bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.
selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pelatihan yang intensif
Sinar matahari memudar di ufuk barat, menciptakan langit oranye yang mencolok. Kamp militer Kota Reksa berdengung dengan aktivitas. Pengungsi, wajah penuh kecemasan, berbaris mengikuti instruksi tentara. Dari kejauhan, kamu melihat Toni mengamati sekeliling, wajahnya cermat menilai setiap gerak-gerik.
“Chris, sudah siap?” Suaranya tergetar, bukan karena ketakutan, tapi semangatnya.
“Kita tidak punya pilihan lain,” jawabmu sambil memperbaiki ransel yang membebani bahumu. “Semoga mereka mengajari kita sesuatu yang berguna.”
Toni mengangguk, matanya menyala ketika melihat sekelompok tentara sedang memberikan arahan. “Lihat! Mereka menunjukkan teknik bertahan! Kita harus memperhatikan.”
Kamu berdua melangkah mendekat, bergabung dengan pengungsi lain yang menunggu giliran pelatihan. Tentara, seragam hijau dan tatapan tegas, memegang suara komando.
“Kalian semua!” salah satu tentara berteriak, suaranya membahana. “Dengar baik-baik! Ini bukan permainan. Situasi di luar sangat berbahaya.”
“Seperti makhluk dari danau elips?” Toni berbisik, wajahnya menunjukkan rasa ingin tahunya.
“Kita perlu siap,” katamu, menambahkan kedalaman pada nadamu. “Tapi juga, kita harus memikirkan cara untuk mengatasi semua ini.”
Seorang sergeant maju, matanya menyisir kerumunan. “Latihan hari ini akan meliputi taktik bertahan dan penggunaan senjata. Jika kalian ingin selamat, ikuti instruksi kami.”
Kamu merasakan ketegangan di udara.
“Apakah mereka punya rencana untuk mengatasi makhluk-makhluk itu?” Toni menanyakan, melirik ke arahmu.
“Kurasa itu yang kita hadapi sekarang,” jawabmu sambil berusaha tetap tenang. “Semuanya terlalu tidak pasti.”
Sergeant memerintahkan semua orang untuk berbaris, menegaskan bahwa setiap orang harus mengenakan pelindung. Kamu mengamati sekelompok anak-anak melawan kesedihan dan ketakutan, mencoba tersenyum meski terlihat jelas betapa mereka ingin kembali ke rumah.
“Chris, kita bisa melakukannya,” suara Toni mematahkan lamunanmu. Dia terlihat lebih bersemangat. “Kita berlatih untuk melindungi apa yang tersisa.”
“Iya, dan kita harus tetap waspada,” katamu, memperhatikan anak-anak lain yang tampak bingung, seolah-olah mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi.
“Mari. Ikuti saya!” teriak sergeant lagi, suaranya menggema. “Kita mulai dengan gerakan dasar!”
Kamu dan Toni berusaha menyesuaikan diri dengan instruksi yang diberikan. Langkah demi langkah, kamu berlatih bergerak cepat, menangkis serangan khayalan. Setiap kali Tony berhasil mengelak dengan gesit, kamu merasa sedikit bangga.
“Chris, lihat! Sepertinya kita sangat mirip,” Toni tertawa, menghentakkan kakinya.
“Cukup nyaman kali ini, huh?” jawabmu, berusaha menyemangati dia.
Akhirnya, pelatihan berlanjut ke penggunaan senjata. Setiap pengungsi dibagikan senapan sederhana dan peluru.
“Belajar menembak ini harus cepat!” sergeant memperingatkan. “Ini bukan hanya untuk latihan. Ini untuk bertahan hidup!”
“Toni, sudah siap untuk hal ini?” kamu bertanya, menatap senapan di tanganmu.
“Kayaknya kita harus pelajari cara menggunakannya dulu,” dijawabnya sambil mencoba menyesuaikan posisi. “Lihat! Kamu duduknya salah.”
“Ah, ini tidak terlalu sulit,” katamu, berusaha tenang. “Dengan sedikit latihan, kita pasti bisa berhasil.”
“Jangan terlalu percaya diri, Chris,” Toni berkomentar. “Kita tidak tahu seberapa susah latihan ini.”
Seiring berjalannya waktu, kamu mulai merasa terbiasa. Suara senapan meledak, getaran peluru menembus udara. Beberapa pengungsi berhasil meraih target, sementara yang lain tampak frustrasi.
“Kristen, kau harus mengamati cara orang-orang ini,” Toni memberi saran. “Kita perlu menyesuaikan poin pandang kita.”
“Tidak ada pelajaran di dalam buku yang lebih baik daripada ini,” katamu sambil mengarahkan senapan. “Tapi apa kita benar-benar bisa mempercayai semuanya?”
Kamu dan Toni melanjutkan berlatih sampai matahari terbenam. Setelah beberapa jam, sergeant memanggil kalian berkumpul.
“Bagus, kalian sudah melakukan kemajuan,” katanya sambil bersandar pada senapannya. “Tetapi, ingat, apa yang kalian lakukan siang ini hanyalah dasar. Musuh yang kalian hadapi jauh lebih menakutkan daripada yang kalian bayangkan.”
Toni menatapmu penuh pertanyaan. “Apa yang dia maksud?”
“Sepertinya kita memiliki lebih banyak hal untuk disiapkan,” katamu, khawatir.
“Chris, kita pergi ke danau elips malam ini,” Toni menyarankan, matanya tajam. “Kita harus tahu lebih baik tentang musuh.”
“Apa? Saat semua ini terjadi?” kamu kaget dengan ide itu. “Kami seharusnya tetap di sini dan berlatih.”
