Setelah lima tahun Fatur pergi ke luar negri untuk menghilangkan luka hatinya karena Anggita, kini ia kembali ke Indonesia dan tiba-tiba bertemu lagi dengan perempuan yang sangat ia cintai di masa lalunya. Sampai akhirnya Fatur jatuh cinta lagi untuk yang kedua kalinya kepada Anggita.
Disarankan membaca novel 'Jatuh Cinta Lagi' sebelum membaca novel ini.
Up dari senin sampai sabtu ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Snow White, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Ke Luar Negri
Sampai saat ini Fatur belum juga menemukan jawaban akan apa yang harus diperbuatnya, jujur ucapan mamanya terus melekat diingatan lelaki bermata indah itu. Akhirnya Fatur memutuskan untuk mencari udara segar malam ini di sebuah cafe yang dulu pernah dikunjunginya dengan Anggita lima tahun lalu. Sepertinya malam ini Fatur akan menapaki jejak yang dulu pernah dilalui saat bersama-sama dengan perempuan yang sangat disayanginya itu. Penggalan kenangan kembali muncul dengan jelas di dalam memorinya. Semua itu seperti baru saja terjadi kemarin, dan tidak disangka di sana Fatur bertemu dengan seseorang yang dulu pernah berurusan dengannya sehingga mengirim dirinya masuk ke penjara. Siapa lagi kalau bukan Briptu Rizal yang pernah Fatur pukul habis-habisan sampai masuk IGD. Walaupun kejadian itu sudah lima tahun berlalu sepertinya Briptu Rizal masih bisa mengenali Fatur.
"Fatur. Kamu Fatur, kan?" panggil Briptu Rizal sambil bertanya menghampiri Fatur yang sedang duduk sendirian di dalam cafe itu ditemani makanan ringan dan kopi kesukaannya.
Secepat kilat Fatur menoleh saat ia tahu ada seseorang yang memanggil dan menghampirinya. Fatur mengerutkan keningnya sambil menatap orang itu yang tidak lain adalah seorang lelaki yang mungkin usianya tidak jauh darinya. Masih dengan tatapan keheranan dan terpaku tanpa banyak bicara kedua bola mata Fatur terus menatap lelaki itu dengan lekat, siapa dia? Mengapa lelaki itu tahu akan namanya? Fatur saja tidak mengenali lelaki yang ada di depannya kini. Briptu Rizal masih terdiam menatap Fatur yang terlihat kebingungan, wajar saja jika Fatur bingung karena mereka baru satu kali bertemu.
"Iya. Anda siapa?" Fatur balik bertanya sambil menatap lelaki itu dan masih mencoba untuk mengingatnya.
Hanya senyum simpul yang terlukis di bibir Briptu Rizal saat kata-kata itu keluar dari mulut Fatur.
"Masa kamu lupa. Aku yang pernah kamu kirim ke IGD lima tahun lalu." Briptu Rizal mencoba membantu Fatur untuk mengingat sambil tertawa kecil.
Lima tahun lalu? Dan Fatur kembali terdiam menatap Briptu Rizal yang masih berdiri di hadapan Fatur. Tidak butuh waktu lama bagi Fatur untuk mengingat siapa orang yang berdiri di depannya itu, dan kini Fatur tahu jika itu adalah Briptu Rizal yang sudah membuatnya seperti sekarang ini.
"Briptu Rizal." Fatur menebak dengan mimik wajah kaget.
Hanya senyum manis yang Briptu Rizal berikan saat Fatur sudah mengenalinya. Tidak disangka jika mereka berdua bisa bertemu lagi dan mereka berdua memutuskan untuk berbincang sebentar.
"Apa kabar?" tanya Briptu Rizal sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Fatur.
Sikap Fatur masih sedikit kaku karena kejadian itu dan Fatur merasa bersalah kepada Briptu Rizal atas apa yang sudah diperbuatnya.
"Baik. Silahkan duduk." Fatur mempersilahkan Briptu Rizal untuk duduk dan lelaki itu duduk tepat di depan Fatur.
"Bagaimana kabarnya?" Fatur balik bertanya saat Briptu Rizal sudah duduk di depannya.
"Kabar baik. Anda bagaimana?"
"Baik," jawab lelaki berkulit hitam manis yang hanya membalasnya singkat sambil tersenyum kecil.
"Aku minta maaf atas kejadian waktu itu," ucap Fatur tanpa basa basi langsung memulai pembicaraan di antara mereka berdua.
