Maya, seorang wanita muda yang cantik dan sukses dalam karier, hidup dalam hubungan yang penuh dengan kecemburuan dan rasa curiga terhadap kekasihnya, Aldo. Sifat posesif Maya menyembunyikan rahasia gelap yang siap mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Pertengkaran Baru
Setelah mencoba memperbaiki komunikasi mereka, Maya dan Aldo kembali menghadapi masalah baru yang menguji kekuatan hubungan mereka. Kali ini, masalahnya adalah kecemburuan yang muncul karena pertemuan Maya dengan Dewi, seorang rekan kerja baru Aldo.
Pada suatu malam, Maya kembali dari kantor dengan ekspresi tidak nyaman. Dia baru saja bertemu dengan Dewi, seorang kolega Aldo yang baru bergabung dengan tim. Dewi tampaknya mengajaknya makan malam untuk berbicara tentang proyek-proyek kepada Aldo, dan Maya merasa tidak nyaman dengan perhatian yang diberikan Dewi.
“Aldo, kita perlu bicara,” kata Maya saat Aldo baru pulang kerja.
Aldo meletakkan tasnya dan melihat Maya dengan khawatir. “Apa yang terjadi? Kenapa terlihat serius?”
Maya duduk di meja makan dan menghindari tatapan Aldo. “Aku ketemu Dewi, rekan kerjamu. Dan aku merasa tidak enak karena dia terlihat sangat perhatian padaku.”
Aldo terlihat bingung. “Dewi? Dia cuma kolega, Maya. Kenapa kamu merasa tidak nyaman?”
Maya menarik napas panjang, suara sedikit bergetar. “Aku tahu itu, tapi dia terus-menerus membicarakan kamu dan seolah-olah mencoba membuat aku merasa cemburu.”
Aldo menegakkan tubuhnya, tampak frustrasi. “Maya, Dewi hanya kolega. Kamu tidak perlu cemburu.”
“Ini bukan hanya soal dia,” balas Maya, suaranya meninggi. “Ini tentang bagaimana aku merasa setiap kali ada wanita atau pria lain yang mendekati kamu. Aku merasa tidak aman.”
Aldo menahan napas, menatap Maya dengan tatapan marah. “Kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku sudah berusaha keras untuk meyakinkanmu, tapi sepertinya tidak ada yang cukup.”
“Aku berusaha, Aldo. Tapi setiap kali aku melihat kamu dengan orang lain, aku merasa seperti aku kehilanganmu,” kata Maya dengan air mata mulai mengalir.
“Aku sudah bilang kalau aku di sini untuk kamu. Kenapa kamu tidak bisa percaya?” tanya Aldo dengan nada frustrasi.
Maya berdiri dan berjalan ke ruang tamu. “Aku cuma merasa kita tidak pernah bisa mengatasi ini. Seperti ada sesuatu yang selalu menghalangi kita untuk benar-benar bahagia.”
Aldo mengikuti Maya, suaranya semakin keras. “Dan apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus berhenti bekerja atau menghindari orang-orang lain hanya untuk membuatmu merasa lebih baik?”
Maya membalikkan badan, matanya penuh air mata. “Aku tidak ingin kamu berhenti bekerja atau menghindari orang lain. Aku hanya ingin kamu memahami perasaanku dan memberi aku rasa aman.”
Aldo menghela napas panjang dan duduk di sofa. “Aku mengerti kalau kamu merasa cemburu. Tapi kita harus cari cara untuk mengatasi perasaan ini tanpa membuat hubungan kita semakin tegang.”
Maya duduk di sebelah Aldo, masih dengan mata basah. “Aku ingin berusaha, Aldo. Aku benar-benar ingin ini berhasil. Tapi aku butuh dukunganmu.”
Meskipun Aldo dan Maya telah berusaha untuk berbicara dengan tenang, ketegangan masih terasa di udara. Keduanya merasa frustrasi dan belum bisa sepenuhnya mengatasi perasaan mereka.
Maya duduk di sofa, mengusap matanya yang masih basah. “Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya untuk merasa lebih aman. Setiap kali aku lihat kamu bicara dengan wanita lain, perasaan cemburu ini muncul lagi.”
Aldo tampak lelah. “Maya, aku sudah bilang kalau Dewi itu cuma rekan kerja. Aku nggak tahu harus melakukan apa lagi supaya kamu bisa percaya. Aku merasa usaha kita sia-sia.”
Maya berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. “Aku tahu kamu berusaha, tapi aku juga butuh rasa aman yang nyata. Dan saat kamu bilang Dewi cuma rekan kerja, tapi dia tampak terlalu perhatian, itu bikin aku nggak nyaman.”
