Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Kegelapan yang Mengintai
Cahaya terang yang memancar dari tubuh Elarya memudar perlahan, meninggalkan rasa lelah yang luar biasa di tubuhnya. Kael berdiri di sampingnya, menatap makhluk yang kini tampak lenyap menjadi kepulan asap hitam. Udara sekitar menjadi sunyi, hanya suara angin yang terdengar, namun keheningan itu bukan tanda bahwa bahaya telah berlalu.
“Elarya, kau baik-baik saja?” Kael berlutut di sampingnya, memperhatikan wajahnya yang pucat.
Elarya mengangguk lemah. "Aku... masih bisa berdiri." Ia berusaha bangkit, meskipun tubuhnya gemetar. “Tapi aku bisa merasakan sesuatu, Kael. Kegelapan ini... ini bukan akhir. Ada sesuatu yang jauh lebih besar.”
Kael menggenggam tangannya, mencoba memberikan ketenangan. "Kita akan menghadapinya bersama, seperti biasa. Tapi kau butuh istirahat dulu."
Namun, sebelum Elarya bisa menjawab, gemuruh lain terdengar di kejauhan. Kali ini bukan dari makhluk besar yang baru saja mereka hadapi, melainkan dari langit. Awan hitam mulai berkumpul dengan cepat, membentuk pusaran di atas mereka. Cahaya petir yang merah darah melesat di antara awan, menerangi bumi dengan kilatan yang mengerikan.
“Elarya...,” suara Kael berubah menjadi nada waspada. “Apa itu?”
Elarya memejamkan matanya, mencoba merasakan kekuatan di sekitarnya. Namun, saat ia menyentuh energinya, ada sensasi dingin yang menyengat, seperti ribuan jarum menusuk ke dalam jiwanya. “Ini... ini bukan dari segel. Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak pernah kuhadapi sebelumnya.”
Sebelum mereka sempat bereaksi, pusaran di langit tiba-tiba memunculkan sosok yang menyerupai bayangan manusia. Tubuhnya besar, dengan jubah hitam panjang yang berkibar, dan wajahnya tidak terlihat jelas kecuali mata merah menyala yang menatap tajam ke arah mereka.
"Pemilik Segel Cahaya," suara makhluk itu dalam, menggema di seluruh area. "Kau telah menunjukkan potensi yang cukup untuk layak diperhatikan. Namun, kau masih belum siap menghadapi apa yang akan datang."
Elarya menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan?"
Makhluk itu tertawa kecil, sebuah suara yang membuat tulang belakang mereka terasa dingin. "Aku hanyalah utusan, penyampai pesan dari Kegelapan yang Sejati. Kau, Elarya, telah mengguncang keseimbangan. Dengan menguasai segel itu, kau telah membuka jalan bagi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak bisa kau hentikan."
Kael maju satu langkah, melindungi Elarya dengan tubuhnya. "Jika kau hanya utusan, maka tinggalkan pesannya dan pergi. Kami tidak takut padamu."
Namun, makhluk itu hanya melipat tangannya di depan dada, lalu mengulurkan satu jari ke arah Elarya. “Pesanku sudah jelas. Kekuatan segel itu bukanlah pemberian; itu adalah kutukan. Dan kau, sang pewaris, akan membawa kehancuran pada dunia ini.”
Elarya menatapnya dengan mata penuh tekad. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
“Benarkah?” Makhluk itu mengangkat tangan, dan tiba-tiba angin di sekitar mereka berubah menjadi pusaran kuat yang membuat tubuh mereka terangkat sedikit dari tanah. “Kita lihat seberapa kuat tekadmu.”
Dalam sekejap, bayangan dari makhluk itu menghilang, tetapi serangannya mulai terasa. Tanah di sekitar mereka mulai retak, dari retakan itu muncul makhluk-makhluk kecil dengan tubuh hitam pekat, seperti gabungan bayangan dan asap. Makhluk-makhluk itu mengeluarkan suara erangan yang tidak manusiawi sebelum menyerang tanpa ragu.
“Elarya, hati-hati!” seru Kael sambil menghunus pedangnya. Ia bergerak cepat, menebas makhluk pertama yang mendekat, tetapi makhluk itu hanya terpecah menjadi bayangan sebelum menyatu kembali.
“Kael, mereka bukan makhluk fisik!” Elarya berseru, tangannya terangkat untuk memanggil kekuatan segel. “Hanya energi cahaya yang bisa menghentikan mereka.”
