. Alya menatapnya curiga, tetapi Saka hanya tersenyum tipis, senyuman yang tidak sepenuhnya bisa dipahami.
"Kenapa Kakak tersenyum begitu?" tanya Alya dengan hati-hati, mencoba mengalihkan perhatian dari rasa tidak nyaman yang mulai mengisi dadanya.
Saka hanya mengangkat bahunya dan tersenyum lebih lebar. "Tidak ada apa-apa, cuma... senang melihatmu menikmati waktu di sini."
Alya menatapnya dengan ragu, tapi kemudian mengalihkan pandangannya ke binatang lain, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang terus menghantui.
Tanpa disadari, dia tak lagi merasa canggung dengan Saka di dekatnya. Ada sesuatu dalam cara Saka memperlakukannya, yang entah bagaimana membuatnya merasa lebih nyaman—meskipun ada ketegangan yang tak terucapkan antara mereka.
Tante Sima yang berjalan di depan mereka, kembali membalikkan tubuhnya dengan senyum lebar. "Kalian berdua terlihat seperti pasangan yang serasi, loh," godanya.
Alya menatapnya panik. "Tante!" serunya cepat, wajahnya memerah.
Saka hanya tertawa pelan, tidak mengungkapkan apa-apa lagi, tetapi senyumnya tak pernah hilang.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Saka masih diam-diam mengambil gambar-gambar Alya, menyimpan setiap momen yang membuatnya merasa semakin terhubung dengan sosok yang tak pernah dia duga akan mengubah banyak hal dalam hidupnya.
.....................
Di sisi lain, Afnan berdiri di balkon hotel, memandang suasana kota yang mulai tenggelam dalam kerlap-kerlip lampu.
Bunyi klakson samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan suara deru kendaraan. Dalam keheningan pribadinya, Afnan menarik napas panjang, merasakan dinginnya udara malam yang menusuk kulit.
"Afnan berbisik lirih, suaranya hampir tenggelam dalam angin malam. “Yaa Allah, pertemukan kami di tempat dan waktu yang tepat, yaa Rabb…” ucapnya penuh harap, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang.
Matanya sedikit berkaca-kaca, namun ia tersenyum kecil, seakan menemukan kekuatan dari doanya.
......................
Di pagi yang cerah itu, langkah Alya terdengar ringan saat memasuki warung soto langganannya.
Aroma kuah soto yang gurih langsung menyambutnya, memancing rasa lapar yang mulai menggelitik.
Namun, kali ini, ada sesuatu yang membuat Alya sedikit gelisah. Tatapannya berkeliling, menyapu seluruh ruangan, seakan-akan mencari keberadaan seseorang.
Beberapa pelanggan tampak menikmati sarapannya, obrolan ringan terdengar di sana-sini, tapi sosok yang dicarinya tak terlihat.
Alya menggigit bibirnya pelan, lalu menghela napas kecil. “Tuh kan, Alya. Kau ini salah liat orang kali,” gumamnya pelan sambil menunduk, mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Pikirannya berusaha menyangkal, namun hatinya seolah tak bisa berbohong.
Alya akhirnya memilih duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya, sambil menatap kosong ke meja di depannya. "Bodoh amat, kenapa jadi kepikiran begitu?" batinnya lagi, merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Padahal, ia hanya ingin menikmati soto seperti biasa, tapi entah kenapa sosok tertentu malah menghantui pikirannya pagi ini.
Alya tertegun sejenak, menatap gamisnya yang basah oleh tumpahan minuman. Suara kecilnya keluar pelan, “Allahu Akbar, yaah... basah,” keluhnya dengan nada lirih.
Seorang pemuda dengan wajah panik langsung menunduk meminta maaf. “Ehh, maaf, saya tidak sengaja,” ucapnya dengan nada terburu-buru.
Alya mengangkat pandangannya hendak menegur lelaki itu, tetapi tubuhnya mendadak membeku. Matanya membelalak kaget saat menyadari sosok yg berada didepannya. Gus afnan, lelaki yg menolak dia minggu yg lalu.
Dengan nada tajam dan penuh amarah, Alya berucap, "Maaf... maaf? Enak aja cuma bilang maaf doang!" Ekspresinya jelas menunjukkan kemarahan yang ia tahan sejak kejadian itu.
Afnan, yang awalnya hanya merasa bersalah karena menumpahkan minumannya, kini menatap Alya dengan dahi berkerut. Pandangannya menajam ketika menyadari siapa gadis di hadapannya. “Alya…” ucapnya lirih, penuh keterkejutan.
Alya mendengus kecil, ekspresi kesalnya semakin jelas. Dengan suara ketus dan tajam, ia berkata, “Iya... ini Alya. Perempuan aneh yang kamu tolak permintaan tolongnya!” Tatapannya menusuk, seakan menegaskan kekecewaannya.
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Afnan, Alya langsung memutar tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Gamisnya yang masih basah tak ia pedulikan, rasa kesalnya jauh lebih besar dari itu.
Tanpa pikir panjang, Afnan berlari mengejar Alya, langkahnya cepat menyusul gadis itu yang berjalan menjauh dengan penuh amarah.
"Alya... Bisa kita bicara sebentar? Ada yang ingin aku katakan," ucap Afnan dengan suara sedikit terengah, namun jelas penuh kesungguhan.
Alya tiba-tiba berhenti di tengah langkahnya. Tubuhnya mematung, sejenak membiarkan Afnan mendekat. Dengan perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan sakit hati, Alya menoleh perlahan lalu berpaling membelakangi afnan. Suaranya bergetar menahan emosi yang hampir meluap.
“Apa lagi yang ingin kau katakan? Hinaan? Cacian? Apa lagi… hah?” Alya menatap kedepan dgn tatapan tajam, matanya berkaca-kaca, namun ia tetap berusaha tegar.
“Emang sih, aku ini orang aneh. Tapi maksudmu apa mengejar ku sekarang? Apa cuma untuk menyempurnakan hinaan yang kemarin belum selesai? Atau apa lagi??” lanjutnya dengan suara yang ditahan, namun jelas menyiratkan luka di hatinya.
Afnan terdiam beberapa detik, menatap punggung Alya, begitu kecewa. Ada rasa bersalah yang membebani dirinya, membuatnya tak segera menjawab.
“Alya, dengar dulu…” ucap Afnan akhirnya, suaranya lebih lembut kali ini.
“Aku tidak bermaksud menyakitimu. Waktu itu aku salah.to the point aja, baiklah...aku akan membantu mu. Tolong beri aku kesempatan agar bisa membantu mu.”ucap afnan berdalih dgn kata kata " membantu ".Dia gengsi mengungkapkan nya langsung.
" apakah kamu menerima tawaran ku? "tanya afnan kepada alya dgn penuh harapan.
" kok tiba-tiba mau sih gus? kenapa?... udah telat gus.... mamah udah tentuin tgl pertunangan nya, jadi mulai sekarang...mimpi mimpi ku telah hangus menjadi debu. "ucap alya dgn sedih.
" alya.... dengar, baiklah... aku akn berusaha sebisa mungkin untuk meyakinkan ibumu agar bisa membatalkan perjodohan ini"ucap afnan dgn meyakinkan alya.
baper