"Aku sudah memaafkannya, dan aku juga tahu kalau Anda sedang kacau saat itu," balas Briptu Rizal sambil tersenyum menatap Fatur.
Jika Fatur mengingat kejadian itu rasanya Fatur seperti orang yang sangat jahat. Bagaimana tidak ia telah memukul Briptu Rizal secara membabi buta dengan tangan kosong. Luapan emosi Fatur tumpah ketika mereka berdua berdebat di pinggir jalan gara-gara Fatur melanggar lalu lintas dan tidak terima ditilang oleh Briptu Rizal. Saat itu Fatur baru saja putus beberapa hari dengan Anggita.
"Bagaimana lukanya? Apa telinga kanannya masih bisa mendengar?" tanya Fatur saat ia ingat dengan luka yang sudah ia berikan kepada Briptu Rizal.
Saat itu Fatur memukul telinga kanan Briptu Rizal dengan tangan kosong berkali-kali, luapan emosi Fatur membuat dirinya tak sadarkan diri bahkan Erik pun tidak mampu untuk menahannya. Telinga Briptu Rizal seketika juga tidak bisa mendengar dengan jelas akibat pukulan Fatur. Jika mengingat kejadian itu membuat Briptu Rizal sangat sedih dan terluka karena telinganya tidak bisa seperti dulu lagi.
"Aku masih bisa mendengar tapi nggak begitu jelas," jawab Briptu Rizal dengan ekspresi wajah yang kini mulai sendu.
"Sekali lagi aku minta maaf," timpal Fatur yang saat ini kembali merasa bersalah.
"Aku sudah memaafkan semuanya," balas Briptu Reza kembali memasang wajah cerianya.
"Aku hampir membusuk di penjara," keluh Fatur.
"Tapi aku nggak membiarkan itu terjadi, kan?"
"Iya. Tapi aku harus pergi menjauh dari kota ini dan keluargaku untuk menebus itu semua," ucap Fatur lirih.
Briptu Rizal merasa ada yang janggal dengan ucapan Fatur, mengapa lelaki yang duduk di depannya itu tiba-tiba terlihat sedih.
"Mengapa kamu terlihat menyesal bukannya itu sudah menjadi keputusanmu?"
Kini Fatur yang dibuat bingung dengan ucapan Briptu Rizal. Matanya tertuju menatap lelaki itu dan Fatur sebisa mungkin mencerna ucapan Briptu Rizal. Keputusan? Keputusan apa yang dimaksud oleh Briptu Rizal itu?
"Keputusan? Keputusan apa?" Fatur terlihat semakin bingung.
Kenapa Fatur terlihat bingung akan ucapan Briptu Rizal? Mengapa Fatur tidak mengerti dengan apa yang sedang mereka bahas saat ini?
"Keputusanmu untuk pergi ke luar negri dan melanjutkan sekolah di sana."
Deg, tatapan Fatur menatap tajam ke arah kedua bola mata Briptu Rizal. Memang benar sekali dugaan Fatur ada sesuatu yang janggal di sini. Mengapa Briptu Rizal menganggap jika kepergiannya ke luar negri itu adalah keinginannya? Bukannya ini semua keinginan Briptu Rizal yang menginginkan dirinya untuk menjauh dari kota ini.
"Bukannya Anda yang menyuruh aku untuk pergi dari kota ini?"
Glek, Briptu Rizal mengerutkan keningnya seraya menatap Fatur dengan lekat. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini yang harus diluruskan oleh Briptu Rizal karena Fatur menganggap jika ia yang menyuruhnya pergi dari kota ini. Padahal Briptu Rizal membebaskan Fatur tanpa syarat dan diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
"Siapa bilang? Aku nggak pernah berbicara seperti itu," tampik Briptu Rizal.
Bagai disambar petir Fatur kaget bukan main sepertinya ada sesuatu yang telah disembunyikan darinya selama ini.
"Tapi papa bicara seperti itu kepadaku. Dia bilang kalau aku mau bebas dari penjara aku harus keluar dari kota ini," jelas Fatur dengan nada tegas dan mimik wajah bingung menatap Briptu Rizal.
"Aku nggak pernah berbicara seperti itu dan aku juga nggak pernah mengajukan persyaratan sedikitpun. Aku membebaskan mu tanpa syarat apapun juga, semua atas dasar kekeluargaan."
