seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 30
Taman kota yang sepi, sore hari
Setelah sidang, Ayana dan Biantara berjalan keluar dari gedung pengadilan, berdua saja. Mereka berjalan perlahan, menikmati suasana yang hening, tetapi penuh makna. Hanya suara langkah mereka yang terdengar, seolah dunia di sekitar mereka sejenak terhenti. Suasana sore yang tenang itu, dengan matahari yang mulai terbenam, mengingatkan mereka pada kenangan yang telah lama terpendam.
Ayana berjalan dengan pandangan kosong, suara lembut
"rasanya seperti kembali ke masa lalu, ya? Saat kita berdua masih remaja, ketika kita merasa segala sesuatu mungkin terjadi... seperti impian kita yang sederhana saat itu."
Biantara berjalan di sampingnya, menatap Ayana dengan penuh perhatian, namun tidak terburu-buru untuk menjawab. Ia tahu betul apa yang Ayana rasakan, karena ia merasakannya juga.
Bian tersenyum dan berkata dengan suara rendah, penuh kenangan
"Ingatan itu selalu ada, Ayana. Kita masih seperti saat itu, bukan? Hanya saja, sekarang kita sudah tumbuh, dan dunia sudah berbeda. Tapi, perasaan itu... tidak pernah berubah."
Ayana berhenti sejenak, memandang Biantara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia teringat semua hal yang telah terjadi dalam hidup mereka—dimulai dari pertemuan pertama mereka, cinta yang tumbuh dengan tulus di usia muda, dan semua kepahitan yang datang setelahnya. Dalam hatinya, perasaan itu masih ada, tersembunyi dalam-dalam, tidak bisa dilupakan begitu saja.
dengan suara yang hampir tak terdengar, penuh keharuan
"Bi, aku... aku masih ingat pertama kali kita saling mengungkapkan perasaan itu. Kita begitu yakin, seakan dunia ini hanya milik kita berdua. Tapi, kemudian hidup memisahkan kita, dan aku... aku terluka begitu dalam. Semua yang aku lakukan sekarang, semua keputusan yang aku buat, adalah untuk mencoba melepaskan apa yang sudah berlalu."
Biantara berhenti berjalan, dan perlahan menatap Ayana. Matanya penuh kehangatan, tetapi juga kesedihan, karena ia tahu betapa berat yang Ayana rasakan selama ini. Ia mendekat, dan menatapnya dengan lembut.
Biantara berbicara dengan penuh ketulusan
"Ayana, Bahkan saat kita terpisah, perasaan itu tetap ada. Mungkin kita tidak bisa bersama saat itu, karena kehidupan masing-masing mengarah ke jalan yang berbeda, tapi cinta kita... tetap bertahan. Terpendam di dalam diri kita, meski kita tidak selalu bisa mengungkapkannya."
Ayana menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Sebuah rasa lega, tetapi juga rasa sakit yang mendalam muncul. Ia merasa terjebak antara masa lalu yang tidak bisa ia lupakan dan kenyataan yang sedang dihadapinya sekarang. Namun, dengan Biantara di sisinya, ada sedikit ketenangan yang datang.
dengan suara yang gemetar Ayana mencoba
"Aku tahu, Bi... "
Biantara memotong ucapan ayana yang sedikit ragu, dengan suara lembut bian menatap Ayana dengan penuh kasih
"Kita tidak pernah benar-benar melupakan, Ayana. Cinta itu, meskipun kita terpisah, tidak pernah pergi. Mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa meski kita tidak bisa bersatu dalam arti yang biasa, perasaan kita tidak akan pernah pudar. Itulah yang aku rasakan."
Ayana mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebebasan. Meskipun masih ada begitu banyak yang harus ia hadapi, meskipun masih ada begitu banyak luka yang belum sembuh, ia tahu bahwa perasaan yang ia miliki untuk Biantara tidak akan pernah hilang. Bahkan jika mereka tidak bisa bersama, cinta mereka tetap ada dalam bentuk yang berbeda.
Ayana dengan senyum yang lembut, penuh haru
"Terima kasih, Bi... karena sudah selalu ada untukku. Aku...."
