Almira Sadika, terpaksa harus memenuhi permintaan kakak perempuannya untuk menjadi madunya, istri kedua untuk suaminya karena satu alasan yang tak bisa Almira untuk menolaknya.
Bagaimana perjalanan kisah Rumah tangga yang akan dijalani Almira kedepannya? Yuk, ikuti terus kisahnya hanya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Shine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Belum sepenuhnya hilang rasa keterkejutannya atas apa yang diucapkan papa Steven, Almira kembali dibuat terkesiap oleh kata-kata yang dilontarkan papa Steven selanjutnya, "Dan apa Kau tau, jika barang ini.. Tepatnya jaket ini, ada pada seseorang yang saat ini tengah terbujur kaku di sana!" ujar papa Steven seraya menunjuk ke arah salah satu mayat yang ada di ruangan itu.
"Tidak, tidak. Papa pasti saat ini tengah membuat lelucon, bukan?! Itu pasti adalah salah satu cara Papa untuk agar aku pergi dari sini, pergi dari kehidupan kalian, benar bukan?!" ucap Almira sembari terus berusaha menyingkirkan segala pikiran buruk yang kini mulai menghinggapi hati dan pikirannya. "Tidak, Pa. Itu tidak akan mempan! Karena aku tidak akan pernah pergi dari sisi kak Tian kecuali kak Tian sendiri yang memintaku untuk pergi. Tidak, aku tidak akan pergi."
"Almira... Tolong mengertilah!" tutur papa Steven yang mulai frustasi karena tak tahu lagi akan menjelaskan seperti apa lagi pada Almira.
Beberapa saat terdiam, papa Steven akhirnya kembali teringat akan sebuah jaket yang saat ini terus dipegangnya.
"Almira, ini. Bukankah Kau mengenali jaket ini sebagai jaket pemberianmu pada Sebastian, benar bukan?"
Sementara Almira yang ditanya tak menjawab sama sekali, hanya menatap jaket tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.
Papa Steven yang tak mendapat jawaban dari Almira pun kembali berucap, "Petugas yang bertugas mencari korban pesawat menemukan jaket ini dan ada pada mayat pria yang ada di sana. Jika Kau masih juga tak percaya dan menganggap Papa mengada-ada, Kau boleh bertanya pada petugasnya sendiri. Tunggu, Papa akan meminta perawat untuk memanggilkan petugas itu untuk dihadirkan kemari agar Kau percaya dan mengerti jika Papa tak ada sedikitpun niat untuk mengada-ada."
"Apa yang harus aku percaya, Pa?!" Baru saja berbalik, papa Steven mengurungkan niatnya ketika mendengar ucapan Almira. "Apa yang harus aku percaya dan apa yang harus aku mengerti?" ulang Almira seraya menatap papa Steven dengan lekat, akan tetapi yang papa Steven lihat di mata Almira saat ini adalah sorot mata kesedihan. "Apa, Pa..? Apa?! Aku sudah lelah untuk mempercayai sesuatu. Aku sudah lelah untuk mengerti keadaan. Aku lelah, Pa... Aku lelah..." ucap Almira dengan sangat lirih.
...Percaya pada Ibu, Ibu akan selalu berada di sampingmu....
...Tolong mengertilah, Sayang... Ibu melakukan ini, ini semua demi kebaikanmu....
...Percayalah, Al... Kakak akan selalu bersamamu walau Kakak telah menikah nanti....
...Tolong, Al... Tolong mengertilah, hanya Kau yang Kakak percaya untuk bisa melahirkan keturunan dari, Bastian....
...Percayalah, Sayang.. Aku Sebastian Alvaro, akan selalu berada di sisimu. Menemanimu susah maupun senang, selamanya. Selamanya aku akan selalu menjaga dan melindungi mu....
...Mengertilah, Sayang.. Ini hanya sementara. Aku berjanji akan berusaha segera pulang. Aku akan kembali kepadamu sebelum acara baby shower dimulai, aku janji....
"Tidak, aku tidak akan percaya apapun lagi. Aku tidak ingin mengerti lagi. Tidak, tidak...!!!!" Almira menjerit histeris sembari menutup telinga kala sebuah kata terus terngiang di pendengarannya bagai alunan lagu yang berdengung memekakkan telinga.