Aldo menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. “Jadi apa yang kamu mau? Aku harus menghindari semua orang yang mungkin bikin kamu cemburu?”
“Aku nggak mau kamu menjauh dari orang lain, tapi aku butuh kamu lebih peka sama perasaanku,” balas Maya dengan nada kesal. “Aku merasa seperti aku yang selalu salah kalau merasa cemburu.”
Aldo berdiri, tampak marah. “Maya, kita sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki hubungan kita, tapi kamu selalu menemukan alasan untuk merasa cemburu. Aku butuh kamu untuk juga berusaha dan bukan hanya mengandalkan aku.”
Maya membalas dengan nada tinggi. “Aku mencoba, Aldo. Tapi sepertinya semua usaha aku nggak pernah cukup buat kamu. Aku merasa kita nggak pernah bisa menemukan titik temu.”
“Kita memang belum menemukan solusi yang tepat, tapi itu bukan alasan untuk terus-menerus bertengkar. Kita harus bisa lebih dewasa dan menghadapi ini bersama,” kata Aldo, suaranya mulai pecah karena frustrasi.
Maya menatap Aldo dengan marah. “Aku hanya merasa kamu tidak mengerti betapa sulitnya bagi aku untuk merasa aman dalam hubungan ini. Setiap kali kita berdebat tentang ini, aku merasa semakin tertekan.”
Aldo memukul meja dengan keras. “Dan aku merasa tertekan karena harus terus-menerus membuktikan diri dan menghadapi kecemburuanmu. Kita harus menemukan cara untuk mengatasi ini tanpa saling menyakiti.”
Keduanya saling berdiam diri beberapa saat, berusaha menenangkan diri. Aldo meraih ponselnya dan melirik jam. “Aku butuh waktu sendiri. Aku pergi sebentar untuk menenangkan diri.”
Maya menatap Aldo dengan air mata di matanya. “Jadi, kamu mau pergi begitu saja?”
“Aku hanya perlu waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Kita akan bicarakan ini lebih lanjut nanti,” jawab Aldo dengan nada serius.
Aldo keluar rumah dengan langkah cepat, meninggalkan Maya yang masih berdiri di ruang tamu, merasa hancur dan bingung. Dia berjalan tanpa tujuan, mencoba menenangkan pikirannya sambil merenungi pertengkaran mereka.
Maya duduk di sofa, menatap kosong ke luar jendela. Air matanya mengalir deras saat dia mencoba mencerna semuanya. “Apa yang harus aku lakukan?” pikirnya. “Kenapa kita selalu berakhir seperti ini?”
Malam semakin larut, dan Maya terus terjaga, memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Aldo menghubunginya. Tidak ada pesan atau panggilan dari Aldo. Rasa cemas dan kesedihan semakin menyergapnya.
Sementara itu, Aldo berjalan di sekitar kota, menghindari pulang karena tidak ingin memperburuk suasana. Dia berhenti di sebuah taman, duduk di bangku dan merenungkan keadaan hubungan mereka. “Apakah kita akan terus seperti ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Aku hanya ingin kita bahagia, tapi kenapa semuanya terasa begitu sulit?”
Waktu berlalu, dan langit mulai terang. Matahari terbit membawa harapan baru, tetapi Maya tetap tidak tidur. Dia akhirnya memutuskan untuk mencoba menghubungi Aldo lagi. Dia mengirim pesan singkat, “Aldo, aku sangat khawatir. Mohon pulanglah.”
Aldo akhirnya merasa siap untuk pulang. Ketika dia tiba di rumah, pagi sudah mulai terang. Dia merasa lelah dan kecewa, namun juga menyadari betapa pentingnya Maya baginya.
Maya berdiri di depan pintu, matanya merah dan lelah. “Aldo, kamu akhirnya pulang.”
Aldo menghela napas panjang, merasa bersalah. “Aku minta maaf, Maya. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa khawatir.”
Maya menatapnya dengan penuh harapan. “Aku hanya ingin kita bisa menghadapi ini bersama. Aku merasa sangat kesepian tanpa kamu.”
siapa sebenarnya satria ??
siapa pendukung satria??
klo konseling dg psikolog g mempan, coba dekat diri dg Tuhan. setiap kekhawatiran muncul, mendekatlah dg sang pencipta. semoga dg begitu pikiran kalian bisa lebih tenang. terutama tuk Maya. berawal dr Maya & kini menular ke Aldo