NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Antara Rindu dan Batasan

"Kadang, rindu tak harus diungkapkan. Cukup dirasakan dalam diam, sambil berharap Allah menjaga hati ini tetap kuat."

Sudah hampir seminggu sejak Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra mengurangi intensitas percakapan mereka. Tak ada lagi pesan singkat di pagi hari atau obrolan ringan tentang cuaca dan aktivitas sehari-hari. Namun, justru dalam diam itulah rindu mulai tumbuh — rindu yang mereka sendiri tak berani akui.

Arpa duduk di teras rumahnya, menatap halaman kosong sambil memainkan ujung jilbabnya. Pikirannya melayang ke hari-hari saat ia dan Fathir masih sering bertukar pesan. Ia menghela napas pelan.

"Kenapa ya, justru saat nggak komunikasi malah makin kepikiran?" batinnya.

Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca Al-Qur’an, tapi pikirannya tetap melayang ke Fathir.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Nayla Azzahra, sahabat karibnya, masuk.

Nayla: “Arpaa! Lagi apa? Aku kangen nih ngobrol-ngobrol sama kamu! 😆”

Arpa: “Lagi santai di rumah, Nay. Aku juga kangen!”

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Nayla menelepon.

“Assalamualaikum, Arpa!” suara ceria Nayla langsung terdengar di telinga Arpa.

“Waalaikumsalam, Nay. Ada angin apa nih?”

“Haha, nggak ada angin apa-apa. Aku cuma ngerasa, kamu kok akhir-akhir ini agak beda, ya? Kayak ada yang dipikirin banget,” tanya Nayla penasaran.

Arpa terdiam sejenak. “Nggak, kok. Cuma lagi banyak mikir aja,” jawabnya berusaha mengelak.

Nayla tertawa. “Yaelah, Arpa. Aku ini sahabat kamu dari SMA, tahu banget gaya kamu kalau lagi mikirin cowok.”

Arpa menghela napas, akhirnya menyerah. “Iya, Nay… aku lagi mikirin Fathir.”

“Waduh, beneran, nih? Kenapa? Kalian masih ngobrol kan?” tanya Nayla.

“Udah jarang. Kita kayak sengaja jaga jarak. Tapi anehnya, malah makin kepikiran.”

Nayla terdiam sejenak sebelum bicara, kali ini dengan nada lebih serius. “Arpa, perasaan itu wajar kok. Tapi kamu harus ingat, jangan biarin perasaan itu jadi beban buat kamu. Kalau kamu rindu, doain dia. Itu cara paling aman.”

Arpa tersenyum kecil. “Iya, Nay. Makasih udah ngingetin.”

---------------------------------------------------------------------------------

Sementara Itu, di Pondok Pesantren

Di pondok pesantren Al-Furqan, suasana sore dipenuhi suara lantunan ayat suci Al-Qur’an dari para santri. Di kamar asramanya, Fathir duduk bersila dengan kitab tafsir terbuka di depannya. Namun, tatapannya kosong.

“Masih kepikiran dia, bro?” tanya Irwansyah Pratama, sahabat dekatnya, sambil masuk ke kamar membawa segelas teh.

Fathir tersenyum kaku. “Iya... cuma bingung, gimana caranya menjaga hati ini tetap bersih.”

Irwansyah duduk di sebelahnya dan menyeruput teh. “Kalau menurut gue sih, selama kamu nggak ngelakuin hal yang melanggar syariat, itu wajar kok. Tapi jangan dipendam sendirian. Doa itu cara terbaik, bro.”

Fathir menunduk. “Aku takut kalau makin lama, perasaan ini malah bikin aku lalai.”

Irwansyah menepuk pundaknya. “Gue tahu, lo anak baik, Fath. Tapi coba pikirin ini — mungkin Allah ngasih perasaan itu biar lo lebih ngerti gimana cara menjaga hati. Kalau cinta itu bener, lo nggak perlu ngejar. Doa aja cukup.”

Kata-kata Irwansyah membuat Fathir terdiam. Dalam hati, ia tahu sahabatnya benar.

---------------------------------------------------------------------------------

Takdir yang Mempertemukan

Beberapa hari kemudian, tanpa rencana apa pun, takdir mempertemukan mereka.

Arpa menemani ibunya, Siti Rahmawati, berbelanja di pasar tradisional. Ia sibuk memilih sayuran saat tiba-tiba suara yang familiar terdengar dari kejauhan.

“Bu, ini cabainya ambil yang segar ya,” ucap seorang pemuda.

Arpa menoleh. Di depan salah satu kios, berdiri Fathir dengan peci hitam dan jaket abu-abu, membawa kantong belanjaan. Ia terlihat membantu seorang ibu tua memilih bahan makanan.

Hati Arpa berdebar. Ia tak menyangka akan bertemu Fathir di tempat sederhana seperti ini.

Namun, sebelum Arpa sempat memutuskan untuk menyapa atau tidak, Fathir menoleh. Mata mereka saling bertemu. Ada jeda beberapa detik — cukup untuk membuat jantung mereka berdegup kencang.

Fathir tersenyum sopan dan mengangguk kecil. “Assalamualaikum, Arpa.”

Arpa membalas senyumnya dengan canggung. “Waalaikumsalam, Fath.”

Suasana menjadi kikuk. Tak ada kata-kata yang keluar setelahnya. Hanya suara bising pasar yang mengisi keheningan di antara mereka.

Fathir akhirnya berbicara lagi, menjaga adab. “Apa kabar? Sudah lama ya nggak ngobrol.”

Arpa mengangguk. “Alhamdulillah, baik. Iya, sudah agak lama.”

Di tengah kebingungan itu, Bu Rahma menghampiri Arpa. “Siapa, Nak?”

Arpa tersenyum gugup. “Ini Fathir, Bu. Teman lama.”

Fathir menunduk sopan. “Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam, Nak. Wah, bantuin belanja juga ya?” tanya Bu Rahma ramah.

“Iya, Bu. Kebetulan lagi ada waktu kosong,” jawab Fathir.

“Bagus. Anak muda rajin kayak gini jarang, lho,” puji Bu Rahma sambil tersenyum.

Arpa merasa wajahnya memanas, tapi ia juga merasakan kehangatan di momen singkat itu.

“Jaga diri ya, Arpa,” ucap Fathir sambil tersenyum sebelum beranjak pergi.

Arpa membalas dengan lembut. “Kamu juga, Fath.”

-------------------------------------------------------------------------------

Refleksi Malam Itu

Malam harinya, Arpa duduk di balkon rumahnya, menatap langit. Ia memegang mushaf Al-Qur’an, tapi pikirannya melayang ke pertemuan singkat tadi.

"Ya Allah, jika pertemuan tadi adalah petunjuk-Mu, bimbing aku untuk menjaga hati ini. Jangan biarkan aku larut dalam harapan yang tak pasti."

Di pondok, Fathir melakukan hal yang sama. Ia mengambil wudhu dan melaksanakan shalat Tahajjud. Dalam sujud panjangnya, ia berdoa,

"Ya Allah, jika dia baik untukku, dekatkan dengan cara terbaik-Mu. Tapi jika bukan, tolong jaga hatiku dan hatinya dari rasa yang salah."

“Terkadang, cinta tak butuh kata-kata. Doa dan pertemuan singkat bisa lebih bermakna dari ribuan percakapan.”

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!