Elarya memfokuskan kekuatannya, tetapi tubuhnya masih terasa lemah setelah pertempuran sebelumnya. Cahaya dari segel mulai membentuk lingkaran pelindung di sekitar mereka, namun energi itu tidak cukup kuat untuk menyerang makhluk-makhluk tersebut.
“Cepat, Elarya! Mereka semakin banyak!” Kael berteriak sambil terus melawan, meskipun setiap serangannya tidak berdampak apa-apa.
Elarya memejamkan mata, mencoba meraih kekuatan terdalam dalam dirinya. Ia mendengar suara dalam pikirannya, suara yang familiar namun juga menakutkan. “Jika kau ingin melindungi mereka, kau harus memberikan segalanya. Tapi ingat, setiap kekuatan memiliki harga.”
“Aku tidak peduli dengan harganya,” gumam Elarya, lalu membuka matanya. Cahaya dari segel itu tiba-tiba bersinar sangat terang, membentuk gelombang yang menyapu seluruh area.
Makhluk-makhluk itu meleleh dalam sekejap, menghilang seperti bayangan yang diterpa sinar matahari. Keheningan kembali menyelimuti, tetapi kali ini ada rasa hampa yang menyelimuti hati Elarya.
Kael berlari ke arahnya, menggenggam lengannya dengan penuh kekhawatiran. “Apa kau baik-baik saja?”
Elarya mengangguk, tetapi pandangannya kosong. “Kael... aku... aku tidak tahu apakah aku bisa terus seperti ini. Segel ini... rasanya seperti memakan sebagian dari diriku setiap kali aku menggunakannya.”
Kael memegang bahunya dengan erat, menatapnya dalam-dalam. “Kau lebih kuat dari apa pun yang mereka pikirkan. Kita akan menemukan cara untuk mengendalikannya tanpa kehilangan dirimu. Aku janji.”
Namun, jauh di dalam hatinya, Elarya tahu bahwa ancaman yang baru saja mereka hadapi hanyalah awal. Bayangan dari langit, suara ancaman itu, dan perasaan kehilangan kendali atas dirinya sendiri—semuanya menjadi bukti bahwa perjalanan ini akan jauh lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan.
Waktu berlalu, membawa kedamaian yang rapuh di tengah keheningan desa kecil yang mereka lindungi. Kehamilan Elarya semakin tampak, dengan gerakan lembut dari kehidupan baru yang berkembang dalam dirinya. Kael selalu berada di sisinya, memastikan setiap langkahnya aman, meskipun di dalam hatinya, kekhawatiran tumbuh seperti duri yang tak terlihat.
“Elarya, kau tidak perlu memaksakan diri,” ujar Kael suatu pagi, ketika ia melihat Elarya mencoba menyalurkan energi segelnya untuk memperkuat perisai di sekitar desa.
“Aku harus melakukannya, Kael,” jawabnya, suaranya tegas meski tubuhnya tampak lemah. “Anak ini… dia akan lahir di dunia yang penuh kekacauan jika kita tidak bertindak sekarang. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.”
Kael menatapnya lama, ada rasa kagum sekaligus rasa sakit melihat wanita yang ia cintai begitu tegar meski menghadapi cobaan yang berat. Namun, sebelum ia sempat membalas, tanah di bawah mereka berguncang.
“Lagi?” bisik Kael, dengan cepat menghunus pedangnya. Ia berlari ke jendela, melihat ke arah horizon yang kini mulai gelap.
Elarya berdiri perlahan, tangannya memegang meja untuk menopang tubuhnya. “Aku bisa merasakannya… kekuatan itu kembali.”
Dari kejauhan, suara gemuruh terdengar, diikuti oleh munculnya makhluk-makhluk bayangan seperti sebelumnya, namun kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka menyebar dengan cepat, mendekati desa dari segala arah.
“Elarya, kau harus pergi. Kita harus melindungimu dan anak ini,” ujar Kael dengan nada mendesak.
“Tidak, Kael,” Elarya membalas tegas. “Aku tidak bisa terus bersembunyi. Ini bukan hanya tentangku. Aku harus berdiri dan melindungi mereka, melindungi kita.”
