Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba sesuatu yang baru
Celia duduk termenung di balkon rumah Nenek Kinan. Tangannya memegang cangkir teh yang mulai dingin, sementara pikirannya berputar seperti roda yang terus berputar tanpa kendali. Di satu sisi, ia tahu betapa pentingnya karier yang sudah ia bangun selama bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, dia merasa kehilangan dirinya sendiri di dunia yang selalu menuntut kesempurnaan.
Suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Celia menoleh pelan, ia melihat Elvan berjalan kearahnya dan tersenyum.
Celia merentangkan kedua tangannya, mengisyaratkan Elvan agar memeluknya.
Elvan tersenyum, dia berhenti didepan Celia, menurunkan kedua tangan Celia. Dan menarik tubuh Celia kepelukannya. "Capek ya?" tanya Elvan.
Celia hanya menjawab dengan anggukan kepala. Elvan melepaskan pelukannya, lalu menatap lekat wajah Celia. "Apa yang kamu pikirkan?" Elvan bertanya lagi.
“Tristan. Aku yakin Tristan marah. Tapi dia juga membuat aku berpikir. Kalau aku ninggalin ini semua, aku bakal ke mana? Apa yang bisa aku lakukan kalau aku meninggalkan dunia model?”
Elvan diam sejenak, dia masih menatap Celia. “Menurutku, pertanyaannya bukan soal ‘bisa’ atau ‘nggak bisa.’ Tapi lebih ke, kamu beneran mau ninggalin dunia model atau enggak?”
Celia menatap Elvan. “Kalau aku salah pilih gimana?”
Elvan mengangkat kedua bahunya, “Kalau salah ya tinggal coba lagi. Hidup ini kan soal pilihan, kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya."
Celia mengangguk, ia setuju dengan pendapat Elvan.
Keesokan harinya, Lily duduk di ruang tamu, menatap layar laptopnya dengan ekspresi serius. Ketika Celia masuk ke ruangan, Lily menutup laptopnya dan melipat tangan di depan dada.
“Celia, kita harus ngomong,” ucapnya langsung.
Celia mendekati Lily dan duduk di sofa di depannya. “Soal apa lagi, Ly?”
“Soal keputusanmu,” jawab Lily tanpa basa-basi. “Aku tahu kamu lagi bingung, tapi kamu nggak bisa terus-terusan di tengah kayak gini. Tristan udah mulai tanya-tanya lagi soal kamu, dan aku nggak bisa terus-terusan ngeles.”
Celia menghela napas panjang. “Aku cuma butuh waktu, Ly. Aku nggak tahu apa aku harus balik ke Jakarta atau nggak. Aku bahkan nggak tahu apa aku masih mau jadi model.”
"What?" Lily menatap Celia dengan tatapan tidak percaya. “Aku ngerti kamu lagi galau, tapi kamu juga harus mikir ke depan. Dunia ini nggak akan nunggu kamu buat mutusin. Aku bakal selalu dukung kamu. Tapi kalau kamu mau ninggalin dunia model, aku nggak setuju," ucap Lily tegas.
Lily melembutkan nadanya. “Celia, aku kenal kamu lebih lama dari siapa pun di dunia ini. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang cuma jalan di tempat. Apa pun yang kamu pilih, aku yakin kamu bakal bikin itu berhasil. Tapi kamu juga harus pikirkan diri kamu sendiri.”
Celia menunduk, merenungkan kata-kata Lily.
******
Celia memutuskan berjalan ke pantai. Suasana tenang di tepi pantai selalu memberinya ruang untuk berpikir. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seseorang. Tristan.
“Aku nggak nyangka kamu masih di sini,” ucap Tristan saat melihat Celia.
“Aku juga nggak nyangka kamu kalau kamu masih di Bali,” balas Celia dengan nada sedikit defensif.
Tristan menyilangkan tangannya di dada, menatap Celia dengan ekspresi serius. “Aku cuma mau ngomong. Pikirkan baik-baik tawaranku kemarin, pikirkan karier kamu, dan semua kerja keras yang udah kamu lakuin bertahun-tahun."
