Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
Revan duduk diam di dalam mobilnya yang terparkir di depan sebuah toko bunga kecil. Matahari perlahan mulai tenggelam, memberikan semburat jingga di langit.
Ia melihat pintu toko terbuka, dan Mira keluar dengan senyum lembut. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap penuh ketulusan. Mira mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, membawa sebuah buket kecil di tangannya. Saat ia melangkah ke arah mobil, Revan keluar untuk membukakan pintu.
“Maaf lama, tadi aku harus bantu temanku menyelesaikan pesanan terakhir,” kata Mira pelan sambil masuk ke dalam mobil.
“Tidak apa-apa,” jawab Revan, suaranya lembut tapi terdengar sedikit kaku. Ia menutup pintu dan segera kembali ke sisi pengemudi. Mereka duduk dalam keheningan sejenak sebelum Revan menyalakan mesin mobil.
“Bagaimana harimu?” tanya Revan setelah mereka mulai melaju di jalan. Ia menoleh sekilas ke Mira.
“Cukup sibuk, tapi aku senang. Bunga selalu punya cara membuatku merasa lebih baik,” jawab Mira dengan senyum kecil.
“Bagus kalau begitu,” gumam Revan.
Perjalanan menuju pulang terasa lambat meski jalanan cukup lengang. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Mira melirik ke arah Revan beberapa kali, mencoba membaca pikirannya.
Sejak pernikahan mereka, Mira selalu berusaha memahami Revan, pria yang kini menjadi suaminya, meski hati mereka masih belum sepenuhnya menyatu.
Setibanya di rumah Mira, Revan memarkir mobilnya di depan pagar. Ia keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Mira. Dengan penuh perhatian, ia mempersilakan wanita itu keluar dari mobil. Namun, langkah mereka menuju pintu masuk mendadak terhenti oleh suara lantang yang familiar.
“Kak Revan!” teriak Shinta, adik perempuannya, dengan nada tinggi.
Revan dan Mira sama-sama terkejut. Revan segera menoleh, mendapati Shinta berdiri tak jauh dari sana dengan wajah penuh amarah. Rambutnya yang tergerai tampak sedikit berantakan, seakan-akan ia baru saja bergegas ke tempat itu.
“Siapa lagi wanita ini, Kak? Kenapa Kakak berduaan dengannya?” tanya Shinta dengan nada menyudutkan. Sorot matanya tajam, langsung mengarah pada Mira yang terlihat bingung.
Revan menghela napas, mencoba mengendalikan emosi. “Mira, masuklah dulu ke dalam,” ujarnya lembut, memberi isyarat agar Mira tidak perlu terlibat dalam konflik ini.
Mira menatap Shinta sejenak sebelum beralih pada Revan, lalu mengangguk pelan. “Baik, aku tunggu di dalam,” katanya, sebelum melangkah pergi.
Setelah Mira menghilang di balik pintu, Revan memusatkan perhatiannya pada Shinta yang masih berdiri dengan tangan bersilang di dada.
“Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini, Shinta?” tanyanya, mencoba tetap tenang meski tahu ini akan menjadi percakapan yang sulit.
"Tadi aku lihat mobil Kakak terparkir di depan toko bunga, dan aku melihat wanita itu masuk ke dalam mobil Kakak. Jadi, aku inisiatif ngikutin Kakak sampai sini. Untuk memastikan siapa dia dan apa hubungan kalian. Coba jelaskan, Kak! Siapa wanita itu?!"
Shinta melipat tangan di dadanya, menunggu penjelasan, sementara tatapannya terus menuntut. Revan terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu ini bukan waktu yang ideal, tetapi ia juga tak bisa terus menyembunyikan kebenaran.
"Shinta," ucapnya perlahan, "Aku akan jujur sama kamu. Dia adalah kakak Nadira, dan sekarang dia istriku."
Pernyataan itu menghantam Shinta seperti petir di siang bolong. Wajahnya menunjukkan keterkejutan, tetapi hanya sesaat sebelum berubah menjadi kemarahan yang lebih besar.
