Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 11 — Conflict of the Heart
"Auw! Sakit!" rintih Ashana saat Faza menariknya dengan kasar ke luar mobil. Bahkan hingga memasuki rumah dan menaiki tangga pun, Faza masih belum melepaskan cengkeraman tangannya, membuat Ashana berteriak-teriak kesakitan.
"Kak!" Vanya berhasil mendahului langkah kaki kakaknya, melihat Ashana yang hampir menangis karena kesakitan, sepertinya ia pun jadi tak tega.
Namun, bukannya melepaskan Ashana, ia justru menatap adiknya dengan tajam. "Jangan menghalangiku, Vanya. Pergilah ke kamarmu sekarang," tegasnya penuh penekanan.
Melihat sorot mata sang kakak yang sepertinya sangat marah, Vanya pun hanya diam dan bergerak ke kamarnya tanpa suara. Meski ia membenci perempuan itu, tapi tetap saja hatinya merasa tak tega. Apalagi mengetahui sifat sang kakak, Vanya ragu Ashana akan baik-baik saja.
"Apakah kau pikir kebaikan hatiku sebagai sebuah candaan belaka, Ashana?!" gertaknya lalu mendorong Ashana hingga perempuan itu terjatuh. Bersyukur Faza melemparnya ke dekat tepian kasur.
Ashana langsung berdiri saat Faza mulai mendekat sambil memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih. "Kau menyakitiku!" protesnya sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang memerah.
Faza tertawa menyeringai, "Lalu? Apakah kau pikir yang kau lakukan tadi adalah kebaikan, begitu?"
"Sudah kukatakan aku bisa menjelaskannya! Tapi apa yang kau lakukan? Kau menarikku seperti anak kecil!" Ashana tak mau kalah kali ini. Setidaknya, pria di hadapannya ini harus tahu bahwa ia tidak bisa memperlakukan Ashana seenak hatinya.
"Baiklah, apa yang akan kau jelaskan, hm? Katakan sekarang!" tantang Faza, sorot matanya menatap Ashana dari atas hingga ke bawah, mencoba mengintimidasi.
Tetapi, Ashana justru berdiri dengan sama angkuhnya, postur tubuh Faza yang lebih tinggi darinya membuat Ashana harus mendongak agar bisa membalas tatapan Faza yang penuh intimidasi.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Faza penasaran.
Ashana tak menjawab, ia justru melangkah, memojokkan Faza hingga ke tembok. "Aku sedang mengajarimu bagaimana seharusnya memperlakukan aku dengan baik, Tuan Faza Yang Terhormat. Jangan karena kau sudah membantuku lalu kau bisa memperlakukan aku sesuka hatimu."
"Oh, begitu?" sahutnya datar. Sudut bibirnya terangkat sempurna. Sepertinya ia akan menyukai drama yang dibuat Ashana kali ini. "Jadi, Tuan Puteri ini ingin diperlakukan seperti apa?"
Satu tangan Faza terangkat menyentuh dagu Ashana, mengangkatnya agar perempuan itu bisa menatap wajahnya dengan lebih baik lagi.
"Jauhkan tanganmu dari tubuhku!" sentak Ashana menjauhkan diri. "Aku bukan gadis yang bisa kau permainkan lagi!" makinya.
Lagi-lagi Faza tersenyum, mengambil langkah mendekat dengan pasti, lalu dengan gerakan kilat ia mengangkat tubuh Ashana dan mendudukannya di sebuah meja yang ada di dalam kamarnya. Kini, tinggi mereka sejajar.
Dalam jarak yang sedekat itu, Ashana dapat merasakan embusan nafas Faza terasa hangat namun membakar wajahnya, kedua mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh arti.
Sama halnya dengan Ashana yang sedang menelisik wajahnya, Faza pun melakukan hal yang sama. Lisan mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan hati. Bahkan sampai sekarang pun, detak jantungnya tetap berdebar saat berhadapan dengan Ashana.
Lisannya tak pernah berkata jujur, tapi hati gak pernah membohongi dirinya. Ia sungguh-sungguh merindukan perempuan ini, siang dan malam, tanpa henti. Hanya saja, perasaan itu sudah terkubur jauh di dalam sudut hatinya, hingga sekarang.
