BURUK RUPA JADI RATU TUAN KEJAM

Suster Susi segera berlari tapi sayang dia tidak bisa membuka pintu kamar mandi karena Kania menguncinya dari dalam.

"Ha........" teriak Kania dari dalam sana di ikuti suara benda berjatuhan.

"Nak tenangkan dirimu. Tolong buka pintunya."

"Suster bisa bilang tenang karena suster tidak merasakan apa yang aku rasakan. Wajahku buruk seperti hantu orang-orang pasti takut melihatku."

"Siapa bilang orang takut melihatmu, suster tidak pernah merasa takut pada pasien suster sendiri. Kania Keluarlah nak semuanya bisa kita dibicarakan baik-baik."

"Lebih baik Aku mati, tidak ada gunanya aku hidup suster."

"Jangan berkata seperti itu Kania, tuhan tidak akan memaafkan hambanya yang putus asa dan menghilangkan nyawa."

Dug.....dug....dug...

Terdengar benturan hingga beberapa kali.

"Kania jangan menyakiti dirimu nak, dokter tolong dobrak pintunya atau dia akan mati."

Teriak suster Susi pada kedua dokter yang sedari tadi hanya diam mendengarkan obrolan Kania dan suster Susi.

Kedua dokter berperawakan tinggi kurus itu mencoba mendobrak pintu kamar mandi tapi alhasil pintu kamar mandi sama sekali tidak goyah.

"Pintu ini sangat kokoh, kita tidak akan bisa membukanya. Rudy kamu cepat panggil satpam kemari." perintah dokter Andi pada teman sejawatnya.

"Lama, cepat menyingkir" tiba-tiba Abraham muncul di tengah-tengah mereka.

Keduanya segera memberi jalan pada Abraham. Abraham sedikit mundur kebelakang dan berlalu kencang.

prak.....

Pintu terbuka, tendangan keras Abraham benar-benar kuat hingga merobohkan pintu kamar mandi.

Kania masih terus memukul-mukulkan kepalanya di dinding hingga darah mulai membasahi keningnya.

"Dasar bodoh, mau mati rupanya, kalau kamu mau mati kemari biar aku pertemukan kamu dengan nenek moyangmu di neraka."

Abraham mengangkat tubuh mungil Kania dan membawanya ke jendela kaca yang berhadapan langsung dengan gedung pencakar langit.

"Sekarang bersiaplah karena aku akan melempar mu turun."

"Tuan jangan lakukan itu padanya aku mohon."

Suster Susi menangis sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Air matanya berlinang, dia tidak tega kalau Abraham benar-benar membuang Kania turun kelantai dasar rumah sakit.

"Tidak usah memohon padaku karena dia sendiri yang melakukanya."

Bentak Abraham di penuhi emosi.

Suster Susi terdiam begitu pun orang-orang yang ada di dalam ruangan itu.

Sedikit demi sedikit kaki Kania di keluarkan Abraham dari jendela.

"Bersiaplah karena ini sudah jadi keinginanmu. Dalam hitungan ketiga lepaskan peganganmu. Satu, dua tiga...."

Semua menutup mata.

"Lepaskan peganganmu kataku." kembali terdengar bentakan Abraham.

Kania malah semakin mempererat pegangannya pada jas yang dikenakan Abraham dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria kejam itu.

"Syukurlah Kania masih hidup." ucap suster Susi dalam hati.

"Mau bunuh diri tapi takut mati juga rupanya. Cepat turun atau aku benar-benar membuang mu"

Sudah tidak ada pergerakan dari Kania, dia masih diam seperti seorang bayi di gendongan ayahnya.

"Tuan, sepertinya nona Kania tertidur. Tolong tuan letakkan dia disini."

Dengan gesit suster Susi merapikan pembaringan Kania.

"Kenapa juga bayi sebesar ini tidur di gendonganku, ah benar-benar sial. Andai saja mereka tidak ada disini sudah ku letakkan dia dilantai."

Abraham mengomel dalam hati tapi tetap saja membawa tubuh Kania mendekati tempat tidur.

"Seumur-umur baru kali ini ada yang ngerjain tuan Abraham seperti ini dan dia sama sekali tidak marah. Coba kalau yang lain pasti mayatnya sudah tidak bisa di kenali lagi" ucap Medi dalam hati.

