Misca Veronica merupakan seorang pembantu yang harus terjebak di dalam perseteruan anak dan ayah. Hidup yang awalnya tenang, berubah menjadi panas.
"Berapa kali kali Daddy bilang, jangan pernah jodohkan Daddy!" [Devanno Aldebaran]
"Pura-pura nolak, pas ketemu rasanya mau loucing dedek baru. Dasar duda meresahkan!" [Sancia Aldebaran]
Beginilah kucing yang sudah lama tidak bi-rahi, sekalinya menemukan lawan yang tepat pasti tidak mungkin menolak.
Akan tetapi, Misca yang berasal dari kalangan bawah harus menghadapi hujatan yang cukup membuatnya ragu untuk menjadi Nyonya Devano.
Lantas, bagaimana keseruan mereka selanjutnya? Bisakah Cia mempersatukan Misca dan Devano? Saksikan kisahnya hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mphoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Misca
Di rumah sakit Cia langsung ditangani oleh dokter khusus anak-anak di ruang UGD. Sementara Devano dan pembantunya menunggu di luar dengan wajah cemas penuh kekhawatiran.
"Bi, ada apa ini? Kenapa Cia bisa sampai seperti ini? Apa Bibi lupa memberikan makan? Atau bagaimana, hah? Jawab!"
Suara tegas Devano yang diselimuti kemarahan juga emosi terlihat meledak-ledak menatap tajam pembantu rumah yang selama ini membantu untuk menjaga Cia.
Bukannya Devano tidak bisa menyewa perawat, tetapi sedari kecil Cia dirawat oleh orang tuanya yang sedang ada urusan di luar negeri. Entah, kapan pulangnya dia pun tidak tahu.
Maka dari itu sudah sebulan ini Cia merasa kesepian lantaran di rumah seorang diri, tidak ada siapa-siapa kecuali, pembantu dan sopir.
Pembantu itu merasa takut. Dia hanya bisa menundukkan pandangan sambil memegang tas yang berisikan keperluan Cia untuk berjaga-kaga seandainya dokter menyarankan rawat inap.
"Jawab! Apa Bibi tidak memberikan Cia makan seharian ini, hahh! Bukannya saya bilang pantau Cia. Berikan dia makan, meskipun tidak mau keluar kamar. Bibi paham nggak sih, yang saya maksud, hahh!"
Bentakan demi bentakan, hingga cacian Devano keluarkan semua dengan rasa kesal yang dilampiaskan pada sang pembantu.
Devano begitu menyayangi Cia, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Sampai dia terkejut jika mendapatkan kabar, bahwa sang anak sakit.
"Ma-maafkan saya, Tuan. Tadi pagi saya mau antar makanan, cuma saya sudah melihat dan mengecek kalau Non Cia badannya panas. Saya coba bangunin, terus berikan sarapan dan minum obat, tetapi makin lama panasnya bukan turun malah makin tinggi. Saya bingung, Tuan. Jadi saya langsung kabarin Tuan, sekali lagi maafkan saya, Tuan. Maaf!"
Hanya kata maaflah yang berulang kali dia katakan kepada sang majikan. Selama bekerja di rumah Devano tidak pernah mendapatkan kemarasan sebesar ini.
"Maaf, maaf, maaf saja yang kamu bisa! Sudah berapa kali saya bilang, urus Cia dengan baik. Jangan sampai telat makan, main berlebihan, dan kecapean. Sebenarnya kamu becus nggak sih, ngurus anak kecil, hahh! Ka---"
"Jangan salahkan dia, Tuan. Dia tidak salah! Seharusnya di sini Tuan yang salah. Dia hanyalah seorang pembantu yang digaji untuk beberes rumah, bukan merawat anak Tuan!"
Mendengar suara tak asing itu keduanya langsung refleks menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Ternyata Misca sudah berdiri menatap datar.
Sifat arogan Devano memang harus dikasih paham supaya tidal selalu apa-apa menyalahkan seseorang, melempar kesalahan, ataupun tidak pernah mengaca untuk melihat kesalahan diri sendiri.
"Apa maksudmu menyalahkan saya, hahh! Saya ini ayahnya Cia. Saya kerja banting tuang buat membahagiakan anak saya. Lantas, di mana letak kesalahan saya?"