Dada Fatur mendadak sesak dan hatinya mulai bimbang, ia bisa menebak jika ini semua adalah rencana yang sudah dibuat oleh papanya untuk bisa membawa pergi dirinya pergi dari kota ini dan melanjutkan kuliah di luar negri. Seketika Fatur teringat bagaimana papanya dulu selalu bersi keras membujuknya untuk kuliah di luar negri dan sekarang ia baru mengingatnya. Bagaimana bisa papanya berbuat setega itu menjauhkan dirinya dengan Mili dan mamanya, yang lebih parah Fatur tidak boleh pulang sama sekali ke Batam. Perasaan kecewa kembali muncul saat Fatur mengetahui semuanya.
"Apa ini rencana papa? Apa papa sudah merencanakan semua ini? Dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk membawaku pergi dari kota ini. Kalau memang benar ini rencananya, Papa sudah berhasil membohongiku selama ini," gumam Fatur dalam hati dengan nada kecewa dan rasa mulai kesal kepada papanya.
Kota Batam siang ini sangat terik, sinar matahari memancarkan panasnya begitu ganas sehingga terasa sampai ke dalam lapisan kulit. Namun demikian tidak membuat Fatur mengurungkan niat untuk menemui papanya, mungkin ini terdengar nekat jika dirinya menampakan wajah tampannya di hadapan papanya yang jelas-jelas melarang dirinya untuk kembali ke Batam. Bagaimana reaksi papanya saat tahu jika Fatur berada di Batam? Pasti lelaki setengah baya itu akan marah besar kepadanya, atau mungkin Fatur akan segera dipulangkan kembali ke Australia dan tidak akan pernah kembali lagi. Tapi bagi Fatur itu bukan masalah besar lagi untuk saat ini, yang ada di dalam pikirannya hanyalah begitu banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada papanya tentang semua ucapan Briptu Rizal saat itu.
Di dalam hatinya tiada henti berbicara sendiri sambil terus mengutuk apa yang sudah papanya lakukan kepadanya selama ini, memisahkan dirinya dengan mama dan kakaknya selama lima tahun. Rasa amarah yang mulai memuncak dan tidak bisa dibendung di hati Fatur saat ini membuat dirinya tidak fokus mengendarai motor matic yang dibelinya saat masa kuliah dulu. Motor matic berwarna hitam yang sudah menjadi saksi bisu selama perjalanannya selama ini.
Sering kali lelaki yang mempunyai penyakit vertigo itu hendak menabrak kendaraan roda dua dan empat yang ada di depan saat dirinya hendak melintasinya. Secepat kilat Fatur menghindar begitu sangat gesitnya, sepertinya dalam hal ini Fatur terlihat lihai. Bagaimana tidak mengingat dulu dirinya adalah seorang pembalap motor handal saat masih duduk di bangku SMP.
Pikirannya seperti berkecamuk dengan hati yang terasa begitu tidak karuan, lagi-lagi papanya berhasil membuat Fatur seperti orang bodoh yang harus menurutinya. Ancaman yang dibuat papanya dulu kepada Fatur kini menjadi bumerang yang akan meledak dalam hitungan detik. Hanya ada rasa kesal, benci, marah yang ada di hati Fatur saat ini.
Tiga puluh menit kemudian Fatur sampai di kantor papanya, tanpa berpikir panjang ia langsung melangkahkan kakinya menemui papanya saat sudah memarkirkan motornya. Tidak perlu waktu yang lama untuk Fatur menemukan ruangan papanya dan beberapa polisi yang berada di sana terlihat heran dan kaget saat melihat kehadiran Fatur. Tak jarang mereka saling menatap serta berbisik saat melihat Fatur melintasi mereka, karena setau mereka saat kejadian itu Fatur berada di luar negri sampai saat ini.
Langkah kaki Fatur melangkah begitu pasti menuju ruangan papanya yang berada tidak jauh dari pintu masuk, tidak sepatah kata yang terucap dari bibirnya ketika ia berpapasan beberapa kali dengan polisi yang berpapasan dengannya. Sampai akhirnya langkah kakinya yang begitu cepat terhenti di depan sebuah ruangan, Fatur tiba-tiba terdiam mematung menatap pintu dengan cat berwarna coklat. Di dalam sana ia akan mendapatkan jawaban atas apa yang tersimpan selama lima tahun ini.
