Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11. CTMDKK
Sore harinya, obat ku sudah di dapat. Salma membantu ku bersiap-siap dan dengan merapikan semua yang berantakan di sini. Sembari ku menyusu* Reza, ku terus mencoba menelpon mas Ridwan. Kalau biasanya, jam segini dia lagi di perjalanan pulang dan matanya fokus pada ponsel terus. Tapi ini, panggilan ku masih terus saja di tolak olehnya.
“Mba, ayo sudah semua ini.” Ucap adikku menenteng 2 tas besar.
“Iya,,”
Aku dengan perlahan berdiri dan duduk di kursi roda. Lalu Salma meminta tolong seorang suster untuk mendorong kursi roda ke lobi rumah sakit ini.
“Terimakasih suster.” Ucap ku.
“Sama-sama, saya permisi ya. Semoga lekas sembuh bu..” Setelah mengucapkan itu dia pun pergi.
“Aamiin,”
“Mba, sebentar ya tunggu di sini. Bentar lagi driver nya datang kok.”
“Iya..”
Setelah driver datang, Ku dengan pelan berdiri dan di tuntun berjalan hingga masuk kedalam mobil. Ku merasakan masih sedikit nyeri namun tidak terlalu sakit seperti dua hari yang lalu.
“Mba,” Panggil adikku.
“Hmm?”
“kalau mba kesana, sepertinya mas Ridwan langsung pulang ke rumah orang tua nya mba.”
“Tidak apa-apa Salma, mba tunggu kok.”
Tak lama kemudian driver yang sudah di pesan pun datang. Ku dengan perlahan berdiri dan berjalan dengan di tuntun oleh Salma dan masuk kedalam mobil.
Sesampainya di depan rumah ku, ku dengan perlahan turun lalu ku di tuntun oleh Salma sampai ke depan pintu rumah.
Tok tok tok
“Assalamualaikum mas, mas Ridwan… Mas, aku pulang mas… Mas, bukakan pintu nya mas…” ku ketuk dan memanggil suamiku namun tak ada jawaban.
“Mba, kayaknya mas Ridwan belum pulang.”
Ku tengok jam di ponselku yang menunjukan pukul 5.10 sore. Seharusnya dia sudah sampai jam segini. Kemana dia sekarang?
“Yen? Yeni? Kamu pulang sekarang yen?” Tanya Nesa yang lewat depan rumahku.
Ku tersenyum dan menjawab, “Iya Nes, Hemmmm nes? Tadi kamu lihat suamiku pulang tidak?”
“Ridwan ya? nggak loh nggak lihat aku tuh. Emang di kunci?”
“Oh gitu, ku rasa dia belum pulang atau lembur mungkin.”
“Yen, kalau kamu nggak ada kunci nya. Kamu istirahat dulu saja di rumahku. Nanti kalau Ridwan pulang, ku panggil dia.”
“Wah, terimakasih Nes. Maaf aku selalu ngerepotin kamu.” Ucap ku merasa tak enak pada Nesa.
“Lah nggak apa lah kaya sama siapa aja. Ayo, kerumah ku dulu saja. Kamu berdiri terus pasti sakit kan?”
Akhirnya ku dan Salma pergi ke rumah Nesa lebih dulu sembari menunggu mas Ridwan pulang.
“Duduk dulu. Sebentar ku ambilkan minum.”
“Makasih ya Nes?”
“Iya iya, eh Niko salim dulu sama tante Yeni tuh. Ada dedek juga tuh coba kamu main bareng sama dedek Reza”
“Hihi Adekk.. hihi lucuu … “ ucap Niko anaknya Nesa memegang pipi Reza.
“Iya, ini juga lucu.” Ku balas dengan menyentuh pipinya juga.
“Hihi, tante Yeni. Hihi..”
“Mba,”
“Hmm? Kamu nggak apa kan Sal? Kalau kamu mau pulang ke kos nggak papa kok. Maaf ya mba merepotkan kamu.”
“Mba bukan itu. Salma Cuma mau kasih tau mba kalau semisal nanti mas Ridwan tidak datang. Mba mau pulang aja kan ke rumah kita?”
“Iya,”
“Oke lah, kalau begitu Salma agak lega dengarnya.”
Di saat yang sama, Nesa membawa nampan berisi air minum dan camilan. Kami pun berbincang bersama. Hingga tak terasa waktu telah memasuki waktu magrib.