Celia diam sejenak. “Beri aku waktu. Aku cuma butuh waktu buat mutusin semuanya.”
Tristan menghela napas panjang. “Ingat, Celia, ini bukan cuma soal kamu. Ini juga soal tim yang udah kerja keras buat kamu. Kalau kamu mundur sekarang, semua itu bakal hilang.”
Celia menoleh kearah Tristan dan menatapnya. “Aku tahu. Tapi aku juga manusia. Aku capek terus-terusan hidup buat orang lain. Aku cuma pengen tahu apa aku bisa hidup buat diriku sendiri.”
Tristan terdiam, lalu akhirnya berkata, “Kalau itu yang kamu mau, aku nggak bakal maksa. Tapi aku harap kamu tau apa yang kamu lakuin, dan kamu nggak akan menyesal nantinya."
Tanpa menunggu jawaban dari Celia, Tristan pergi, meninggalkan Celia yang masih berdiri terpaku di tepi pantai.
Celia kembali ke rumah dan duduk di teras depan rumah, memainkan ikat rambutnya. Elvan keluar dari dalam rumah dengan dua cangkir kopi, menyerahkan salah satunya kepada Celia sebelum duduk di kursi di sebelahnya.
“Tristan lagi?” tanya Elvan santai, menyesap kopinya.
Celia mengangguk dan menatap Elvan. "Kalau seandainya aku ninggalin dunia model, terus ternyata aku nggak bisa ngapa-ngapain, gimana?”
Elvan tersenyum kecil. "Nggak masalah, kamu bisa masak kan? Kamu bisa jadi nyonya Adhitama dan jadi ibu buat anak-anakku."
Celia hampir tersedak mendengar ucapan Elvan. “Enteng sekali jawaban kamu. Memangnya hidup semudah itu."
“Nggak mudah, Celia. Kita harus berusaha keras untuk mendapatkan itu," jawab Elvan sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ingat, kamu enggak sendirian. Ada aku, ada Lily. Kamu punya orang-orang yang bakal dukung kamu, apa pun yang kamu pilih.”
Celia tersenyum, ia merasa sedikit lega. Elvan benar, tapi rasa takutnya belum sepenuhnya hilang.
Keesokan harinya, Lily mengumpulkan Celia dan Elvan di ruang tamu. Ia membawa buku catatan kecil dan pena, siap dengan rencana yang sudah Lily pikirkan semalam.
“Dengar, Celia. Apa pun keputusanmu, kita harus punya rencana cadangan. Kalau kamu nggak mau balik ke Jakarta sekarang, kita bisa mulai sesuatu dari sini.”
Celia mengernyit. “Maksudnya mulai apa?”
“Kita bikin proyek kecil-kecilan. Kamu bisa coba jadi mentor buat model-model baru, atau bikin konten yang lebih personal. Yang penting, kamu tetap aktif, tapi dengan cara yang nggak bikin kamu kehilangan dirimu sendiri.”
Elvan mengangguk setuju. “Ide bagus. Kalau kamu butuh bantuan soal teknis, aku juga bisa bantu.”
Celia terdiam sejenak, mencerna ide itu. “Aku nggak tahu, Ly. Kayaknya aku belum siap buat mulai sesuatu yang baru.”
“Kamu nggak perlu buru-buru,” balas Lily. “Kita cuma butuh langkah pertama. Pelan-pelan aja, Celia. Tapi kamu harus mulai dari sekarang.”
Celia akhirnya mengangguk. “Oke, kita coba dulu. Tapi aku nggak janji, ya.”
Lily tersenyum puas. “Itu cukup buat sekarang. Yang penting, kamu nggak diam aja."
Dengan dukungan Elvan dan Lily, Celia merasa sedikit lebih percaya diri. Meski jalannya masih panjang dan penuh rintangan, ia tahu ia tidak sendirian.