"Sebagai pembantu di rumah seharusnya dia mengerti dan paham betul apa yang harus dilakukan secara Cia tidak pernah memiliki perawat sejak kecil!"
Devano yang tidak terima disalahkan kembali mencecar Misca. Wanita itu baru juga datang sudah menimbulkan masalah, padahal dia tidak tahu bagaimana kondisi Cia sebenarnya. Begitulah pikirannya.
"Itu salah Tuan sendiri. Buat apa Tuan kerja banting tulang kalau mengurus anak satu aja sulit, bagaimana punya anak banyak bisa-bisa semua terlantar. Ingat, Tuan! Uang bukan segalanya, tapi anak segalanya bagi hidup orang tuanya!"
"Harusnya Tuan berkaca, ada kaca besar 'kan, di rumah? Nah, Tuan, ngaca deh, apakah Tuan sudah melakukan kewajiban Tuan sebagai seorang ayah? Tidak! Non Cia tidak meminta apa-apa dari Tuan. Dia hanya butuh waktu untuk bersama Tuan, itu saja tidak lebih!"
Misca yang niatnya tidak ingin membuka semua kartu AS Cia. Harus dia buka hari ini juga. Jika tidak begitu Devano malah semakin menjadi-jadi.
"Apakah Tuan tahu, semalam Non Cia menangis karena merasa sedih. Disaat teman-temannya liburan sekolah pada bersenang-senang sama orang tuanya, seperti Non Nina. Sementara Non Cia? Dia harus menahan kesedihan untuk berdiam diri di rumah tanpa merasakan indahnya dunia di luar sana,"
"Jika memang Tuan tidak bisa menemani masa-masa liburan Non Cia, apa salahnya sih, Tuan izinkan saja Non Cia pergi bersama Non Nina. Pasti mereka bahagia sekali menikmati liburan bersama, daripada begini Non Cia malah jadi sakit setelah memendam perasaan kesedihan yang tidak pernah ditunjukan pada siapa pun termasuk, Tuan!"
Devano langsung terdiam. Kalimat Misca kali ini sangat menusuk jantung. Dia tidak main-main dalam memberikan nasihat supaya pria itu sadar jika di atas langit masih ada langit.
"Untuk itu, saya mohon sekali, Tuan. Tolong hentikan semua keegoisan ini! Jangan lagi melampiaskan kesalahan pada siapa pun. Lebih baik berkaca, sudah mampukah Tuan menjadi seorang ayah yang baik. Ayah yang selalu mengerti tentang perasaan anaknya. Ayah yang tidak pernah membuat anaknya bersedih, apalagi sampai menuntutnya untuk mandiri. Tidak, bukan?"
"Terus mengapa Tuan selalu melempar, menyalahkan, bahkan mencubit hati seseorang hanya sekedar menjadikan wadah untuk membuang kotoran Tuan sendiri pada orang lain yang tak bersalah, padahal sumber masalah itu ada pada diri Tuan sendiri!"
Tatapan mata Misca tersirat sebuah emosi yang sangat tinggi. Dia tidak lagi mengenal kata pembantu atau tuan rumah. Anggaplah ini sebagai peringatan untuk memberikan efek jera kepada Devano - pria menyebalkan di muka bumi.
Devano yang sedari tadi terdiam tak berkutik merasakan setiap kalimat yang diucapkan Misca bagaikan satu tampar keras yang berhasil menyadarkan sisi arogan yang dimiliki selama ini. Dia hanya tahu caranya menyalahkan seseorang tanpa melihat kesalahan sendiri yang tertutup keegoisan.
"Kau benar. Saya yang bersalah atas semua ini. Terima kasih sudah membuat saya sadar, jika seorang anak membutuhkan peran orang tua bukan pembantu!"
Jantung Misca seketika terhenti sejenak. Dia langsung sadar, bahwasanya apa yang diucapkan sudah terlalu menyakiti hati Devano.
Sebenarnya Misca tak ada maksud menyudutkan Devano dalam hal sebesar ini. Namun, pria itu malah membalas sindiran keras untuknya.
"Tu-tuan ... ma-maaf saya---"
Belum selesai Misca mengutarakan kesalahan yang sudah lancang memojokan Devano, tiba-tiba dokter dan asistennya keluar dari ruangan UGD dalam keadaan panik juga berlumuran keringat yang sudah bercucuran di dahi.
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
" aku membencimu"