Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angela dan Ibu Tirinya
Aku menjelaskan pada Hana, Adelia dan Lilian bahwa rumah yang berhadapan langsung dengan rumah kami saat ini adalah rumah kosong. Seseorang meninggalkannya begitu saja setelah kehilangan anggota keluarganya.
Dari yang Bima ceritakan, rumah ini dahulunya dihuni oleh sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, ibu dan seorang anak perempuan yang jika ditaksir mungkin seusia Adelia serta Lilian.
Mereka pindah kesini, setelah ayah dan ibunya bercerai. Ya, ayahnya menikah lagi dan ibu yang tinggal bersama dengan mereka adalah ibu tiri.
Putri mereka bernama Angela, gadis yang cantik dan baik hati, seperti kebanyakan ibu tiri. Ibu tiri Angela pun tidak menyukai Angela karena merasa sang suami lebih menyayanginya.
Ayah yang bekerja di luar kota sehingga jarang sekali pulang. Hal tersebut dimanfaatkan oleh ibu tiri untuk menyiksa Angela hingga dikatakan ia mengalami depresi.
Setelah itu kabar tentang keluarga mereka terhenti. Seolah menghilang, seperti cerita yang tamat, tanpa ada seorang pun yang tahu bagaimana akhirnya.
Angela tiba-tiba tidak ada, begitu pun dengan ibu tirinya. Sang ayah yang mengatakan jika mereka menghilang hingga akhirnya memutuskan pergi dari rumah itu.
Ada yang menduga-duga jika Angela sudah meninggal karena dibunuh, tapi jasadnya tidak pernah ditemukan. Pun ibu tirinya dikatakan mungkin ikut serta terbunuh, tapi lagi, jasad mereka tidak ditemukan.
Kabar tentang Angela dan ibu tirinya memiliki banyak opini dari warga sekitar, tapi tidak ada yang berhasil membuktikan kebenarannya satupun.
Tapi, memang yang paling banyak di katakan, adalah jika Angela dan ibunya meninggal dan sekarang menjadi hantu.
Cerita ini berhasil membuat Hana dan Adelia serta Lilian merinding ketakutan. Sedang aku, apa aku merasa takut?
Sedikit. Aku memiliki sedikit ketakutan tersendiri. Yang aku takutkan bukan tentang hantu Angela dan ibunya, sebab tidak ada yang menemukan jasad mereka. Tapi, bagaimana jika di balik cerita Angela yang sebenarnya adalah, bahwa mereka menghilang karena kejahatan perbuatan seseorang? Seorang penjahat yang berkeliaran karena kejadian tersebut tidak di laporkan pada polisi?
Kurasa bagian itu yang paling menakutkan dari semua cerita yang beredar tentang Angela.
"Kenapa kasus itu tidak di laporkan pada polisi saat itu?."
"Sepertinya karena kekurangan bukti." jawab Lilian menjawab pertanyaan dari Adelia. Aku bersyukur akhirnya mereka bisa akur. Tapi aku merasa cukup khawatir, aku takut, yang sebenarnya aku masih memikirkan cerita Lilian dan Adelia? Siapa yang mereka lihat sebenarnya?
___
Aku menyelesaikan tugasku tepat waktu. Ya, aku memutuskan untuk membuat pagar yang cukup tinggi dan mengelilingi seluruh bagian rumah. Pagar yang kurasa tidak akan bisa dipanjat oleh penjahat. Tugas yang sebenarnya bisa memakan waktu cukup lama akhirnya selesai dalam beberapa hari. Ya, walaupun Hana mengatakan, 'Bagaimana jika apa yang di ceritakan oleh penduduk sekitar adalah fakta sesungguhnya?'
Hana meminta kami agar segera pindah, dan tidak akan mempermasalahkan jika kami harus tinggal dirumah kecil sekalipun. Tapi sayang, semua takkan semulus itu. Sisa tabunganku kurasa takkan cukup untuk mengabulkan permintaan Hana.
"Harusnya kamu tidak membeli rumah ini, Mas!." ujar Hana.
"Ayolah, Hana. Jangan tampakkan rasa takutmu di dekat anak-anak. Kita adalah orangtuanya dan tugas kita adalah melindungi mereka." balasku.