Biantara tersenyum, tangannya perlahan meraih tangan Ayana dengan lembut, memberikan rasa aman. Tidak ada kata-kata lebih lanjut yang diperlukan. Mereka hanya berdiri di sana, bersama, di bawah langit sore yang memudar, merasakan kedamaian yang sederhana namun dalam.
Ayana dengan suara lembut dan penuh luka
"Bi, selama tujuh tahun terakhir, aku selalu bertanya-tanya... kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu membiarkan aku sendirian saat aku membutuhkanmu lebih dari apapun? Apa aku begitu mudah dilupakan?"
Biantara menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepalanya sejenak. Hatinya terasa berat. Ia tahu saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.
Biantara berbicara dengan tenang, tetapi penuh rasa bersalah
"Ayana... aku tidak pernah melupakanmu, bahkan sedetik pun. Aku pergi bukan karena aku ingin. Aku pergi karena aku terpaksa. Ayahku tiba-tiba koma, dan perusahaan keluarga kami hampir runtuh. Semua tekanan itu jatuh padaku, satu-satunya anak laki-laki di keluarga. Ibu memohon padaku untuk meninggalkan semuanya dan belajar di Tiongkok agar aku bisa menyelamatkan apa yang tersisa dari keluarga kami."
Ayana memandangnya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba mencerna setiap kata yang Biantara ucapkan.
dengan suara serak, hampir berbisik
"Jadi, semua itu karena keluargamu?
Kenapa kamu tidak memberitahuku?
Kenapa kamu memilih untuk memutuskan aku tanpa penjelasan? Aku... aku merasa ditinggalkan begitu saja."
Biantara menatap Ayana, matanya dipenuhi rasa sakit yang telah lama ia pendam. Ia mendekat, duduk di kursi di sebelah Ayana.
Biantara suara rendah, penuh emosi
"Aku ingin memberitahumu, Ayana. Tapi saat itu, aku pikir itu adalah cara terbaik untuk melindungimu. Hidupku berantakan, dan aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kekacauan yang aku hadapi. Aku tidak ingin kamu menunggu seseorang yang tidak tahu kapan bisa kembali. Jadi, aku memilih untuk memutuskan semuanya, berharap kamu bisa hidup lebih baik tanpa aku."
Ayana terdiam, air matanya perlahan mengalir di pipinya. Ia merasa terluka, tetapi juga mulai memahami alasan Biantara.
Biantara melanjutkan dengan suara yang bergetar
"Tapi, Ayana... aku tidak benar-benar pergi darimu. Aku selalu ada, meskipun dari kejauhan. Aku melihatmu berjalan pulang di bawah hujan, menangis setelah kita berpisah. Aku ada di sana, berdiri di sudut jalan, melihatmu dari kejauhan, ingin mendekat tapi tidak bisa. Saat kamu menikah... aku ada di antara tamu, melihatmu berjalan dengan seseorang yang bukan aku. Hati ini hancur, tapi aku tetap berharap kamu bisa bahagia, meskipun bukan denganku."
Ayana menutup wajahnya dengan tangan, menangis terisak. Ia teringat semua momen itu, semua rasa sakit yang ia rasakan, dan menyadari bahwa Biantara juga merasakannya, tetapi dalam diam.
Ayana berbicara di sela-sela tangisnya
"Kenapa kamu tidak datang padaku, Bi? Kenapa kamu membiarkan aku melewati semua itu sendirian? Kalau saja aku tahu... kalau saja aku tahu kamu ada di sana..."
Biantara dengan suara penuh penyesalan berkata
"Ayana, aku bodoh. Aku terlalu takut untuk melangkah. Aku takut kamu membenciku, takut kamu tidak mau melihatku lagi. Tapi percayalah, aku tidak pernah berhenti mencintaimu"
Ayana memandang Biantara dengan mata yang basah, tetapi kali ini ada rasa hangat yang mengisi hatinya. Meskipun luka itu belum sepenuhnya sembuh, ia merasa beban yang ia pikul selama ini mulai terangkat.
Biantara meraih tangan Ayana dengan lembut, menggenggamnya erat. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Dalam diam, mereka saling memahami. sore itu di bawah langit jingga yang muali menggelap, cinta mereka yang lama terpendam kembali menemukan jalannya.
|
|
|
Dari kejauhan terlihat sosok pria yang mengamati interaksi mereka berdua