Faza selalu percaya diri dan meyakini bahwa ia membenci Ashana, ia membenci Ashana hingga rasanya ingin menelan perempuan itu hidup-hidup. Tapi sesungguhnya ia tak benar-benar membencinya. Dibanding dengan membunuh, Faza merasa menginginkan perempuan itu sekarang. Gelora itu ada, bahkan tumbuh kuat dalam tekanan.
"Apa kau sadar bahwa kau perempuan yang sangat jahat, Ashana. Kau kejam dan sangat tak berperasaan." Faza menggertakkan gigi. Rahangnya mengetat saat hembusan nafas Ashana tak sengaja mengenai lehernya.
Sialan, jika terus seperti ini, aku takut tak akan bisa menahan diri.
Faza mengalihkan pandangannya ke samping, ternyata Ashana masih sama membahayakannya seperti dulu. Rasanya benar-benar terasa sesak sekarang. Ia berdiri lalu melonggarkan dasi dan membuka dua kancing teratas kemejanya.
"Apa katamu? Aku? Jahat?" tanya Ashana dengan semburan kemarahan. Ia turun dari meja lalu menunjuk-nunjuk Faza dengan telunjuknya. "Kau! Kaulah yang jahat! Kau kejam dan sangat tidak menghargaiku!" katanya dengan kesal.
Ashana terus saja mendesak Faza tanpa memedulikan apa akibat yang akan ia terima jika terus menyulut emosi pria itu.
"Cukup, Ashana! Kenapa jadi kau yang marah-marah? Seharusnya akulah yang marah karena kau mendekati pria lain!" sentak balik Faza. Ia mencengkeram lengan Ashana lalu menariknya ke tempat tidur.
"Sepertinya aku terlalu baik padamu sampai kau lupa dengan sikapmu," ucapnya lalu menyentak lengan Ashana hingga perempuan itu jatuh tepat di atas tempat tidur.
"Malam ini aku harus memberimu pelajaran agar kau tahu apa akibatnya mengabaikan perkataanku!"
•••
Vanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, merasa khawatir sekaligus takut. Belum genap sehari ia pulang tapi ia harus menyaksikan drama rumah tangga kakaknya sendiri.
"Aku harap dia baik-baik saja," gumam Vanya. "Apa yang sebenarnya dia lakukan sampai kakak semarah itu?"
Mau selama apapun Vanya berpikir, ia tetap tak menemukan jawabannya dengan benar. Tentang alasan mengapa emosi kakaknya meluap-luap. Tentang mengapa kakaknya menarik Ashana dengan kuat tadi sore. Juga tentang perempuan itu—perempuan yang pernah meninggalkan kakaknya, terlihat kesakitan dan menyedihkan.
Vanya tak pernah melihat kakaknya semarah itu bahkan sejah tujuh tahun lalu. Saat Ashana meninggalkan sang kakak di pesta lamaran mereka pun, kakaknya hanya bisa terdiam dan menangis tanpa diketahui orang lain.
Saat itu, meski usia Vanya baru tiga belas tahun, tapi ia dapat merasakan kesedihan dan kekecewaan yang kakaknya rasakan. Oleh sebab itu, ia tahu jelas perasaan yang dimiliki kakaknya untuk Ashana.
"Astaga, kenapa aku jadi bingung begini sih? Hatiku terasa gundah tak menentu," gumamnya sambil menatap langit-langit kamarnya yang dominan putih. Kamar itu tetap sama sejak terakhir kali ia tempati. Tak ada yang berubah sedikit pun, kecuali kakaknya.
"Haruskah aku menghubunginya? Sedang apa ya dia? Ya ampun, jika memikirkannya aku jadi rindu."
Vanya merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya, mengetik sebuah nomor dan menunggu panggilan itu tersambung.
Tak lama, terdengar suara laki-laki yang sangat ia rindukan selama beberapa hari terakhir. "Aku merindukanmu, sangat merindukanmu," katanya dengan manja begitu panggilan mereka tersambung.
"Bagaimana kalau kita bertemu besok? Jangan khawatir, kakak tidak akan tahu," bujuknya sambil tersenyum-senyum.
•••
Hayoloh, Vanya telepon sama siapa itu 😌
luknut. ketemu indiana jones sekali langsung teler . huuhhhhh