Kael menggenggam tangannya dengan kuat, menatapnya penuh emosi. “Aku tahu kau kuat, tapi sekarang kau tidak hanya membawa dirimu sendiri. Kau membawa hidup lain di dalammu. Setidaknya biarkan aku menghadapi mereka lebih dulu.”
Sebelum Elarya sempat menjawab, suara ledakan keras terdengar dari gerbang desa. Mereka berdua berlari ke luar, dan pemandangan yang mereka lihat membuat napas Kael tertahan. Makhluk-makhluk bayangan itu telah menembus perisai luar desa, menghancurkan segalanya dalam perjalanan mereka.
Kael menghunus pedangnya, memutar kepalanya ke arah Elarya. “Tetap di belakangku. Aku akan menghadang mereka.”
Namun, Elarya menolak. Dengan tangan yang bersinar lembut, ia memanggil kekuatan segel untuk menciptakan tembok cahaya di sekitar desa. Energi itu kuat, tetapi ia bisa merasakan dampaknya pada tubuhnya—rasa pusing, nyeri di perut, dan kelelahan yang semakin parah.
“Elarya!” Kael berseru dengan nada khawatir saat melihatnya hampir jatuh.
“Aku baik-baik saja,” ujar Elarya sambil memaksakan diri untuk berdiri tegak. Namun, ia tahu bahwa kekuatannya tidak seperti dulu. Segel itu semakin sulit dikendalikan, seolah-olah ada sesuatu yang berusaha melawan dirinya dari dalam.
Kael maju, menyerang makhluk pertama yang mendekat, sementara Elarya tetap fokus menjaga perisai. Tetapi kekuatan mereka berdua tidak cukup untuk menghadapi jumlah makhluk yang terus bertambah.
Di tengah kekacauan itu, suara tangisan bayi yang samar terdengar di telinga Elarya. Ia memegang perutnya dengan lembut, merasa ada gerakan yang lebih kuat dari biasanya.
“Elarya, kau harus berhenti!” seru Kael, suaranya penuh rasa cemas. “Ini terlalu berbahaya!”
Elarya memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya dan anak yang ada di dalam kandungannya. “Tidak, Kael. Aku harus melindungi dia. Ini tanggung jawabku sebagai ibunya.”
Dengan tekad baru, Elarya mengangkat kedua tangannya, memusatkan seluruh energinya pada segel cahaya. Cahaya itu bersinar semakin terang, menyelimuti seluruh desa dan menghancurkan makhluk-makhluk bayangan dalam sekali hentakan.
Namun, setelah serangan terakhir itu, tubuh Elarya ambruk. Kael berlari ke arahnya, menangkapnya sebelum ia jatuh ke tanah. “Elarya!”
“Aku… baik-baik saja,” bisik Elarya dengan lemah. “Anak ini… dia kuat, Kael. Dia akan baik-baik saja.”
Kael menatap wajahnya yang pucat, lalu memeluknya erat. “Kau tidak harus melakukannya sendirian. Kita akan mencari cara untuk menghentikan semua ini tanpa mengorbankan dirimu.”
Namun, di dalam hati Kael, ia tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Makhluk-makhluk itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—dan dengan Elarya yang semakin lemah, ancaman itu terasa semakin dekat.
Keheningan yang menyusul setelah ledakan cahaya itu terasa mencekam. Desa kembali sunyi, namun sisa kehancuran dan aroma hangus dari tanah yang terbakar menjadi pengingat betapa dekatnya mereka dengan kehancuran. Kael memeluk Elarya erat, membelai rambutnya yang basah oleh keringat.
“Elarya, cukup. Kau tidak bisa terus seperti ini,” ucap Kael dengan nada penuh ketegasan, namun getaran emosinya tak bisa disembunyikan.
Elarya membuka matanya perlahan, tampak lebih lemah dari sebelumnya. “Aku harus melakukannya, Kael. Anak ini… dia adalah kunci. Jika aku tidak melindunginya, maka siapa yang akan melindungi dunia ini?”
Kael menatapnya, ingin berkata sesuatu, tetapi suaranya tertahan. Ia tahu Elarya benar, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan keadaannya yang semakin memburuk.
“Kael,” suara Elarya terdengar lirih namun tetap tegas. “Aku butuh istirahat… tapi kau harus bersiap. Mereka akan kembali. Aku bisa merasakannya.”
Kael mengepalkan tangannya. Ia tahu Elarya benar, namun hatinya terasa berat membayangkan dirinya melawan ancaman tanpa kekuatan penuh Elarya di sisinya.