"APA?! Kakak menikahi kakaknya Nadira?! Apa Kakak sadar apa yang Kakak lakukan?! Apa Kakak lupa bagaimana ayah dan ibu sangat membenci keluarga mereka?!" Shinta berseru dengan nada tinggi, membuat Revan semakin terpojok.
Revan mencoba menjelaskan, meskipun pikirannya terasa kacau. "Shinta, aku tahu ini sulit diterima. Tapi aku punya alasan. Mira... Mira bukan seperti yang ayah dan ibu pikirkan tentang keluarganya. Dia berbeda."
Shinta mendengus sinis, lalu berbalik seolah ingin pergi. "Bagus sekali, Kak! Sekarang Kakak bahkan berani menyembunyikan ini dari keluarga. Aku akan bicara dengan ayah dan ibu. Mereka harus tahu!"
"Tunggu, Shinta!" Revan buru-buru memegang lengannya, menghalangi langkahnya. "Jangan bilang mereka dulu! Aku... aku sedang mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Kumohon, beri aku kesempatan."
Shinta menarik tangannya dari genggaman Revan. "Kesempatan? Kakak pikir mereka akan menerima ini, setelah semua yang terjadi di masa lalu?! Kakak hanya mempersulit semuanya!"
Revan menghela napas berat, rasa frustrasi bercampur rasa bersalah. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi. Mira adalah istriku sekarang, dan aku berjanji akan melindunginya. Aku mohon, jangan kasih tahu mereka dulu. Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya dengan baik."
Shinta memandang Revan dengan mata berkaca-kaca, marah sekaligus kecewa. Ia menimbang-nimbang ucapan kakaknya sebelum akhirnya mendesah panjang.
"Baik," katanya dingin. "Aku tidak akan bilang apa-apa untuk sekarang. Tapi ingat, Kak, kalau ini berakhir buruk, aku tidak akan diam saja."
Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Shinta berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Revan yang masih berdiri di tempatnya, matanya memandang kosong ke depan. Kepalanya terasa penuh oleh kekhawatiran dan rasa bersalah, seperti beban yang semakin sulit ia pikul.
Di dalam rumah, Mira berdiri di dapur, menyibukkan diri dengan menata makanan di atas meja makan. Meski wajahnya terlihat tenang, gerakannya sedikit gugup, mencerminkan kegelisahan yang ia coba sembunyikan.
Ketika Revan masuk ke dalam rumah, ia berhenti sejenak di ambang pintu dapur, memandang Mira yang sedang memindahkan piring ke meja.
Mira menyadari kehadirannya dan menoleh. "Semua baik-baik saja?" tanyanya lembut, suaranya penuh perhatian. Mata Mira menatap Revan, mencari jawaban dari sorot matanya yang tampak lelah.
Revan menghela napas panjang, berusaha tersenyum meskipun jelas terasa dipaksakan. "Belum. Tapi... akan baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu untuk menjelaskan semuanya pada mereka," jawabnya dengan suara yang sedikit serak.
Mira mengangguk pelan, mencoba memberi Revan ruang untuk menenangkan pikirannya.
Ia melanjutkan pekerjaannya, menyuguhkan makanan di atas meja dengan tenang. Setelah semuanya siap, ia menatap Revan dengan senyum kecil yang penuh ketulusan. "Makan dulu aja Mas, jangan pikirin mereka dulu, nanti kamu malah stres. Nanti kita hadapi mereka bersama."
Revan berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi. Ia memandang Mira yang sibuk menuangkan air ke dalam gelas, memperhatikan setiap gerakannya dengan rasa syukur yang dalam. Mira, dengan segala kesederhanaan dan kelembutannya, selalu tahu cara membuat Revan merasa sedikit lebih baik, meski hanya sejenak.
"Mira," panggil Revan tiba-tiba.
Mira menoleh, menatapnya dengan tatapan bertanya. "Iya?"
"Terima kasih," ucap Revan singkat.