“Tapi kita tidak bisa hanya menunggu,” dia menegaskan. “Kita harus mencari tahu sumber masalah ini.”
Kamu merenungkan kata-katanya. Akhirnya, kamu menyadari bahwa tidak ada jalan kembali.
“Kalau kita pergi, kita pergi sekarang,” katamu, suaramu tegas. “Tapi kita harus sangat berhati-hati.”
“Siap!” jawabnya, bersiap untuk berangkat.
Malam itu, kamu dan Toni menembus kegelapan, melangkah menuju Danau Elips dengan hati-hati. Suasana tegang menyelimuti kalian berdua, setiap suara mengingatkanmu akan bahaya yang mungkin mengintai.
“Apakah kamu yakin tentang ini?” kamu bertanya, meski dalam hati sudah tahu jawabannya.
“Lihat,” Toni meraih lenganmu, matanya berbinar. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Kita harus menghadapi kebenarannya.”
Langkah-langkahmu semakin mantap, suara air yang tenang mengisi kesunyian malam. Sesekali, cahaya rembulan memantul di atas permukaan danau, menambah rasa misterius.
Kedua tanganmu menggenggam erat senapan, gerakanmu lamban penuh waspada. Di akhir jalan, kamu berdua berhenti dan mengamati keliling.
“Tidak ada yang tampak aneh,” kau berbisik, mengangkat bahu.
“Belum,” jawab Toni. “Tapi kita harus bersiap.”
Kamu mendengar desiran angin, dan baru menyadari betapa menegangkannya malam ini.
“Toni, apa kita harus mendapatkan jawaban lebih awal?” tanyamu, wajahmu kaku.
“Sebentar lagi,” dia menegaskan, berfokus ke arah gelap di ujung danau. “Kita bisa menemukan sesuatu.”
Dengan satu langkah, kamu berdua maju, menyeberangi batas antara rasa takut dan keberanian. Keganjilan yang kalian cari, sesuatu dari Danau Elips, perlahan mendekat.Kamu berusaha menegakkan napas, merasakan ketegangan di udara. Suara ombak kecil menjadi latar belakang, tapi pikirmu tersita oleh bayangan yang mungkin saja mengintai di aras kegelapan.
“Toni, aku merasa ada yang tidak beres di sini,” bisikmu, dan tautan pandangmu ke arah permukaan air yang gelap.
Dia menatap dalam, seolah mencoba membedah misteri yang tersembunyi. “Kita tidak bisa mundur sekarang, Chris. Kita sudah terlalu jauh.”
Suara langkah kaki, gemuruh jarak jauh, menyadarkan kalian. Keduanya bersiap, setiap detak jantung terasa lebih cepat.
Dari balik semak-semak, kamu menangkap sosok yang melintasi bayangan moonlight. Kembali bersembunyi di balik pepohonan, jantungmu berdegup sangat kencang.
“Toni, lihat!” serumu dengan nada rendah.
Diam-diam, Toni mendekat. “Apa itu?”
Hantu pelan melintas di permukaan air, menghalangi cahaya bulan. Tidak berbentuk jelas, tapi kilau seolah mengalir di dalam kegelapan.
“Kita harus lebih dekat,” Toni berusaha berbisik, mendorongmu maju.
“Pada saat seperti ini?” kamu bimbang, merasa waktu berjalan lambat.
“Kita sudah di sini, Chris. Kita tidak akan dapat tahu jika kita hanya menunggu.”
Kamu merasakan dorongan dari dalam hati. Dengan langkah pelankamu mendekat, setiap langkah terasa seperti menginjak api. Toni mengikutimu, matanya tidak pernah lepas dari bayangan aneh itu.
“Mungkin itu hanya ilusi,” kamu berusaha meyakinkan diri. Namun, ketegangan menghimpit dadamu.
“Ilusi atau bukan, kita perlu memastikan,” Toni membalas penuh tekad.
Sesampainya di tepi air, sepertinya suasana semakin mencekam. Permukaan danau bergetar sedikit, menciptakan riak-riak kecil. Kilau yang semula samar kini lebih terlihat, memancarkan cahaya aneh.
“Apakah kau melihat itu?” Toni mengingatkan.
Kamu mengangguk, otakmu bekerja keras untuk mencerna apa yang ada di depan mata. Sebuah bentuk menyerupai makhluk, tidak sepenuhnya terlihat, memasuki pandanganmu.
“Tidak mungkin,” gumammu.
“Ini... ini dia,” Toni melangkah maju, berani menatap bayangan itu. “Kita harus beranikan diri, Chris!”
Bentuk itu semakin mendekat, seakan merespons keberadaan kalian. Suara berdeburan air terpecah, sebuah goyangan menyentak—kamu pun terdiam, merasakan getaran itu menjalar ke dalam tubuh.
“Toni, mundur!” teriakanmu terdengar tiba-tiba, tapi Toni tak gerak.
“Bisa saja kita mendapatkan jawaban dari sini!”
Satu tanganmu meraih lengannya, berusaha untuk menariknya mundur. Namun, ketika bayangan itu semakin jelas, kesadaranmu bergetar.
Sosok setengah transparan, dengan wajah penuh misteri, muncul dari perairan. Matamu terbelalak.
“Itu... itu bukan dari sini,” suaramu serak, tak percaya.
Toni mengamati lebih dekat. “Apa maksudmu—?”
“Kita harus pergi,” katamu tegas, menarik Toni lebih dekat. “Ini bukan tempatnya.”
“Chris, kita—”
“Tidak, Toni! Kita tidak bisa mengambil risiko!”
Toni menggeleng, mendesak. “Tapi kita perlu tahu! Mungkin ini seluruh penyebabnya!”