Siapa sangka, cinta yang dulu hangat kini berubah menjadi api dendam yang membara. Delapan tahun lalu, Alya memutuskan Randy, meninggalkan luka mendalam di hati lelaki itu. Sejak saat itu, Randy hidup hanya untuk satu tujuan : membalas sakit hatinya.
Hidup Alya pun tak lagi indah. Nasib membawanya menjadi asisten rumah tangga, hingga takdir kejam mempertemukannya kembali dengan Randy—yang kini telah beristri. Alya bekerja di rumah sang mantan kekasih.
Di balik tembok rumah itu, dendam Randy menemukan panggungnya. Ia menghancurkan harga diri Alya, hingga membuatnya mengandung tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu alasanku memutuskanmu dulu,” bisik Alya dengan air mata. “Kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.”
Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mampukah cinta mengalahkan dendam, atau justru rahasia kelam yang akan mengubah segalanya?
Kisah ini tentang luka, cinta, dan penebusan yang mengguncang hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
“Al, sesekali kamu harus jalan-jalan. Setidaknya, biar kamu tidak stres hidup di dalam panti terus. Agar kamu tahu dunia luar tak selalu buruk,” ujar Bu Puri memberikan perhatiannya.
Sejak kejadian di rumah Randy kala itu, Alya mulai memiliki trauma. Tepatnya, setelah dokter memeriksanya saat Alya datang ke panti dalam keadaan yang memprihatinkan. Ia dinyatakan mengidap trauma ketika berinteraksi dengan orang asing. Untuk itu, seringnya ia hanya mengurus panti di belakang layar. Ketika ada orang-orang yang ingin mengadakan acara di panti, Bu Puri lah yang mengurusnya.
“Alya lebih suka di dalam panti, Bu,” jawab Alya yang sedang sibuk membuat kue untuk anak-anak panti.
Sejujurnya, Bu Puri senang Alya bisa tinggal di pantinya, apalagi Alya cukup pandai memasak, tapi di sisi lain Bu Puri juga ingin Alya bisa berbaur dengan lingkungan luar untuk lebih menikmati hidup.
“Besok ajak Gio jalan-jalan ke mall, ya. Kemarin, dia minta mainan. Setelah Nana selesai beberes, biar dia ikut menemani kamu dan Gio,” bisik Bu Puri memberikan uang untuk Alya.
Menolaknya, Alya tak mau jika Bu Puri direpotkan dengan cara demikian. Mengizinkannya tinggal di panti saja ia sudah cukup bersyukur. Apalagi, selama ini setiap bulannya Bu Puri selalu memberikan uang saku pada Alya dan juga Nana, karena telah membantunya mengurus panti.
“Kalau itu ‘kan gaji kamu karena sudah bantu Ibu. Kalau ini, beda lagi. Ibu ‘kan sudah anggap kamu sebagai anak Ibu sendiri, Al, Ibu juga menganggap Gio itu cucu Ibu. Sudah selayaknya ‘kan sikap seorang ibu dan nenek itu seperti ini.” Bu Puri memasukkan paksa beberapa lembar uang ke saku Alya.
Menangis, Alya meratapi takdir hidupnya yang malang.
Hingga keesokan harinya, mereka bertiga berjalan santai ke sebuah mall. Gio senang bukan main, karena ia memang jarang bahkan tak pernah main ke mall. Mereka pun langsung masuk ke toko mainan anak-anak. Berjanji pada sang mama tak akan meminta mainan lebih dari 1, Gio hanya akan mengambil mainan sebuah kereta api yang ia pilih.
“Oke, kita beli yang ini saja ya, Mama mau antre bayar di kasir dulu,” ujar Alya mengambil mainan yang Gio pilih.
Memastikan Alya bisa melakukannya sendiri, Nana lalu menemani Gio melihat-lihat mainan yang lain, sembari menunggu Alya selesai membayar.
Hingga Gio berhenti begitu lama di depan etalase mobil-mobil mainan. Dipandanginya mainan mobil yang berjejer itu. Rasa ingin memilikinya pun mencuat selayaknya anak kecil pada umumnya, tapi ia sudah berjanji pada mamanya hanya akan memilih 1.
Seorang lelaki yang tak sengaja memperhatikan Gio, lalu menghampirinya. “Kamu mau?” tawarnya.
Gio pun mendongakkan kepalanya ke atas. “Om yang kemarin?”
Mengangguk, lelaki yang ternyata Randy itu membungkukkan dirinya agar sejajar dengan Gio. “Ambil kalau mau, biar Om yang bayar.”
Menunduk lesu, Gio mengatakan bahwa ia sudah berjanji hanya boleh mengambil 1 mainan yang sedang dibayar di kasir.
