Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lagi-lagi Seira
"Zafran! Terus ini gimana sarapan Ibu!" teriak Ibu dari dapur ketika anak dan menantunya pergi begitu saja.
Keduanya menghentikan langkah, tapi Lita gegas menahan tangan Zafran disaat laki-laki itu hendak berbalik lagi ke arah Ibu lagi.
"Ibu, kan, bisa masak sendiri. Atau beli aja, deh. Di warung depan itu jual sarapan, Ibu tinggal pergi aja ke sana. Jangan lupa beliin juga buat Ibu sama Bapak. Mereka itu, kan, tamu," cerocos Lita tanpa tahu diri juga tak tahu malu.
Ibu termangu mendengar kalimat perintah yang panjang dari menantunya itu. Seumur hidup, Seira tak sekalipun memerintahnya begini dan begitu. Ia dijadikan ratu di rumah, tapi menantu barunya bahkan sudah berani memerintah padahal baru sehari semalam dia menjadi bagian dari keluarga itu.
Zafran tersentak, ia melirik tak percaya pada Lita. Lalu, melepaskan tangannya yang membuat Lita mendengus tak suka.
"Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu sama Ibu. Dia Ibu aku, orang tua. Orang yang harusnya kamu hormati kayak orang tua kamu. Kalo kamu nggak bisa masak buat Ibu, belikan atau apalah. Jangan menyuruh Ibu segala macam, aku nggak suka," ucap Zafran penuh penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.
Ibu diam-diam tersenyum, Zafran masih tetap membelanya meskipun Lita terlihat menguasai. Matanya berserobok dengan Lita, wanita itu tak lagi ramah seperti saat mereka belum menikah. Tak ada senyum, tak ada lagi Lita yang manut, sekarang hanya ada Lita yang keras kepala dan menguasai.
Zafran memandang istrinya dengan mata yang memerah, kulit wajahnya tak lagi putih. Ia benar-benar marah, tapi terus menahannya agar tidak meledak. Wanita di sampingnya menoleh, merubah riak wajah juga pandangan agar Zafran mereda.
"Ya udah, nanti aku belikan sarapan buat Ibu dulu. Ibu mau sarapan apa?" Lita kembali berpaling pada Ibu.
Kali ini, memasang wajah menyesal demi menarik hati Zafran.
Sabar, Lita. Tenang, ini masih awal. Sabar ....
"Ibu mau lontong sayur. Jangan pake sambel, kerupuknya dipisah. Harus panas," ucap Ibu sedikit kesal.
Ia berbalik tak lagi menatap anak dan menantunya. Mendengar itu, Zafran menghela nafas. Menenangkan hatinya yang sempat memanas karena perselisihan Ibu dan istrinya.
"Ya udah, aku belikan dulu. Mas tunggu di rumah, ya. Aku sendiri aja," ucap Lita pada akhirnya.
Namun, baru saja berbalik, Zafran meraih tangannya. Ada rasa tak tega di hatinya mengingat wanita itu sedang mengandung.
"Kenapa, Mas?"
Diam-diam Ibu melirik tanpa berbalik. Teringin tahu apa yang sedang dilakukan anak dan menantunya.
"Kamu tunggu di rumah aja, biar Mas yang pergi. Takutnya kecapean, terus nanti kenapa-napa sama kamu dan anak kita. Duduk aja di teras, Mas nggak lama, kok." Zafran tersenyum.
Raib sudah amarah melihat wajah menyesal Lita. Ia menggandeng tangan istrinya itu dan membantunya duduk di teras. Sementara Zafran pergi keluar mencari sarapan untuk semua orang di rumah.
Dia mendesah disaat melihat antrian cukup banyak di depan warung yang menyediakan aneka sarapan siap santap. Memang biasanya begitu, tapi Zafran tak sekalipun mengantri di sana. Itu karena Seira selalu menyediakan kebutuhan semua orang di rumah.
Kini, ia harus rela duduk di bale-bale menunggu antrian kosong.
"Eh, Pak Bos. Kok, duduk di sini? Lagi mau beli sarapan juga?" tegur salah seorang warga yang baru saja selesai dengan pesanannya.
Zafran menoleh, tersenyum malu ditegur seperti itu. Wajahnya menghangat sedikit memerah, tapi ia menahannya.