“Suamiku sudah pulang sepertinya Nes?”
“Sepertinya Yen. Sebentar ku coba ke rumah mu.”
Nesa pun beranjak berdiri dan keluar dari rumah menuju ke rumahku.
Beberapa menit kemudian, Nesa kembali dan berkata. “Yen, Ridwan udah pulang tuh. Tapi dia malah nggak mau keluar.”
“Benarkah? Emm coba ku harus kesana dulu.”
Aku perlahan bangkit dan berjalan pelan masih di tuntun oleh Nesa sedangkan adikku menggendong Reza.
Sampai di depan rumah, ku ketuk dan ku panggil suamiku.
“Mas.. Mas? Mas? kamu udah pulang kan?”
Tak ada jawaban, “Yen, tadi dia nyaut berarti kan dia di dalam?”
“Mas? Ku mohon buka pintunya mas. Ku ingin bicara dengan kamu mas?”
“Ridwan.. uyy. Buka pintu nya..” Nesa ikut memanggil nya.
Tak selang lama, pintu pun di buka. Mas Ridwan keluar dengan wajah yang masam.
“Mas?”
“Apasih? Kenapa kamu kembali ke sini lagi! Sana pergi! Katanya mau pulang! Pergi! Ganggu orang sedang tidur saja.”
“Mas? Astaga … mas? Bukan maksudku untuk pergi mas. Ku hanya pulang ke rumah orang tua ku sementara. Setelah sembuh, ku akan kembali mas. Seperti itu.”
“Halah.. Sama aja! Kamu pasti nggak tahan kan sama omongan mama? Kamu ini kalau dinasehati orang tua nurut tapi aslinya kamu sama sekali nggak suka kan? Kamu ini bagaimana sih? Katanya mau jadi istri yang penurut, nyatanya apa? Pergi ke rumah sakit nggak bilang, terlantarkan suami, gosipin mama, mau pergi lagi. apa-apaan sih kamu?” Dia marah meledak-ledak sambil menunjukku.
“Ridwan! Kamu ya!” Nesa berusaha membela ku.
“Diam! Kamu diam! Jangan ikut campur.”
“Kenapa? Kamu nggak terima? Seharusnya kamu itu perhatian bukan seperti ini. kamu terus-terusan nurut kata ibumu. Ingat, di aini istri kamu.” Jelas Nesa padanya.
Karena suara nya yang keras, para tetangga jadi keluar melihat kami.
“Hey! Kamu diam ya! Kamu siapa hah? Sana lebih baik kamu pulang. Kalau kamu tidak punya ilmu jangan bicara. Sampai kapan pun anak laki-laki milik Ibunya sampai mati. Kamu ini tak sekolah ya? pantas saja tak tau.
“Milik itu berarti tanggung jawab, artinya anak laki-laki itu..” jelas Salma dengan santai.
“Cukup! Sudah sana pergi. Katanya mau pergi!” usir mas Ridwan lagi padaku.
Tiba-tiba saja, Ku dengar suara mertua ku dari kejauhan.
“Eh Yeni! Kamu berani sekali nginjek kaki kamu di sini? Pergi!”
“Bu Marni! Anda keterlaluan sekali ya.” Ucap Salma pada ku.
“Heh kutu buku! Lu diem aja deh! Wanita seperti kakak kamu ini memang pantas sekali di usir. Udah jelek, miskin, tidak berpendidikan masih aja tidak tau diri. Kakak mu itu seharusnya jadi janda! Haha..” Ucap Syifa, adik suamiku pada ku.
Salma yang tak terima, dia pun maju dan menjambak rambut Syifa. Kini keadaan makin kacau.Mereka tak mau melepaskan tangannya satu sama lain.
Karena heboh, pak Rt pun turun tangan untuk memisahkan mereka.
“Heh! Mulut mu itu memang harus di jahit.” Teriak adikku.
“Salma… udah..” ku coba bujuk adikku.
“Haha, lu pikir gue takut sama lu? Dasar kampungan. Nggak sudi aku punya kakak ipar kaya dia.”
“Kamu! Dasar L*nte” tiba-tiba adikku berteriak tak terima akan hal itu. baru kali ini ku mendengar adikku berkata kasar.
Bersambung …