"Melindungi dari sesuatu yang kita bahkan tidak tahu itu apa. Bagaimana jika ini adalah sesuatu yang lebih besar lebih dari yang kita bayangkan."
"Maka dengan sangat terpaksa aku harus masuk ke sana." jelasku meyakinkan Hana.
"Kamu gila, Mas? Hentikan pikiran konyolmu dan mari pergi dari sini." ujar Hana membentak. Ini kali kedua aku melihatnya begitu kesal dan marah. Kali pertama adalah saat tahu jika kami akan pindah kemari karena semua uang kami di gunakan untuk membayar semua hutang Diana.
______
"Apa anda sudah tidak waras, Pak Arsen? kali ini saya setuju dengan Bu Hana." ujar Erick setelah Hana menceritakan semuanya. Ya, hubungan kami dengan Erick tidak hanya sebatas driver dan asisten Hana saja, hubungan mereka sangat dekat. Benar, Erick sebenarnya adalah asisten Hana, yang diperintahkan Hana untuk bekerja padaku termasuk mengikuti kemana pun aku pergi.
"Benar, Erick. Tolong beri tahu Arsen agar berpikir ulang seribu kali. Kamu tahu kan, jika dia sangat nekat!?." tambah Hana berbicara melalui sambungan telepon. Meski sudah tidak bekerja pada kami. Erick dan Hana masih tetap berhubungan baik, layaknya kakak dan adik. Karena sebenarnya Erick adalah yatim dan piyatu. Erick berjanji akan datang kesini, dan membantu menyelesaikan masalah ini.
"Kenapa tidak lapor polisi saja?." tanya Erick lagi.
"Kasus itu sudah lama, Erick. Mungkin sekitar dua tahun lalu. Ya, benar. Aku penasaran, mengapa warga desa tidak melaporkannya ke polisi!." ucap Hana.
"Itu yang harus kita cari tahu." sambung Erick dan panggilan pun berakhir. Hana masih mendiamkan aku, dia mengatakan jika aku terlalu berani mengambil resiko yang berbahaya. Ia pun mengingatkan, jika ini sesuai dengan dugaanku, maka kami semua akan ikut terlibat dalam masalah ini termasuk anak-anak.
Aku sungguh berada dalam situasi yang sangat merepotkan. Aku menyesalkan atas sikapku kemarin, jika saja aku tak melibatkan diri pada masalah Diana, mungkin ini tidak terjadi.
Aku berusaha mencari pinjaman pada semua kenalanku, aku berencana untuk memindahkan Adelia_Hana dan Lilian ke tempat lain, kemudian aku akan menyusul mereka, tapi lagi, situasi seolah tak mendukung rencana baik ini.
"Nyesal kan sekarang? Itulah kenapa jangan bertindak ceroboh. Aku bingung kenapa kamu bisa jadi pengusaha dengan sikap yang demikian." ujar Hana kemudian keluar dari kamar. Aku meremas rambutku frustasi.
Aku membuka laptopku dan melakukan pencarian diinternet tentang kasus yang terjadi sekitar dua tahun lalu di Desa Hutan Kabut, dan sialnya tidak ada pemberitaan apapun sama sekali, aku berusaha mencarinya dengan berbagai macam kata kunci, tapi nihil tak ada apapun yang aku temukan.
"Ah, siaaaall." umpatku kesal hendak mengakhiri pencarian pada laman berbentuk huruf G itu. Entah bagaimana ceritanya, mungkin Tuhan masih berpihak padaku hingga sebuah user dengan nama @Bma_p yang ketika di klik mengarahkan pada sebuah laman lain yang berisi sebuah postingan sekitar dua tahun lalu. Mengapa aku membukanya, karena disana ditandai sebuah tempat yang kurasa adalah nama desa ini. Hanya saja sedikit berbeda, jika ini adalah Desa Hutan Kabut, maka disana hanya Desa Kabut. Mungkin tidak ada kaitannya, tapi entah mengapa aku mau membacanya.
'Hahaha, ternyata seru sekali ya, mereka orang-orang bodoh. Dia tidak mati, tapi dia gila dan dia nyata.' isi postingan dari sebuah user yang tidak aku kenali. Merasa tidak nyaman, akhirnya aku meninggalkan halaman tersebut.
"Mas," panggil Hana, membuatku kini beralih menatap ke arahnya.