Perasaannya gusar tidak karuan, kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat. Sepertinya amarah Fatur sudah sampai ke ujung kepala, matanya berkaca-kaca dan mulutnya bergetar. Entah apa yang akan terjadi saat ini, dengan sekuat tenaga tangan yang tadinya kaku kini mengetuk pintu ruangan itu, tidak lama terdengar suara dari dalam sana mempersilahkan masuk.
"Tok, tok, tok," pintu kantor papanya berbunyi.
"Masuk." Terdengar suara dari dalam sana dan itu adalah suara papanya yang ternyata benar sedang berada di sana.
Fatur membuka pintu itu dengan lebar dan melihat papanya sedang duduk sambil membaca beberapa dokumen. Hanya dengan melihat papanya saja emosi Fatur sudah mulai memuncak, tangan Fatur mulai gemetaran dan ia mengepalkan kedua tangannya sembari menatap tajam ke arah papanya yang masih saja belum sadar akan kehadirannya.
Setelah beberapa saat papanya tersadar jika ada seseorang yang datang ke ruangannya. Diletakan dokumen ke atas meja dan lelaki setengah baya menoleh ke arah pintu masuknya, betapa kagetnya saat melihat seseorang sudah berdiri mematung sedari tadi dengan tatapan kosong. Seseorang yang seharusnya tidak berada di sini saat ini, tatapan mata papanya begitu tajam menatap lelaki berwajah tampan dengan tinggi 170cm. Mengapa putra bungsunya ada di sini? Apa benar yang dilihatnya itu adalah putranya yang seharusnya sekarang berada di luar negri. Mulut papanya masih membisu tidak bisa bicara sepatah kata, sepertinya ia masih tidak percaya akan siapa yang dilihatnya itu.
"Fatur! Sedang apa kamu di sini?" tanya papanya dengan kedua bola matanya melebar seraya tatapan sinis menghardik Fatur yang perlahan melangkahkan kakinya menghampiri papanya dengan rasa kecewa.
Terlihat jelas di wajah Fatur mengguratkan rasa kekecewaan yang mendalam, rasa kesedihan yang ia simpan selama ini. Mata Fatur mulai berkaca-kaca dan sedikit demi sedikit mengeluarkan buliran berwarna putih yang kini memenuhi pelupuk matanya. Banyak pertanyaan yang memenuhi isi kepala papanya untuk Fatur, kapan dia datang? Untuk apa dia di sini? Siapa yang menyuruhnya pulang?
"Bukankah seharusnya kamu berada di Australia? Siapa yang menyuruhmu pulang?" pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut papanya dengan nada tegas, namun sayang Fatur tidak menjawab pertanyaan itu sedikitpun.
Sesekali Fatur menarik napas panjang saat ia berjalan menuju papanya, dan kini tepat mereka berdua berdiri berhadapan. Kedua bola mata Fatur menyapa tatapan sinis papanya yang tidak pernah menyukai kehadirannya. Sesaat mereka berdua terdiam saling menatap, jujur saat ini yang ingin Fatur tanyakan kepada papanya adalah apakah ia menyayanginya selama ini? Mengapa selama ini papanya tidak pernah membiarkan Fatur untuk bahagia memilih jalan hidupnya sendiri.
Masih tidak ada kata yang terucap dari mulut putranya dan membuat papanya heran. Hanya kesedihan dan mata yang berkaca-kaca yang bisa dilihat papanya dari wajah Fatur. Rasa amarah kini mulai mereda saat papanya melihat ekspresi Fatur, dan kini rasa heran menyelimuti papanya.
"Kenapa kamu pulang? Apa kamu sedang menghadapi masalah?" tanya papanya lagi yang kali ini dengan nada sedikit merendah.
Napas Fatur kini semakin terasa sesak, rasanya ia tidak mampu untuk bernapas lagi seperti kehilangan oksigen. Air mata yang ia tahan sedari tadi kini jatuh menetas ke pipi dan membuat papanya sedikit ketakutan. Diusapnya air mata yang jatuh ke pipi dengan cepat, sebisa mungkin Fatur mengendalikan emosi agar amarahnya tidak pecah saat ini. Sudah lama rasanya ia tidak meledak-ledak saat marah, dan ia berharap jika saat ini dirinya bisa mengendalikan rasa amarahnya.
"Ada suatu alasan yang membuat aku pulang, Pa," jawab Fatur dengan suara bergetar.
"Apa itu? Sebesar apa masalahnya sehingga mengharuskan mu pulang?"