Hari berganti malam, dan suasana desa yang sebelumnya ramai dengan perayaan sederhana kini terasa muram. Penduduk desa saling membantu memulihkan apa yang tersisa dari serangan itu, tetapi rasa takut tidak pernah benar-benar pergi dari wajah mereka.
Di sebuah ruangan kecil di rumah utama desa, Elarya berbaring dengan perutnya yang semakin membesar. Kael duduk di sisinya, memegang tangannya erat seolah-olah kehangatan dari genggaman itu bisa menyembuhkan rasa sakit yang mereka rasakan bersama.
“Kael…” Elarya memecah keheningan.
“Ya?” Kael menjawab, memindahkan pandangannya dari api unggun kecil yang menyala di sudut ruangan ke wajah Elarya.
“Apa kau pernah berpikir… apa yang akan terjadi jika aku tidak ada?” Elarya menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.
Kael menggenggam tangannya lebih erat, suaranya terdengar berat. “Jangan bicara seperti itu, Elarya. Kau ada di sini. Kau akan selalu ada di sini.”
Elarya tersenyum kecil, tetapi di balik senyuman itu, Kael bisa melihat rasa takut yang sulit ia sembunyikan. “Aku hanya ingin memastikan… bahwa kau tahu. Apa pun yang terjadi, aku mencintaimu. Dan aku percaya padamu.”
Kael memeluknya, menundukkan wajahnya ke rambutnya yang harum. “Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau anak kita. Itu janjiku.”
Namun, janji itu diuji lebih cepat dari yang mereka bayangkan.
Malam itu, Elarya terbangun dengan rasa sakit luar biasa di perutnya. Ia mengerang, membuat Kael terbangun dengan panik. “Elarya! Ada apa?”
“Dia… dia bergerak…” Elarya berbisik di antara rasa sakitnya, tangannya mencengkeram kain tempat tidur. “Ini bukan normal, Kael. Ada sesuatu…”
Sebelum Kael sempat menjawab, getaran mulai terasa di seluruh desa. Dinding rumah mereka berderak, dan dari luar, terdengar teriakan panik penduduk desa. Kael melompat dari tempat tidur, menghunus pedangnya, lalu berlari ke jendela.
Makhluk-makhluk bayangan itu kembali, namun kali ini mereka membawa sesuatu yang lebih mengerikan. Di atas langit, bayangan raksasa melayang, sosok yang tampak seperti perpaduan antara naga dan iblis dengan sayap yang berkobar oleh api gelap.
“Tidak mungkin…” gumam Kael.
“Kael!” Elarya memanggilnya dengan suara gemetar. Ia merasakan rasa sakit di perutnya semakin parah, dan segel di dadanya mulai bersinar tak terkendali.
Kael berlari kembali ke sisinya. “Elarya, tahan sebentar. Aku akan melindungi kalian!”
Namun sebelum ia sempat bergerak keluar, sebuah suara menggema di udara, berat dan penuh ancaman.
“Pemilik segel, keluarlah! Aku datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!”
Elarya menatap Kael dengan ketakutan. “Dia tahu… dia tahu aku di sini.”
Kael mengepalkan rahangnya, lalu menoleh ke arah pintu. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Tetap di sini, Elarya. Aku akan menghadapi mereka.”
Namun, sebelum Kael sempat melangkah keluar, Elarya menahan tangannya. “Tidak, Kael. Kita harus menghadapi ini bersama. Anak kita… dia adalah bagian dari segel ini. Jika kita tidak bersatu, maka segel ini akan hancur, dan dunia ini akan berakhir.”
Kael ingin membantah, tetapi tatapan Elarya membuatnya terdiam. Ia tahu Elarya benar. Mereka harus menghadapi kegelapan ini bersama, apa pun risikonya.
“Baiklah,” ucap Kael akhirnya, menggenggam tangan Elarya erat. “Kita lakukan ini bersama.”
Mereka melangkah keluar ke malam yang dipenuhi kekacauan, berhadapan dengan bayangan kegelapan yang tampaknya tak terkalahkan. Segel di dada Elarya mulai bersinar terang, sementara pedang Kael memancarkan cahaya keemasan dari energi yang ia salurkan.
Pertarungan untuk melindungi kehidupan mereka dan masa depan anak mereka baru saja dimulai.