"Ayok kita pindah, kumohon." pintanya penuh harap. Sementara aku hanya bisa menghembuskan nafas berat yang entah sudah ke berapa kali. Bukan, aku bukannya tidak ingin menuruti permintaan Hana, tapi sungguh saat ini aku benar-benar kehabisan dana.
"Jika itu tidak memungkinkan, karena dana yang tidak memadai. Kita bisa tinggal di Mobil saja, Mas." ujarnya lagi, seolah tidak membiarkan aku untuk menolak.
"Oh ayolah, Hana. Kita sudah pernah membahasnya." jelasku yang tidak ingin tersulut emosi karena ini benar-benar menggangguku.
"Kamu egois, Mas. Jika saja kamu tidak sok menjadi pahlawan. Ini semua tidak akan terjadi, dan aku, aku akan tetap bisa menikmati hidupku yang nyaman." sahut Hana penuh emosi. Aku tidak menjawab ucapan Hana, karena hanya akan semakin panjang. Aku memilih untuk pergi keluar meninggalkan Hana sendirian di Kamar, sedang aku keluar menuju halaman rumah untuk merokok.
Aku sebenarnya bukan perokok. Hanya saja, akhir-akhir ini aku mencobanya. Tidak buruk juga, karena kurasa ini sedikit mengobati sakit kepala.
"Lagi ngerokok, Mas?." tanya seorang bapak-bapak menghampiriku. Sedikit terkejut, dan sepertinya ia menyadari akan keterkejutan ku, diapun menjelaskan jika ia sebenarnya tengah bekerja dan menunjukkan letak kebunnya yang tidak jauh dari sini.
"Ya, Pak. Biasa." sahutku sekenanya. Setelah memperkenalkan diri ternyata bapak ini bernama Bapak Umar, beliau pun turut serta membantuku saat kepindahan Minggu lalu. Karena merasa sedikit sungkan, kami akhirnya sedikit berbincang-bincang.
"Kok bisa mas pindah disini? Maksudnya tahu dari mana tempat ini?." tanya Pak Umar.
"Dari teman saya, Pak. Bima namanya, kemarin dia ikut kesini. Dia dulu dibesarkan disini." mendengar itu pak Umar hanya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Ya, ya. Bima, ya?." ucapnya seolah tengah berpikir. Pak Umar bilang, sebenarnya ia cukup bingung dengan bima yang aku ceritakan ini. Karena setahunya yang bernama Bima di Desa ini hanya satu, dan itupun sudah pergi merantau tiga tahun lalu ke kota dan belum kembali ke Desa ini lagi.
"Ah, bapak bisa saja. Mungkin pak Umar lupa." ujarku tak percaya.
"Gak mungkin lupa, Mas. Toh, Bima itu keponakan saya. Desa ini desa kecil Mas, penduduk nya tidak banyak. Tidak mungkin saya tidak tahu." ungkapnya merasa bingung.
"Mas sudah lama kenalnya dengan Bima ini? Punya fotonya?." tanyanya lagi. Sedang aku hanya bisa menggeleng karena memang aku tidak memilikinya. Aku pun menjelaskan jika aku sudah kenal setahunan dengan Bima yang kami bicarakan.
Aku juga memberitahukan ke pak Umar jika Bima kecilnya tinggal dan dibesarkan disini, jadi kurasa dia benar-benar mengetahui seluk beluk desa ini. Dari Bima juga aku tahu, jika ada pantangan keluar saat surup di desa ini.
"Tidak ada pantangan apapun di desa ini. Mas yakin, tidak di tipu!?." ungkapnya sekalian bertanya.
Tiba-tiba dikejauhan Bima yang kami bicarakan muncul dan terlihat berjalan mendekat ke arah kami, aku pun memberitahukan ke pak Umar jika itu adalah Bima yang aku maksud.
"Baiklah, mungkin kamu benar. Saya bisa saja lupa." ujar Pak Umar berpamitan dan berlalu pergi tanpa bertemu terlebih dahulu dengan Bima. Kurasa pak Umar tergesa meski tidak menunjukkannya.
"Rahasiakan pembicaraan kita." ujarnya lirih sebelum benar-benar pergi tapi masih bisa aku dengar. Aku mengangguk walau sebenarnya aku tidak mengerti.