"Tidak, Pa. Tidak terjadi apa-apa pada kak Tian. Kak Tian baik-baik saja!" ucap Almira. "Kak Tian sudah berjanji padaku. Kak Tian berjanji akan kembali, dan aku hanya akan percaya itu, percaya bahwa kak Tian akan menepati janjinya. Aku percaya. Aku percaya," usai mengucapkan kalimat tersebut, Almira segera berbalik arah dan berniat akan pergi dari ruangan tersebut. Akan tetapi papa Steven dengan cepat mencekal pergelangan tangan Almira dan kembali menariknya masuk.
"Al, Papa tak tahu lagi bagaimana cara Papa untuk menjelaskannya padamu," ucap papa Steven dengan lesu.
"Tak apa, Papa tak perlu menjelaskan apa-apa lagi, karena memang tak ada yang perlu harus dijelaskan. Jadi Papa tak usah repot-repot menjelaskannya lagi," ucap Almira yang seolah tak terjadi apa-apa dan langsung kembali berbalik.
"Bastian sudah tiada, Al. Sebastian sudah mati!!!" Sebelum Almira melangkahkan kaki, papa Steven tiba-tiba berteriak. Sembari menyugar rambutnya kebelakang, papa Steven kembali berucap yang kali ini dengan nada semula, nada penuh frustasi dan tekanan, "Kakak Tian mu sudah pergi, Al... Dia sudah pergi meninggalkan kita semua..."
Bagaimana papa Steven tak tertekan? Jika putra satu-satunya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sesungguhnya, papa Steven tak sampai hati mengucapkan kata-kata yang baru saja dirinya lontarkan. Kata yang bagai belati menusuk tepat di jantung dan hatinya sendiri, rasanya sakit, sangat sakit. Ingin papa Steven juga tak mempercayai apa yang saat ini terjadi. Tapi apa dayanya, jika bukti sudah terpampang nyata dihadapannya. Bukti jika orang yang sangat disayanginya telah terbujur kaku di hadapannya.
"Tidak, Pa. Semua itu tidak benar! Dan aku tidak akan pernah percaya akan rumor itu, jika aku tak melihat jasad kak Tian dengan mata kepalaku sendiri! Aku tidak akan pernah percaya!" tegas Almira.
"Lalu dia siapa, Al??! Dia siapa??" tunjuk papa Steven pada salah satu jasad yang tertutupi kain putih. "Dan ini, bukankah Kau berkata ini adalah jaket yang Kau berikan sendiri padanya? Pada Bastian??!" lanjutnya yang terus berusaha memaksa Almira agar mempercayai dan menerima takdir yang sangat menyakitkan ini.
"Dia?? Dia siapa? Hanya orang mati yang tak lagi bernafas," ucap Almira dengan santainya, namun yang tak diketahui.. Tangan Almira saat ini terkepal kuat, mencoba menyalurkan seluruh kekuatannya agar tak sampai limbung apalagi sampai ambruk. "Dan itu," tunjuk Almira dengan tatapannya yang tertuju pada jaket berbungkus plastik transparan yang berada di tangan papa Steven. "Jaket itu tidak hanya satu di dunia. Bisa saja cuma mirip, kan Pa?!" sambungnya.
"Jika begitu Kau lihatlah dan pastikan jaket ini benar bukan milik Bastian atau malah..." papa Steven men jeda kalimatnya untuk melihat ekspresi Almira. Sama, ekspresi Almira tetap sama seperti sebelumnya, pura-pura kuat. "Kau periksalah," lanjutnya seraya menyodorkan jaket tersebut ke tangan Almira.
Tak dipungkiri, hati Almira saat ini terasa sangat sakit tapi tetap berusaha agar tetap terus berprasangka baik.
Dengan tangan bergetar Almira perlahan membuka plastik yang membungkus jaket tersebut.
...Kak Tian lihatlah, aku tak sengaja melihat jaket ini saat ke tempat belanja kemarin. Saat melihatnya aku langsung teringat, Kakak. Jadi aku membelinya untuk, Kak Tian....
...Aku tak langsung memberikannya pada kakak karena aku terlebih dahulu memberikan sedikit sentuhan. Lihatlah, aku menyulam ini di sakunya....
...ALSABAS, ini adalah kependekan dari namaku, kak Sandra, dan Kak Tian. Bagus bukan?!...
Kata-kata dan bayangan ketika dirinya memberikan jaket yang sangat mirip dengan yang dirinya pegang saat ini tiba-tiba muncul dalam ingatannya bagai sebuah video yang diputar berulang-ulang dalam ingatannya.