"Iya, Bu. Ibu lagi pengen lontong sayur soalnya," jawabnya masih dengan senyum yang sama.
"Oh, bukannya dulu nggak pernah beli-beli, ya? Emang menantu barunya nggak masak? Pasti bisa masak, dong, ya. Secara Pak Bos ini, kan, nggak suka makanan di luar," sindirnya sambil menyenggol teman di samping.
"Iya, Pak. Biasanya Bu Sei, kan, selalu bikin di rumah. Sekarang, malah beli?" Yang lain ikut menimpali.
"Eh, Ibu-ibu. Maklumin aja Pak Bos. Mereka, kan, masih penganten baru masih pengen mesra-mesraan. Ibu-ibu ini kayak nggak pernah muda aja," tegur seorang warga laki-laki yang sedang menikmati secangkir kopi di warung tersebut.
Zafran melirik, tapi tetap saja hatinya merasa dongkol.
"Oh, iya, ya. Maaf, ya, Pak Bos. Kami bukannya mau menyinggung atau cari masalah. Ya udah, kami permisi. Mari!"
Zafran menganggukkan kepala, tak lagi tersenyum karena sindiran dua Ibu-ibu tadi. Benar, selama menikah dengan Seira apapun selalu tersedia di rumah. Wanita itu memang jelmaan Dewi Sri yang membuat makmur rakyat.
Seira selalu bertanya padanya juga Ibu tentang apa yang ingin mereka makan setiap hari. Wanita yang pernah singgah di hati Zafran itu selalu menyiapkannya sendiri meskipun ada Bi Sari di rumah.
Mas mau makan apa? Ibu mau makan apa, ya, hari ini? Coba aku lihat ada apa aja di kulkas.
Itulah sederet kalimat yang sering diucapkan Seira hampir setiap hari. Apapun yang diminta mereka, ia selalu siap menyediakan. Jikapun belum bisa, Seira tak pernah menyerah untuk belajar. Wanita yang gigih dan pantang menyerah.
Zafran mengembuskan napas, mengusap wajahnya gelisah. Lagi-lagi kenangan tentang Seira menjadi hantaman untuk hatinya. Oh, apakah itu godaan rumah tangganya?
"Pak Bos! Mau pesan apa?"
Suara pemilik warung menyentak lamunannya, Zafran berbalik dan beranjak saat melihat wanita yang tak lagi muda itu tersenyum kepadanya. Ia berdiri di depan sederet makanan yang tersaji dengan praktis.
Ada nasi uduk, lontong sayur, kupat tahu, ketoprak dan gado-gado. Belum lagi aneka gorengan berminyak melambai-lambai menggodanya.
"Lontong sayur, Bu. Jangan pake sambel, kerupuknya dipisah, kuahnya panas, Bu?" ucap Zafran mengulangi ucapan Ibu.
"Beres, berapa bikinnya? Satu aja? Istrinya nggak sekalian, Pak Bos?" tanya pemilik warung sambil menyiapkan pesanannya.
Teringat orang tua Lita di rumah, ia memesan tiga porsi. Setelah berpikir, akhirnya ia memesan lima porsi sekalian saja.
"Wuih ... Pak Bos, ngeborong nih! Bolehlah traktir kita-kita ini, Pak. Sekali-kali. Bu Sei dulu juga sering bagi-bagi makanan sama warga sekitar," seloroh salah satu warga disambut riuh rendah yang lainnya.
Zafran tersenyum kecut, setiap kali nama Seira disebut hatinya merasa tercubit. Betapa nama itu melekat di hati masyarakat. Ia hanya memberikan anggukan tanpa menyahut dengan kata.
Selentingan yang lagi-lagi menyebut nama mantan istrinya itu, rasanya sedikit muak memang. Namun, ia pun tak dapat memungkiri, pengaruh Seira benar-benar besar di lingkungan tempat tinggalnya.
Zafran berpamitan setelah membayar semua pesanan termasuk makanan yang dimakan warga yang ada di warung tersebut. Perut kenyang, hati pun senang dan uang aman.
Banyak mata memandang sepanjang perjalanan menuju rumah, ia mencoba untuk tidak peduli dan terus melangkah memasuki gerbang rumah. Rasanya hari itu Zafran tak ingin pergi ke mana pun, tapi mengingat akan datang beras ke gudang terpaksa harus melenggang juga.