"Hidup aja, ikutin kemana arus bawa lo. Teruskan aja, sampe capek sama semua dan tiba-tiba lo bangun dirumah mewah. Ucap gue yang waktu itu ga tau kalo gue bakalan bener-bener bangun dirumah mewah yang ngerubah semua alur hidup gue "- Lilac
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lancaster
"Udah elah itu udah rapi, Han."
"Tau tuh. Kasian itu nona jinjit-jinjit ngerapiin rambut lo!!"
Rasanya Raja ingin sekali menarik Johan dari depan Lilac dan menyeretnya keluar. Pasalnya sejak satu jam yang lalu, anak itu sibuk mondar-mandir menyiapkan diri untuk bertemu sang ayah bersama Joseph. Begitu selesai sarapan tadi, Joseph dibantu semua orang yang ada dirumah membujuk Johan agar mau pulang dan bertemu sang ayah. Awalnya anak itu merengek dan bersembunyi dibalik tubuh kecil Lilac sebagai bentuk perlindungan diri. Namun setelah dipastikan dan dibujuk dengan berbagai hal, akhirnya anak bungsu keluarga Lancaster itu mau menuruti sang kakak.
"Lo tuh yang ribet banget anjir!! Gue tuh harus perfect mau ketemu ayah!! Iya kan abang?!" Si bungsu yang haus validasi. Joseph yang melihatnya hanya mengangguk mengiyakan. Ditatapnya sang adik yang kini masih sibuk meminta Lilac memeriksa setiap detail penampilannya sambil bersandar dipinggir pintu. Rasanya sudah lama sekali tak melihat Johan se ceria ini. Jadi Joseph biarkan anak itu begitu ecxited dengan pertemuan pertama mereka bertiga setelah tiga tahun bermain kucing-kucingan.
"Ayo, Johan."
Dengan suara tegas Joseph mengajak sang adik untuk segera berangkat.
"Kak, nanti gue pulang kesini yah? Boleh kan kak?"
"Iya, boleh. Nanti kalo udah ketemu sama ayah kalian jangan ngomong sembarang, oke? Jaga sikapnya. Ngga boleh sembrono." Lilac merapikan sedikit kerah anak itu sambil memberi petuah.
Akhirnya, kedua kakak beradik itu langsung keluar dari rumah menuju tempat sang ayah. Diiringi oleh beberapa orang yang mengantar hingga depan gerbang. Begitu mobil yang mereka kendarai keluar dari halaman rumah, Johan menghela napas. Sedangkan disampingnya, sang kakak terlihat begitu tenang, seperti biasa.
"Abang ngga deg-degan? Nanti kalo dimarahin papi gimana?"
"Ayah ngga akan marah, Johan. Nanti Johan bisa kan bicara yang sopan sama ayah? Kaya Johan ngomong sama abang sekarang."
Si adik langsung menganggukan kepala dengan semangat. Selama perjalanan seperti yang kita ketahui, Johan mengisi keheningan mobil dengan ocehannya mulai dari A hingga Z. Anak itu bahkan bercerita pada sang abang mengenai sang ayah yang kini sepertinya mulai luluh dengan cita-citanya. Keduanya begitu menikmati perjalanan mereka yang bisa dibilang cukup panjang dengan obrolan santai. Sesekali membicarakan tentang pohon-pohon dipinggir jalan yang mereka lihat, atau apapun itu yang menarik perhatian.
Hingga tak terasa kini keduanya sudah sampai didepan gerbang rumah besar Jeolion. Langsung saja mobil yang dikendarai Joseph masuk setelah dibukakan pintu oleh satpam. Keduanya langsung turun dan masuk kedalam rumah. Hal pertama yang menyambut kedatangan keduanya adalah wangi roti panggang yang biasanya sang ayah buatkan untuk mereka. Roti yang selalu mereka makan saat sarapan tanpa sang ayah menemani. Joseph melirik sang adik yang kini terlihat tegang. Dirangkulnya sang adik dan menuntunnya masuk kedapur. Tempat yang ia yakini bahwa sang ayah berada disana.
"Papi..."
Suara kecil Johan bahkan mampu membuat pria paruh baya yang tadinya sibuk menata piring itu kini menatapnya dengan tatapan datar. Joseph masih sedia berdiri disamping sang adik. Memperhatikan raut wajah sang ayah yang kini mulai melunak.
"Duduk, kecuali kamu, Johan."
Si bungsu tentu saja membulatkan matanya saat mendengar ucapan sang ayah. Matanya langsung bergerak melihat sang abang yang kini duduk dimeja makan. Ruang makan yang dulu biasanya hanya diisi oleh dirinya dan sang kakak tiap pagi. Kini, disana duduk kedua orang yang paling Johan harapkan kehadirannya secara bersamaan. Pemandangan dimana Jeolion menyiapkan pasta dan roti untuk sang kakak dengan wajah yang sama-sama datar. Perlu kalian ketahui jika Johan adalah anak yang cengeng. Bahkan lebih cengeng dari Lilac.
