“Glady, tolong gantikan peran kakakmu ! “ ujar seorang pria paruh baya tegas kepada putri semata wayangnya.
Glady Syakura, berusia 17 tahun harus menggantikan peran kakak angkatnya yang pergi begitu saja setelah menikah dan melahirkan kedua anaknya.
“Peran kakak ? “ tanya Glady bingung yang saat itu hanya tahu jika dirinya hanya membantu kakaknya untuk mengurus Gabriella yang berusia 6 bulan dan Gabriel yang berusia 4 tahun.
***
“APA ?! KAMU INGIN BERCERAI DENGANKU DAN MENINGGALKAN KEDUA ANAK KITA ?! “ teriak seorang pria tampan menggelegar di seluruh ruangan. Saat istrinya menggugat dirinya dengan alasan yang tak masuk akal.
“KAMU AKAN MENYESAL DENGAN PERBUATANMU, PATRICIA ! “
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Video Viral
Setelah Glady dibawa pergi oleh Ganesha ke kota J, kehidupan Patricia dan kedua orang tuanya mengalami perubahan yang signifikan. Rumah yang dulu sering dipenuhi oleh suara pertengkaran kini berubah menjadi tempat yang tenang dan damai. Lediana dan Denis menikmati waktu mereka tanpa kehadiran Glady yang sering kali menimbulkan masalah. Namun, dibalik kebahagiaan ini, ada satu masalah besar yang mereka hadapi, tidak ada yang bisa mengerjakan pekerjaan rumah.
Menantu baru Lediana, yang seharusnya membantu dalam urusan rumah tangga, ternyata tidak mampu melakukan apa-apa. Dia bahkan meminta putrinya untuk meminta uang bulanan yang cukup besar, dan Patricia yang harus memberitahukan kepada Jonathan tentang hal ini. Setiap bulan, Patricia harus memastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi, meskipun hal itu cukup membebani suami baru Jonathan.
“Kita harus bicara tentang hal ini kepada suamimu, nak,” kata Lediana suatu malam saat mereka duduk di ruang tamu. “Setidaknya, dia memberikan jumlah uang yang sangat fantastis dan menyewa dua pembantu untuk membersihkan rumah ini serta memasak untuk kita”
Patricia menghela nafas panjang. “Aku tahu, Ma. Aku juga merasa kesal. Tapi kita harus bersabar dan mencari solusi agar Jonathan mau menyewa pembantu untuk kita.”
Sementara itu, Patricia dan ibunya menjalani kehidupan yang glamour, menghabiskan sejumlah uang yang dikirimkan Jonathan, suami Patricia yang baru. Uang itu digunakan untuk berbelanja barang-barang mewah, makan di restoran mahal, dan mengunjungi tempat-tempat eksklusif. Kehidupan mereka tampak bahagia dan tanpa beban, setidaknya di permukaan.
Denis, meskipun tidak sepenuhnya setuju dengan gaya hidup mereka, tidak mengatakan banyak hal. Dia lebih memilih untuk menjaga ketenangan rumah dan menghindari konflik. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini bukan solusi jangka panjang.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Lediana suatu hari. “Semuanya disini sudah lama, kita minta saja suamimu untuk membelikan rumah baru yang lebih besar,” ide Lediana yang sudah kurang menyukai rumah sederhana ini.
Patricia setuju. Dia tahu bahwa situasi ini tidak ideal, tetapi dia juga merasa terjebak dalam rumah sederhana ini. “Aku akan bicara lagi dengan Jonathan, mah. Kita harus menemukan rumah baru yang lebih mewah.”
Meski sekarang bergelimpah harta, kebahagiaan mereka tetap nomor satu. Mereka menikmati waktu bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung untuk membuat rencana. Namun, bayangan kepergian Glady selalu ada di sudut pikiran mereka, mengingatkan mereka bahwa kebahagiaan ini mungkin sementara.
*
*
*
*
Patricia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya dalam hitungan hari. Semua bermula ketika video dirinya memperlakukan salah satu ibu-ibu kompleks dengan kasar tersebar di internet. Video itu diviralkan oleh Junik, seorang seleb Jinjo yang terkenal. Patricia tidak pernah menyukai tetangganya itu, dan kini dia harus berhadapan dengan kemarahan publik.
Hari itu, Patricia memutuskan untuk menemui Junik di sebuah kafe. Dia tidak bisa membiarkan nama baiknya tercemar tanpa melakukan apa-apa. Ketika Patricia tiba, Junik sudah duduk di pojokan dengan senyum sinis di wajahnya. “Ah, akhirnya kau datang juga,” kata Junik dengan nada mengejek.
Patricia menahan amarahnya, mencoba tetap tenang. “Junik, aku tidak tahu apa masalahmu denganku, tapi memviralkan video itu adalah langkah yang sangat rendah,” katanya dengan suara tegas.
