Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Perseteruan
Kak Devan langsung memelukku.
"Tenang saja, nanti aku akan bicara pada kak Arsen. Sekarang ayo kita kompres pipimu dulu agar tidak bengkak".
Aku hanya mengangguk saat mendengar ucapan kak Devan. Hanya mendengar suaranya saja sudah membuatku merasa lebih tenang.
.
.
.
Kak Devan masuk ke kamarku sambil membawa sebaskom air hangat dan kompresannya.
"Kenapa kak Arsen bisa sampai menampar kamu seperti ini? Biasanya dia kan selalu menahan diri dan sangat menghindari pertengkaran yang melibatkan fisik" Kak Devan bertanya sambil mengompres pipiku.
Aku hanya menggeleng, karena aku sendiripun tidak menyangka kalau kak Arsen akan menamparku seperti itu. Tapi karena hal itu pula aku jadi semakin yakin kalau kak Arsen benar-benar sudah tidak lagi peduli padaku, bahkan dia bilang kalau hidupku sekarang ini adalah bagian dari rencananya, jika aku sudah tidak berguna lagi bisa saja aku di singkirkan kapanpun dia mau.
"Kak..."
"Ada apa, Cia?"
"Apa boleh kalau aku tinggal di mansion saja?"
Kak Devan terdiam sebentar lalu menarik nafas panjang "Aku mengerti mungkin kejadian tadi membuat kamu trauma, tapi kalau harus sampai tinggal di mansion itu agak..."
"Aku akan baik-baik saja kak, kumohon...kak Devan bisa datang menjengukku seminggu sekali kan. Dan disana juga ada paman Herland dan bi Marry yang akan menjagaku"
Paman Herland dan bi Marry merupakan pasangan suami istri, mereka adalah kepala pelayan keluarga kami. Namun setelah ayah dan ibu meninggal, kak Arsen meminta mereka untuk pindah ke mansion keluarga kami dan merawatnya. Aku memohon pada kak Devan agar dia mengizinkanku tinggal di mansion, kalau aku tetap disini bisa saja kak Arsen melakukan hal yang lebih parah dari sekedar menamparku seperti tadi. Pokoknya aku tidak boleh mati dulu sampai "misi" ku selesai.
Aku melihat ke arah kak Devan, ia seperti sedang memikirkan kata-kataku tadi.
"Tapi jarak dari mansion ke sekolah mu itu kan cukup jauh" Kak Devan bertanya padaku lagi, mungkin dia khawatir tidak ada yang menjagaku dan khawatir karena aku akan tinggal sendirian disana.
"Aku kan bisa pergi naik mobil, lagipula jaraknya tidak terlalu jauh kan"
"Bagaimana kalau-"
"KAK! Aku akan baik-baik saja, percaya padaku. Aku merasa tidak nyaman kalau terus tinggal disini dengan situasi seperti ini, anggap saja aku kesana untuk menenangkan diriku"
"Aku akan berfikir terlebih dahulu untuk hal ini, sekarang lebih baik kamu istirahat dulu saja. Aku mau bicara dengan kak Arsen" Setelah selesai mengompres pipiku kak Devan berjalan keluar dari kamar tanpa berkata apapun.
.
.
.
.
.
---Di sisi lain---
Tok tok tok
Setelah selesai mengompres pipi Agacia Devan langsung pergi ke kamar Arsen dan mengetuk pintu kamarnya.
"Kak, aku masuk" Devan perlahan membuka pintu kamar Arsen. Disana terlihat Arsen yang sedang berdiri di balkon sambil menatap langit.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu kak?! Apa kau sudah gila sampai menampar Agacia seperti itu?! Dia satu-satunya adik kita, hanya kita bertiga yang tersisa di keluarga ini. Harusnya kita saling melindungi satu sama lain, bukan malah berkelahi seperti ini" Devan yang dari tadi menahan emosi nya saat berada di depan Agacia akhirnya melepaskan semuanya pada Arsen.
"Kau tidak tau apa-apa, jadi cukup diam saja" Arsen yang tadinya menatap ke langit langsung mengalihkan pandangannya ke Devan.
"Apa maksudmu aku tidak tau apa-apa?!" Devan semakin emosi dan menghampiri Arsen.
"Cukup jalani saja harimu seperti biasa seolah tak terjadi apapun". Arsen mengatakannya dengan wajah yang datar.
"Bangs*t!! Berhenti bicara omong kosong! Bukan jawaban itu yang ingin ku dengar!". Devan yang sedari tadi sudah emosi langsung menarik kerah baju Arsen.
"Aku sudah bilang dari awal akan membantumu untuk mengungkap semuanya, asalkan jangan sampai ada satu orang pun yang berani menyentuh apalagi menyakitinya. Tapi kau! Kau malah menamparnya seperti itu! Pikirkan bagaimana perasaannya!". Devan berteriak sambil menarik-narik kerah baju Arsen.
"Devan, jika kau masih ingin membantuku untuk mengungkap semuanya lebih baik singkirkan dulu perasaan seperti itu dari dalam dirimu. Buang jauh-jauh rasa empati mu itu, karena itulah yang akan menghambat jalanmu nanti". Arsen menatap Devan dengan tatapan dingin.
Devan melepaskan kerah baju Arsen dengan kasar, ia menatap Arsen dengan tatapan yang keras.
"Agacia bilang kalau dia ingin tinggal di mansion. Awalnya aku berfikir kalau dia terlalu gegabah dan tidak ingin menyetujui permintaannya itu, tapi setelah melihat responmu ini sepertinya memang lebih baik jika dia tinggal disana". Arsen hanya diam saat mendengar ucapan Devan tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Devan berbalik dan berjalan keluar kamar Arsen.
"Aku sudah menyetujui Agacia untuk tinggal disana, untuk seterusnya biar aku yang mengurus Agacia, jadi kak Arsen tidak perlu repot-repot mengurus kebutuhan Agacia lagi apapun itu" Ucap Devan sebelum keluar dari kamar Arsen.
BRAKK!!
Devan membanting pintu kamar Arsen dengan keras, lalu pergi ke kamarnya sendiri.
.
.
.
.
.
Apa yang akan kak Devan bicarakan dengan kak Arsen ya, sepertinya kak Devan sangat marah begitu tau kak Arsen menamparku. Walau dihadapanku kak Devan masih berusaha tetap tenang, tapi aku bisa merasakan kalau dia sebenarnya sangat marah.
Padahal aku sedang tidak mau terlalu stress atau banyak pikiran sekarang, dokter Hanna juga bilang kalau emosiku harus tetap stabil. Jika depresiku kambuh lagi...
Plak!
Aku menepuk kedua pipiku dengan keras, dan langsung menggelengkan kepala.
"Kenapa aku lagi-lagi berpikir seperti itu sih...sadarlah Agacia Peony!"
"Hufft...."
Aku berbaring dan menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan diri.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/