Bau menu makanan yang dibuat sang ayah membuat perut Johan kembali berbunyi walau sudah sarapan. Johan makin menunduk saat mendengar suara sendok dan garpu saling beradu dengan piring. Tega sekali papi dan kakaknya itu. Siapapun tolong selamatkan si bungsu kesayangan kita ini.
"Kamu ngga mau makan masakan papi?"
Johan mendongak. Ditatapnya sang papi dengan alis yang menukik tajam.
"Papi bahkan ngga nyuruh aku buat duduk?!" Suara tawa Jeolion langsung terdengar begitu Johan melayangkan protes. Putra keduanya itu benar-benar tak bisa sabar bahkan hanya untuk bicara denga pelan.
"Kan bisa makan berdiri?"
"Bapak-bapak sinting." Gumam Johan sambil berjalan kesisi Joseph. Tak akan ia dekat-dekat dengan sang papi. Karena sepertinya, bapka-bapak itu sudah bisa melawak.
"Abang, suapin dong." Bisik Johan saat Joseph menikmati makanannya dengan hikmat. Si sulung seakan mengabaikan keduanya yang terlihat asik berdebat kecil.
"Duduk, Johan. Makan yang bener."
Mendengara perintah sang ayah, langsung saja Johan duduk disisi Joseph dan mengambil bagian miliknya yang rupanya juga sudah disiapkan sang papi.
"Joseph...bagaimana kabarnya?" Tak ada yang tahu betapa berdebarnya jantung Jeolion saat menanyakan kabar sang anak yang sudah hampir tiga tahun ini tak ia temui. Wajah Joseph yang dulu terlihat begitu gembul kini berubah. Pipinya terlihat tirus dengan rahang yang semakin tajam. Lengannya yang dulu seakan besar oleh daging, kini terlihat berotot kala anak itu menggerakkan-nya. Tubuhnya kian tegap dan gagah. Joseph Andrien Lancaster.
"Baik, ayah. Anda sendiri bagaimana?"
"Sebelum kalian berdua lanjut ngobrol, Johan ijin mau ngasi rules dulu. Ngga boleh ada yang ngebantah atau kalian bakal kena denda. Ngerti?!" Dua orang yang lebih tua seperti biasa hanya mengiyakan apa yang Johan mau. Sudah untung anak itu lebih dulu meminta persetujuan dari Jeolion dan Joseph.
"Ngga boleh ngomong pake bahasa BAKU. Cuma boleh nyebut nama disini. Ngga ada kata saya, anda atau apa kek itu. Kalo kalian ngelanggar, hukumannya harus beliin permen sama eskrim buat Johan. Paham?!"
"Kamu lupa ini rumah papi?"
"Bodoamat? Papi liat muka Johan keliatan perduli ngga?"
Joseph yang melihatnya hanya tertawa pelan. Dalam hati bersyukur karna Johan bisa mencairkan suasana dan membuat ruang makan jadi lebih hangat.
"Joseph." Jeolion tatap mata sang putra pertama yang kini juga tertuju padanya. Sungguh, anaknya itu sejak kapan sudah sebesar ini? Joseph putranya dan Rehanna sudah sebesar ini.
"Mau ngobrol sama ayah ngga? Kita, kita bertiga. Dihalaman samping."
"Iya, ayah."
"Kita beritga tuh maskudnya sama Johan juga kan?"
"Johan mau nambah roti? Pasta nya enak kalo dimakan sama roti. Cobain deh." Segera Joseph mengalihkan perhatian anak itu sebelum sang ayah menyahut dan kembali menciptakan pertikaian. Sebagai pihak yang masih waras dalam keluarga, ia jujur kadang lelah melihat Johan dan ayahnya selalu seperti ini. Namun bedanya, kali ini Joseph berada diantara mereka. Joseph hadir sebagai penengah yang benar-benar nyata dan ada.
"Tolong ayah ya habis ini. Tolong kasi tau ayah apa yang bikin kalian sakit. Kasi tau ayah kalo ayah salah dalam memperlakukan kalian."
"Ayah ngga salah. Ayah cuma ngga bisa jelasin ke Joseph sama Johan kenapa ayah begitu. Lain kali, tolong juga kasi tau kita beban ayah. Kita ngga mau ayah ngerasa sendirian lagi. Disini ada Joseph sama Johan ayah."
Jeolion tatap kedua putra itu bergantian. Seandainya saja Rehanna masih ada dan turut andil dalam membesarkan keduanya, Jeolion yakin mereka akan menjadi anak yang baik. Bahkan Joseph yang memang sudah pada dasarnya lembut pasti tak akan pernah meninggalkan rumah hanya demi mencapai cita-citanya sendiri.
"OKKEYY! Trio Lancaster nih bos!! Senggol dong!!"
Johan mengacungkan garpu dan sendok dikedua tangannya dan membuat gerakan melintang melewati lehernya. Bahagia sekali keluarga Lancaster ini. Joseph berharap, setelah ini mereka benar-benar bisa menjadi keluarga yang utuh.