Junik mengangkat bahu. “Orang-orang perlu tahu siapa kau sebenarnya, Patricia. Kau selalu berpura-pura menjadi orang baik, tapi kenyataannya berbeda.”
“Bagaimana bisa kau merekam kejadian itu tanpa izin? Itu pelanggaran privasi!” seru Patricia dengan suara meninggi.
“Pelanggaran privasi?” Junik tertawa. “Kau pikir aku peduli? Aku hanya menunjukkan kebenaran. Kau tidak layak dihormati.”
Patricia mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan diri. “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau hanya melihat apa yang kau ingin lihat. Kau tidak tahu latar belakangnya.”
Junik mendekat, tatapannya tajam. “Oh, aku tahu lebih dari yang kau kira. Kau merasa tersudut sekarang? Merasa semua orang melawanmu? Itu yang kau rasakan?”
“Apa maumu sebenarnya, Junik?” tanya Patricia dengan suara gemetar, menahan kemarahan dan rasa kesal sekesal-kesal-kesalnya.
“Aku ingin kau merasakan apa yang orang lain rasakan karena ulahmu. Kau pikir dengan status dan uang, kau bisa melakukan apa saja?” balas Junik dengan nada penuh kebencian.
Patricia tidak bisa menahan lagi. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku! Kau tidak tahu apa yang aku lalui, apa yang aku rasakan setiap hari. Kau hanya peduli pada popularitasmu!” kata Patricia seolah dialah korbannya.
Suasana kafe menjadi tegang, beberapa pengunjung mulai memperhatikan pertengkaran mereka. Junik tidak mundur. “Mungkin benar, aku peduli pada popularitasku. Tapi setidaknya aku tidak menyakiti orang lain untuk itu. Kau, Patricia, kau tidak lebih dari seorang munafik.”
Patricia merasa air mata menggenang di matanya. Dia tidak ingin menangis di depan Junik, tapi rasa kesal dan marah itu terlalu kuat. “Kau tidak punya hak untuk menghakimiku,” bisiknya.
Junik berdiri, menatap Patricia dengan dingin. “Dan kau tidak punya hak untuk menyakiti orang lain. Ingat itu.” Dengan kata-kata terakhir itu, Junik meninggalkan kafe, meninggalkan Patricia yang terisak sendirian.
Patricia tahu bahwa ini belum berakhir. Video itu sudah terlanjur tersebar, dan namanya sudah tercemar. Tapi yang paling menyakitkan adalah kata-kata Junik yang terus terngiang di kepalanya. Patricia merasa hancur, tapi dia tahu bahwa dia harus berdiri kembali dan menghadapi semua ini, meski berat.
“Hallloooii gessss, gimana ? Seru nggak tontonan Live Junik hari ini ? “
“Junik kasih tau ya, kalau melihat wanita itu langsung pergi jangan ditegur.. nanti kalian dikambing dombakan ! “ ujar Junik yang ternyata melakukan live streaming sebelum Patricia datang.
Namun, sikap jeleknya tidak berubah. Suatu hari, seseorang bertanya tentang keberadaan Glady, dan Patricia dengan dingin dia kembali memfitnah adiknya lagi, mengatakan bahwa Glady telah melarikan diri dan meninggalkan keluarga mereka tanpa peduli, lalu merebut suami dan kedua anaknya. Kebohongan ini hanya menambah kebencian orang-orang terhadap Patricia, tetapi dia tidak peduli. Bagi Patricia, kebahagiaan dan citra dirinya adalah yang paling penting, meskipun harus mengorbankan keluarganya sendiri.
“Kalau begini, orang-orang pasti bersimpati denganku. Haha, Lihatlah, Lady ! Walaupun keluarga Gama menyukaimu tapi belum tentu orang lain membelamu. Bagaimanapun juga kau hanyalah anak malang yang sebenarnya ! “
Sementara itu di kota J, Glady tengah mengajak Gabriella mengobrol sambil memberikannya makan. Gabriel yang sedang bermain dengan kelinci daddynya segera bergabung dengan memeluk kelinci jumbo.
“Bunda, Gabli haus. Boleh minta tolong ambilkan minum bunda ? “ tanya Gabriel polos.
“Tentu, kamu tolong jagain adik sebentar ya, bi–bunda ambilkan air minumnya dulu” kata Glady yang masih kaku memanggil dirinya bunda.
Gabriel mengangguk. Glady langsung berdiri dan pergi ke dapur meninggalkan Gabriel dan Gabriella sendiri. Peninggalan Glady, kedua mata Gabriel tertuju pada bubur makanan milik adiknya, dia penasaran dengan rasa makanan adiknya hingga dia mengambil sendok dan ‘hap’
“Weeekkkkkkkkk ! Nda enaaaaaa ! Acam kali lasana…”