Hati Fatur terasa tercabik-cabik mengapa papanya seperti tidak senang jika dirinya pulang, apa benar pikirannya selama ini jika papanya tidak pernah menyayangi dirinya dan kakaknya.
"Apa papa nggak suka kalau aku pulang?" Fatur balik bertanya yang membuat papanya kebingungan.
Deg, papanya seketika menyipitkan sebelah matanya saat mendengar pertanyaan Fatur. Mengapa putranya terdengar sangat sinis akan pertanyaan yang diberikan untuknya.
"Iya. Karena kamu nggak seharusnya berada di sini!"
Air mata terus jatuh bergantian mulai membasahi pipi Fatur dan ia terus mencoba menahannya. Tapi sekuat dirinya menahan itu semua, air mata itu semakin deras jatuh ke pipinya. Memang Fatur mempunyai hati yang lembut, meskipun sifatnya yang tempramental dan egois. Itu semua berubah saat dirinya bertemu dengan Anggita.
"Kenapa? Kenapa, Pa? Kenapa aku nggak boleh ada di sini? Kenapa aku nggak boleh datang sesuka hatiku?"
"Karena itu sudah menjadi perjanjian lima tahun lalu!" tukas papanya mengingatkan.
"Perjanjian antara papa dan Briptu Rizal?" Fatur memperjelas akan ucapan papanya.
Mengapa Fatur saat ini membahas tentang Briptu Rizal. Untuk apa Fatur kembali membahas masalah yang sudah terjadi lima tahu lalu? Kejadian yang sudah dilupakan oleh papanya, namun tidak bagi Fatur. Sepertinya ucapan Fatur berhasil membuat papanya sedikit terganggu, terlihat ada rasa kekhawatiran di wajah papanya yang terlihat gugup saat Fatur kembali menyinggung soal kejadian lima tahun lalu.
"Perjanjian antara papa dengan Briptu Rizal, kan? Bukan perjanjian antara aku dengan dia." Fatur mulai mencecar papanya yang kini terlihat kebingungan.
Sebisa mungkin papanya mencoba mencari alasan atau sekedar mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan saat ini yang sedang mereka bahas.
"Apa maksud dari ucapan kamu, Fatur?" papanya mencoba menampik pertanyaan Fatur.
Hanya tawa ringan terkesan jutek saat kata-kata itu keluar dari mulut papanya. Rasanya amarah Fatur saat ini benar-benar akan meledak seperti bom waktu.
"Papa nggak perlu bohong sama aku. Apa selama ini papa menyayangiku? Apa selama ini papa menanggap aku anakmu atau hanya alat untuk mencapai ambisi mu?"
"Papa benar-benar nggak mengerti apa yang kamu ucapkan."
Jujur saat ini Fatur sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semua rasa amarah dan kesal yang menyelimuti hatinya. Rasa kesal dan kecewa terhadap papanya sudah ingin dilampiaskannya. Meskipun air mata Fatur terus berurai membasahi pipinya, tetap pendirian papanya tidak berubah. Yang papanya inginkan adalah agar Fatur kembali ke Australia.
"Mau sampai kapan papa bohong sama aku, Pa!" teriak Fatur membentak papanya.
Glek, papanya kaget bukan main saat suara Fatur menggema di dalam ruangannya.
"Mau sampai kapan papa mempermainkan aku?" suara Fatur bergetar menahan tangisnya dan papanya hanya terdiam membisu menatap putra bungsunya.
"Kenapa papa tega membohongi aku seperti ini, Pa? Apa salah aku selama ini? Kenapa papa jahat sama aku?" tambah Fatur lagi yang mencoba menahan emosinya.
"Lebih baik kamu pulang dan tenangkan dirimu. Lalu besok papa akan mengantarkan mu ke bandara," ucap papanya dengan nada tenang memberi saran seolah tidak terjadi apa-apa.
Kata-kata papanya membuat Fatur semakin terpancing emosinya. Amarahnya yang ia pendam kini meledak seketika, bagaikan api yang tersulut oleh bensin mudah menyambar apa saja didekatnya.
"Apa papa nggak merasa bersalah atas kebohongan yang sudah papa tutupi selama ini!" bentak Fatur lagi.
Benar dugaan papanya jika putranya itu sudah mengetahui rahasia yang sudah ditutupi darinya lima tahun lalu. Rahasia yang menjadikannya jauh dari mama dan kakaknya. Rahasia yang sudah menyiksa diri dan perasaan Fatur selama ini. Rahasia yang memaksa dirinya melepaskan Anggita.