Mira tersenyum kecil, meskipun ia tahu kata-kata itu mengandung lebih banyak emosi daripada yang terlihat.
"Sekarang Kita ini keluarga, Revan. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama,"
Revan mengangguk, merasa sedikit lebih kuat dengan kehadiran Mira di sisinya. Mereka mulai makan dalam diam, tetapi bukan keheningan yang canggung. Sebaliknya, suasana terasa hangat, seperti jeda yang dibutuhkan di tengah badai besar yang sedang mereka hadapi.
Dalam hati, Revan berjanji pada dirinya sendiri. Ia akan melindungi Mira, apa pun yang terjadi. Wanita ini telah memilih untuk bersamanya, meski tahu semua risiko yang harus dihadapi. Dan bagi Revan, itu lebih dari cukup untuk membuatnya terus berjuang, menghadapi apa pun yang akan datang.
Setelah selesai makan, Revan berdiri dari kursinya sambil menggulung lengan kemejanya. "Biar aku bantu beresin, Mira," katanya sambil meraih beberapa piring di atas meja.
Mira menatapnya dengan alis terangkat, sedikit terkejut. "Mas mau bantu? Apa nggak capek?" godanya sambil mengambil sisa piring di meja.
Revan tersenyum kecil sambil membawa tumpukan piring ke dapur. "Capek sih, tapi kalau cuma duduk-duduk, aku malah makin kepikiran. Lagipula, bantu-bantu dikit nggak ada salahnya, kan?" jawabnya ringan.
Mira mengikuti dari belakang sambil membawa gelas dan piring lainnya. "Kalau gitu, aku terima tawarannya. Tapi hati-hati, ya. Jangan sampai pecahin piringku." Ia melirik Revan sambil tersenyum menggoda.
Di dapur, Revan meletakkan piring-piring di wastafel, lalu mulai menggulung lengan kemejanya lebih tinggi. Ia mengambil spons dan mulai menyabuni satu per satu piring dengan hati-hati.
Mira berdiri di sebelahnya, mengamati dengan mata penuh selidik. "Hmm... ternyata Mas Revan bisa juga cuci piring," gumamnya pura-pura kagum.
Revan meliriknya sekilas. "Hei, jangan meremehkan. Aku ini sudah sering cuci piring sendiri waktu kuliah dulu."
"Tapi itu kan udah lama banget," Mira menimpali sambil tertawa kecil. "Kita lihat aja nanti hasilnya."
Revan tertawa pelan, lalu dengan sengaja menyipratkan sedikit air ke arah Mira. "Hasilnya bakal bersih sempurna, asalkan kamu nggak ganggu."
Mira tersentak kecil karena cipratan itu. "Mas! Jangan main-main, nanti dapurnya basah semua," katanya sambil mencoba menghindar.
Namun, Revan justru menyeringai. "Aku nggak main-main kok. Ini cuma tes ketahanan air." Ia kembali menyipratkan air, kali ini lebih banyak, membuat Mira tertawa geli sambil melindungi wajahnya.
"Mas! Kalau berani, coba sini lawan!" Mira balas menyipratkan air dengan gayanya sendiri, membuat dapur penuh dengan tawa dan percikan air.
Revan pura-pura kaget sambil mengangkat kedua tangannya. "Oke, oke! Aku menyerah. Kamu menang!" katanya dengan nada bercanda, meski senyumnya masih lebar.
Setelah suasana mulai tenang, Mira menggeleng sambil menatap lantai dapur yang kini sedikit basah. "Tuh kan, apa aku bilang. Lantai jadi becek."
Revan mengambil kain pel dan mulai membersihkan lantai sambil tetap tersenyum. "Ya, biar adil, aku yang bersihin."
Mira hanya menggeleng pelan sambil tersenyum hangat. "Kadang aku nggak tahu harus kesel atau senang punya suami kaya Mas," gumamnya setengah bercanda.
Revan menoleh sambil menyeringai. "Lebih baik senang aja. Biar hidup kita lebih bahagia."