Seketika Randy pun takjub akan sikap disiplin dan patuhnya Gio, meski ada rasa iba karena raut wajah anak itu tak bisa menyembunyikan keinginannya untuk memiliki mainan di hadapannya.
Tak lama, Nana yang berdiri di balik etalase mobil mainan, memanggil Gio dan mengajaknya pulang, karena Alya tampak sudah hampir selesai membayar.
“Dia sepertinya mau mobil-mobilan ini, biar saya yang bayar sekalian,” tawar Randy pada Nana.
Tak enak pada Alya jika ia lancang membolehkan Gio mengambil mainan lagi, Nana menolaknya dengan sopan dan segera mengajak Gio keluar dari toko.
Randy dan Gio pun masih saling berpandangan, meskipun Gio sudah berjalan membelakanginya.
Entah mengapa, bagi Randy anak itu sangat berkesan baginya, setiap kali melihat Gio, ia selalu teringat pada anak yang dikandung Alya.
Hingga pandangannya ke arah Gio pun buyar kala Raina memanggilnya.
***
Saat di jalan pulang, Nana menceritakan kejadian saat di mall. “Memang Gio kenal om tadi?”
Mengangguk, Gio ingat betul bahwa om itu adalah yang pernah datang ke panti waktu itu.
Gio juga tampak lesu karena tak jadi mendapatkan mainan mobil itu.
“Tadi katanya sudah janji sama Mama, Gio hanya aka mengambil 1 mainan. Kok sekarang sedih karena tidak beli mainan mobil? Mama tidak pernah mengajarkan Gio untuk tidak bersyukur. Teman-teman di panti belum tentu bisa seperti Gio, jalan-jalan di mall dan membeli mainan,” jelas Alya.
Meminta maaf, Gio pun ingin suatu saat nanti punya banyak uang agar bisa membelikan teman-temannya di panti mainan.
Bangga sekaligus miris, ada perasaan bersalah di hati Alya, karena tak bisa memberikan kebahagiaan pada anaknya.
Sementara itu, di rumahnya, Alex tampak berbicara pada sang ayah, tentang kedatangan Bu Yusi di kantor mereka.
“Aku risih lihatnya, Pa. Bu Yusi sudah tua, kumal pula,” ujar Alex.
Sedikit tertawa, Om Tama meminta anaknya tak mempermasalahkannya, karena siapa tahu Bu Yusi memang sedang ingin bertemu anak angkatnya.
“Lagi pula, Alex masih tidak paham, kenapa Papa begitu baik pada Randy, yang notabene hanya lah seorang keponakan Papa. I mean, Papa sudah menyekolahkannya sampai S2. Kenapa tidak menyuruhnya untuk cari kerja sendiri, tidak di perusahaan kita. Papa tahu ‘kan, saudara bisa juga berkhianat,” terang Alex.
Sedikit tersedak, Om Tama meminta sang anak sulung tak bicara demikian, karena bagaimana pun Randy adalah anak dari kakak ayahnya.
“Sama halnya kalau adikmu nanti menikah dan punya anak, nah kamu harus sayang pada anaknya dan menganggap anak itu adalah anakmu juga,” tutur Om Tama.
Alex tetap merasa papanya terlalu berlebihan dalam mengasuh Randy, yang begitu dibiayai oleh sang ayah, hingga pekerjaan pun juga disediakan, diberikan jabatan tinggi pula di kantor.
“Yang penting ‘kan Papa tetap mengutamakan anak-anak Papa untuk jadi Direktur Utama, Randy ‘kan hanya Direktur Pengembangan Bisnis,” jelas sang papa.
Om Tama memang memberikan jabatan Dirut dan Wakil Dirut untuk kedua anak laki-lakinya, yang berusia tak jauh dari Randy, sedangkan dirinya saat ini mengemban posisi sebagai Komisaris Utama.
“Alex benar, Pa. Setelah Randy punya banyak pengalaman, Papa bisa perlahan memintanya pergi dari kantor, agar dia juga mandiri,” sahut Bu Sukma, istri Om Tama dari dapur.
Memberikan kode tajamnya, Om Tama mengajak istrinya ke kamar dengan alasan sudah malam waktunya beristirahat.
Sampai kamar, Om Tama mengingatkan sang istri akan suatu hal. “Kita harus tetap melibatkan Randy di perusahaan, tidak bisa mendepaknya begitu saja. Kamu mau semuanya berantakan? Dia sudah dewasa, dia bisa mencari tahu semuanya. Kalau dia tidak lagi bekerja di kantor, apa jadinya kalau tiba-tiba dia dendam pada kita? Jaga omonganmu!”
...****************...