"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Istri Kedua
Tiba-tiba ada rasa gelisah dalam hati bu Ameena, setelah dia mendapatkan kabar dari sang ayah, yakni kakek Sudibyo. Bahwa Liana berkenan menikah dengan putranya, Haris. Tanpa menunggu suaminya pulang dari luar kota, bu Ameena segera meluncur ke kediaman sang ayah.
Tok... Tok... Tok...
Bu Ameena menunggu dengan tak sabar, Liana membuka pintu kamarnya. Beberapa saat kemudian sosok yang ingin dia temui akhirnya membuka pintu.
"Bu..." tentu saja Liana terkejut dengan kehadiran bu Ameena.
"Bisa bicara sebentar, sayang?" tanya bu Ameena.
Liana hanya menjawab dengan anggukan kepala, lalu dia mundur agar bu Ameena bisa masuk ke kamarnya.
Bu Ameena menghirup nafas panjang, lalu membuangnya pelan-pelan. Dia sedang berusaha merilekskan dirinya, sebelum mengutarakan untaian kata yang sedari tadi bermain dalam benaknya.
"Sayang..." ujar bu Ameena.
"Iya, bu..." balas Liana.
Bu Ameena menghembuskan nafas dengan pasrah, ketika Liana masih belum berkenan memanggilnya mama. Seperti permintaannya waktu pertama kali mereka bertemu.
"Panggil, mama..." bu Ameena mengusap pipi Liana dengan lembut.
Lagi-lagi Liana terbuai dengan sikap lembut keibuan seorang perempuan berhijab itu.
"Ah, iya, bu... Em..., mama..." balas Liana.
"Mama dengar dari kakek, kamu bersedia menikah dengan Haris. Apa itu benar?" tanya bu Ameena tanpa basa-basi.
Liana mengangguk.
"Tadinya mama senang waktu kakek berniat menjodohkan Haris dengan kamu. Tapi beberapa hari yang lalu, setelah mama tahu kamu menyetujuinya, mama jadi kepikiran tentang kamu dan Haris." wanita itu menunduk dengan mata berkaca-kaca.
"Nak, sayang..." bu Ameena mengangkat kepalanya. Lalu meraih tangan Liana. "Sebenarnya Haris itu sudah menikah." ungkapnya.
"Aku tahu, maa..." balas Liana.
Bu Ameena menatap lekat manik indah gadis di hadapannya.
"Kakek sudah mengatakan semuanya padaku. Mama tenang saja, aku sudah katakan pada kakek. Meskipun aku bersedia, tapi kalau mas Haris tidak berkenan, jangan dipaksa." Liana berusaha memberikan senyuman terbaiknya, agar dia terlihat baik-baik saja.
"Kalau kamu tahu akan menjadi istri kedua, kenapa kamu bersedia? Apa kakek mengancammu, nak?! Katakan pada mama...!" bu Ameena tampak sedikit memaksa Liana agar berbicara dengan jujur.
Liana justru tersenyum sambil mengusap punggung tangan bu Ameena.
"Apalagi yang harus aku katakan, maa. Yang jelas kakek sama sekali tidak mengancamku. Justru kakek mendatangiku dan menceritakan situasi yang sebenarnya, setelah aku menyetujui permintaannya." akunya.
"Aku hanya ingin memenuhi keinginan almarhum ayah. Dan membalas kebaikan kakek yang sudah menolongku. Karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi." begitu ujarnya lagi.
Bu Ameena tiba-tiba tergerak untuk merengkuh tubuh Liana dalam pelukannya.
"Mama takut nantinya kamu dan Haris merasa tersakiti dengan memenuhi permintaan kakek." gumam bu Ameena.
"Bukankah aku yang akan tersakiti, karena tiba-tiba berada di sini. Dan akan dinikahkan dengan pria beristri. Menjadi istri kedua..."
___
Sementara itu Haris dan Vanya yang sudah kembali ke apartemen, sedang duduk berdua menyantap makan malam mereka.
"Kamu sudah bertemu dengan calon istri mudamu, mas?" tanya Vanya.
Seketika Haris menaruh kembali garpu dan sendoknya dengan kasar.
"Bisa tidak, jangan bahas soal itu saat ini?!" suara Haris memang pelan, tapi terdengar sangat menyeramkan.
"A..., aku..., hanya bertanya. Maaf..." balas Vanya dengan gugup.
"Sekali lagi aku ingatkan, masih ada waktu untuk mengubah keputusan. Pikirkan lagi, Vanya." Haris meninggalkan meja makan.
"Keputusanku sudah bulat, mas. Aku tidak masalah, sungguh." Vanya tersenyum manis.
Dia kepalang percaya diri bahwa keputusannya untuk mengizinkan suaminya menikah adalah keputusan yang paling tepat. Padahal hal itu justru sangat menyakiti hati Haris.
Haris meremas jemarinya dalam genggaman, hingga kukunya memutih dan urat tangannya tampak menonjol.
Haris pergi ke balkon sekedar untuk menghirup udara malam. Pikirannya terasa penat dan hatinya pun terasa sakit. Dia mencoba mencari kenyamanan dari angin malam. Saat sedang termenung, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya dari belakang.
"Sayang..." suara sayu itu membuat Haris menarik nafas dan menghembuskannya dengan pelan.
"Tidak bisakah kamu ubah keputusanmu?" Haris berbalik badan, dia memegang pundak istrinya.
"Vanya, kamu tahu betapa aku mencintaimu. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" tanya Haris. "Masalah ini sepele, kalau saja kamu bersedia menikah secara resmi denganku." lagi-lagi kalimat itu dia lontarkan.
"Karena mas Haris mencintaiku, maka aku mohon mas mengerti keadaanku..." mata Vanya mulai berkaca-kaca.
Haris yang selalu tak berdaya dengan air mata Vanya pun, segera menarik tubuh Vanya dalam pelukannya.
"Maafkan aku, sudah membuat mas Haris melakukan semua ini." gumamnya dengan suara bergetar dalam dekapan Haris.
"Aku juga minta maaf, sudah memaksamu." balas Haris sambil membelai rambut Vanya yang sedikit bergelombang.
"Mulai saat ini, jangan pernah mempertanyakan apapun soal itu. Acara itu sebentar lagi. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu, sebelumya aku berbagi waktu dengan yang lain." tutur Haris.
Sungguh berat sebenarnya bagi Haris. Tapi cinta Haris pada Vanya seolah membutakan mata hatinya. Sehingga dia tidak bisa berpikir jernih. Yang terpenting baginya adalah Vanya merasa bahagia dan nyaman bersamanya. Sampai-sampai dia tidak sadar, kalau dia butuh dimengerti juga.
Pernah terbesit dalam benak Haris untuk mendatangi orang tua Vanya seorang diri, dan meminta restu. Bahkan Haris sudah bertekat akan membayar dan memenuhi apapun mahar yang disyaratkan oleh orang tua Vanya. Tapi lagi-lagi itu hanya ada dalam wacana. Haris tak bisa melakukannya karena Vanya memohon padanya demi kesehatan ayahnya yang sedang sakit-sakitan.
Sewaktu Vanya mengunjungi mereka pun, Haris dilarang ikut. Karena Vanya mengaku pada mereka, dia sudah tidak menjalin hubungan dengan Haris lagi. Sehingga Haris hanya mengantar sampai bandara.
"Tidur, yuk. Di sini makin dingin..." ujar Vanya.
"Masuklah duluan, aku akan mengunci pintunya." kata Haris.
"Baik, sayang..." Vanya pun melenggang dengan anggun menuju ke kamarnya.
......................