Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Nak, papah udah pulang, mau Mamah panggilkan papah?" tanyaku saat Naura membuka matanya dengan mata sembab dan lelah.
"Gak mau, Mah. Naura gak butuh papah," jawabnya dengan nada tegas dan sedikit lirih.
Aku merasa bingung dan sedih, "Nak, jangan gitu. Papah tetap papahmu, kita harus menghargainya."
"Sudahlah, Mah. Naura malas kalau ngomong tentang papah. Oh iya, Mah, Om Kevin mana?" tanya Naura, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Aku merasa perlu memberikan pengertian kepada anakku, tapi bagaimana caranya agar dia mau menerima dan mengerti tentang kondisi ini?
"Om Kevin sedang ada urusan, Nak. Kamu istirahat dulu, ya," kataku sambil mengecup keningnya
Aku merasakan hatiku seperti teriris mendengar pertanyaan Naura. Anak kecil itu tahu tentang keadaan rumah tangga yang sedang kacau ini.
Aku memaksakan senyum tipis di bibir berusaha keras untuk tidak menunjukkan keresahannya di depan Naura yang polos itu.
"Yeah, padahal Naura ingin main sama om kevin"..Naura dengan suara yang penuh keingintahuan bertanya kepadaku.."Tapi kenapa Papa juga di rumah? Biasanya kan Papa pulang malam eh katanya hari ini lembur."
Aku menelan ludah, pertanyaan demi pertanyaan dari Naura semakin membuatku terpojok. "Papa... Papa memang pulang lebih awal hari ini," ucap ku, berusaha mengalihkan topik.
Naura tampak tidak puas dengan jawaban itu dan kembali memejamkan matanya, mencoba kembali tidur. Aku berdiri di samping tempat tidur Naura, matanya terasa panas dan perih. Kebenaran yang dia tahu tentang Adnan yang sering jalan dengan perempuan lain.
Keluar dari kamar Naura, aku berjalan gontai menuju ruang tengah. Aku menatap ruang yang gelap dan sunyi itu, serasa mencerminkan hatiku saat ini. Adnan, ternyata lebih banyak menyimpan rahasia daripada yang aku kira. Emosi aku bercampur aduk, antara marah, kecewa, dan rasa sakit yang mendalam.
Di ruang tengah, aku duduk sendirian dalam keheningan, membiarkan air mataku mengalir tanpa suara. Pada akhirnya, malam itu aku tidur di sofa, jauh dari kamar yang seharusnya menjadi simbol keharmonisan kami sebagai suami istri.
****
Pagi hari yang dingin, aku terbangun dari tidurku dan menyadari ada selimut yang menutupi tubuhku. Tiba-tiba, ibu berjalan ke arahku sambil membawakan secangkir teh hangat untukku.
"Kenapa kamu tidak tidur di kamar Naura, nak?" tanya ibu dengan wajah kekhawatiran.
Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Aku enggak mau, Buk. Naura pasti bertanya kenapa aku tidur di kamarnya." Ucapku sambil duduk.
Aku merasa sedikit bersalah, tapi aku tidak ingin menjelaskan kejadian semalam pada Naura.
"Yasudah, minum tehnya dulu. Nanti ibu buatkan sarapan untuk kamu dan Adnan," seru ibu sambil tersenyum.
"Iya, Bu, terima kasih," sahutku dengan rasa terharu.
Ku seruput teh buatan ibu yang memang sangat menenangkan. Sementara itu, Adnan duduk di depanku dengan wajah bersalah.
"Rania," serunya, tampak ragu-ragu. Aku menatapnya dengan tajam dan menjawab,
"Apa?!" dengan nada ketus.
Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu berkata, "Maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi, dan aku akan meninggalkan Sandra."
Aku merasa perasaan bercampur aduk; marah, bingung, dan sedih. Pikiranku langsung mengingat saat itu yang sangat menyakitkan.
"Apakah Adnan benar-benar menyesal? Bisakah aku memaafkannya dan mempercayainya lagi?" Gumamku dalam hati, mencoba merenungkan jalan terbaik untuk menyelamatkan hubungan kami.
Adnan memegang tanganku erat, namun jujur saja, aku belum bisa memaafkan perselingkuhannya yang telah berlangsung selama dua tahun.