Abraham meletakkan tubuh kania diatas pembaringan. Wajah mereka hampir saja bersentuhan.

"Perempuan ini sebenarnya cantik tapi sayang sekali wajahnya rusak, entah siapa pria kurang beruntung yang akan menikahinya kelak."

"Maaf, bisakah tuan menyingkir sebentar, saya ingin membersihkan luka nona kania."

"Sial, ada apa denganku. Medi ayo kita pergi, tidak ada gunanya kita tinggal disini."

Kembali Abraham gelabatan dan segera pergi meninggalkan ruangan itu di ikuti Medi dari arah belakang.

Sepeninggalan Abraham dan sekretarisnya, dokter Andi mendekat Kania dan memeriksa kondisinya.

"Dia baik-baik saja, dia hanya butuh dukungan moril dari orang di sekitarnya agar bisa melanjutkan hidup dan menghadapi kenyataan."

"Terima kasih dok, saya akan upayakan supaya Kania bisa hidup normal seperti dulu." balas suster Susi

"Bagus kalau begitu, kamu tumpuan dan harapannya saat ini. Kalau begitu kami permisi dulu."

Kedua dokter itu meninggalkan suster Susi dan Kania yang masih tertidur pulas.

"Nak, kamu harus kuat, masa depanmu masih panjang. Jangan ikuti jejak Nadia yang menghabisi hidupnya karena memilik wajah buruk karena kecerobohan bapaknya. Aku janji akan selalu membantu melewati masa-masa sulit mu."

Suster Susi membelai lembut rambut hitam Kania.

Sementara itu Abraham dan medi sudah berada di dalam life. Life membawa mereka ke lantai puncak dimana ruangan kerja Abraham berada.

"Apa aku sudah gila. kenapa aku sampai memberikan darah, fasilitas rumah sakit serta waktuku cuma-cuma untuk si buruk rupa itu?"

Abraham terlihat gelisah di dalam life hingga Medi memberanikan diri bertanya.

"Apa yang terjadi tuan, dari tadi saya perhatikan sepertinya ada hal besar yang sedang anda pikirkan."

"Benar bukan, bayanganku saja bisa membaca pikiranku." terdengar suara Abraham samar-samar.

"Bayangan?"Tanya medi lagi.

"Iya, arwah yang sering mengikuti ku dari belakang."

"Arwah? " Medi menengok samping kiri dan kanan, ke atas lalu kebawah tapi tidak juga dia temukan apa yang dimaksudkan Abraham.

"Kenapa akhir-akhir ini tuan Abraham bersikap aneh. Mungkinkan robot sepertinya juga bisa sakit?" ucap Medi dalam hati.

"Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu mengganggap ku gila?"

Abraham mencondongkan wajahnya kearah Medi.

"Mana berani saya berpikiran seperti itu tuan." Medi sedikit menundukkan kepala.

Life berhenti dan pintu terbuka otomatis.

Abraham dan Medi keluar dari dalam life dan melanjutkan langkah menuju ruang kerja mereka.

"Apa ada acara hari ini selain mengurusi si buruk rupa itu?

"Maksud tuan, Kania?"

"Terserah itu namanya aku tidak mau tahu dan tidak akan mau tahu."

"Baik tuan. Hari ini jadwal kita kosong, besok baru ada peresmian kantor cabang kita di kota A. Jika tuan mau berangkat maka saya akan mengurus semuanya."

"Besok kita berangkat, Kemungkinan besar kita akan tinggal di sana hingga beberapa hari untuk melihat peluang bisnis yang ada di sana. Jika mendukung maka kita akan bangun anak perusahaan di sana untuk menunjang perusahaan kita disini."

"Baik tuan, kalau begitu saya permisi dulu." Medi berbalik dan melangkah keluar.

Setelah kepergian Medi, Abraham memutar kursi rodanya mengarah kearah dinding yang terbuat dari kaca.

Bangunan tinggi nan kokoh bak menembus langit tampak di hadapannya.

"Aku akan kembali ke kota itu lagi. Keluarga Vanesa pasti masih ada di sana"