"Kamu serius mau meninggalkan Sandra demi keluarga kita?" tanyaku dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Serius, Rania," jawabnya dengan pasti.
Tiba-tiba, Naura datang dan aku segera terdiam begitu juga dengan Adnan. Dia tersenyum ke arah Naura dan langsung memeluknya.
"Lepaskan Pah!" seru Naura dengan kesal.
"Maafkan Papah, Nak. Papah terlalu sibuk dengan pekerjaan. Papah janji akan punya banyak waktu untuk Naura," seru Adnan berusaha meyakinkan.
Namun, di lubuk hati, aku tidak melihat ketulusan dari Adnan. Aku merasa dia hanya takut kehilangan harta yang selama ini menjadi kebanggaannya.
Semua aset yang dimiliki keluarga ini sebenarnya atas namaku. Mobil hanya ada satu yang atas nama Adnan, sedangkan tanah yang menjadi pondasi rumah ini pun atas namaku.
Meski Adnan lah yang membangun rumah ini, aku juga berkontribusi dalam proses pembangunan tersebut. Jadi, pada dasarnya Adnan hanya berkuasa atas bangunan rumah, dan seolah dia berhak penuh atas rumah ini.
Apakah benar-benar karena rasa bersalah atau hanya sekadar takut kehilangan hartanya, yang sebenarnya membuat Adnan ingin kembali memperbaiki hubungan ini? Hatiku masih ragu dan tak mampu mencerna kebenaran. ini,
"Lepaskan, Pah!" seru Naura. Adnan akhirnya melepaskan pelukannya dan Naura berjalan menghampiriku.
Aku melihat Adnan mengusap wajahnya lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar. Hatiku merasa sangat bahagia ketika bisa bercengkerama dengan Naura.
Kami saling bercerita tentang kehidupan satu sama lain, berbagi tawa dan tangis, serta mengenang masa lalu yang indah.
Di tengah-tengah kebahagiaan kami, Ibu datang menawarkan sarapan untuk kami berdua. Sebelum menyantap sarapan, kami memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
Aku menggunakan kamar mandi di kamar tamu dan memakai pakaian yang disiapkan Ibu. Meskipun begitu, aku merasa malas bertemu dengan Adnan.
Oleh karena itu, aku menyuruh Ibu untuk mengambil pakaianku di kamar. Tidak ada yang lebih ingin kulakukan saat ini selain menikmati momen kebahagiaan bersama Naura, tanpa perlu memakirkan Adnan.
Selesai mandi, aku sudah siap untuk ke butik dan bertemu dengan beberapa klien. Aku duduk di kursi meja makan, bersiap untuk menikmati sarapan.
Adnan juga sudah duduk di seberangku, menatapku dan tersenyum. Namun, aku sengaja mengalihkan pandanganku darinya, pura-pura tidak melihat.
"Makan yang kenyang, ya," seru Ibu sambil meneguk kopi.
"Iya, Bu," sahutku tanpa menoleh.
"Iya, Bu," seru Adnan pula, mencoba terlihat ceria.
Tapi aku tahu, senyumannya itu hanya topeng belaka. Naura yang selalu ceria dan manja, kali ini terlihat berbeda. Biasanya ia akan langsung berlari ke pangkuan Adnan, namun kini ia memilih duduk di sampingku, dengan wajah yang tidak terlalu gembira.
Aku bisa merasakan betapa kecewa dan marahnya anakku pada suamiku, meski ia belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi.
"Nak, Mamah berangkat dulu ya. Kamu di rumah sama Nenek dan Bibik, baik-baik ya," ucapku dengan lembut, berusaha menenangkan hati Naura.
"Beres, Mah," jawab Naura singkat, matanya mengerjap menahan kesedihan.
"Papah juga berangkat ya, Nak," timpal Adnan, mencoba terlibat dalam percakapan.
Namun, Naura malah menjawab dengan nada ketus, "Naura nggak peduli."
Hatiku mencelos saat mendengar jawaban anakku. Meskipun aku tahu Adnan salah, tetap saja dia adalah ayah dari anakku. Bagaimana ke depannya kami bisa menjadi keluarga yang utuh, jika sejak dini Naura sudah membenci ayahnya sendiri?
***