NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tante Mirandani

Nayla menarik lagi tangan Hanum secara diam-diam menjauhi tempat parkir. Diajaknya anak itu ke depan melalui jalan memutar melewati lapangan basket. Hanum melihat kakak-kakak kelas yang sedang bermain di sana. Dan satu sosok anak kecil gundul berkalung melati berdiri menatapnya di sudut pagar lapangan. Hanum sangat kenal.

“Wahyu?” gumam Hanum.

Nayla sontak menoleh ke arah Hanum lalu mengikuti arah pandang gadis itu. Alis Nayla mengernyit, ia tak menemukan sosok dengan nama yang Hanum sebut. “Mana Wahyu?” tanyanya, penasaran.

Hanum tersadar. Ia buru-buru menggeleng dan menjawab, “Nggak ada, Mbak.” Memang benar dirinya tak melihat lagi sosok Wahyu di tempatnya semula. Bulu kuduk Hanum sampai meremang dibuatnya. “Mbak, kenapa di sini agak sepi, ya?” tanyanya sambil mengedar pandang. Ia biasa melihat sesosok kuntilanak muka penyok yang menggendong bayi merahnya sambil berjalan mondar-mandir di tepi lapangan basket, tapi kali ini sosok mereka tak terlihat. Lebih banyak yang berkerumun menontonnya di luar jendela kelas tadi.

“Kayaknya takut sama Pak Febri atau Pak Satpam.”

“Pak Satpam itu...” Hanum menggantung kalimatnya. “Kayaknya aku pernah lihat waktu pertama kali pindah ke kota sama Bapak. Aku lihat dia keluar dari gerbang panti asuhan.”

“Emang dia muridnya Mbak Mirandani,” sahut Nayla, “jadi pasti lagi ngurusin apa gitu, misal masih ada tugas dari Mbak Mira gitu.” Beberapa hari ini Nayla memang rajin memepet Mahesa demi mengorek informasi dari pria 29 tahun itu. Dan Mahesa yang kesal karena pekerjaannya terus diganggu, mau tak mau menuruti keingintahuan Nayla.

Sejujurnya Hanum terkaget mendengar nama Mirandani disebut. Kuduknya meremang, detak jantung tak beraturan. Nayla mengguncang lengan Hanum. “Kamu kenapa?”

Hanum menggeleng. “Sejak aku digangguin lelembut, aku sering ditemuin Tante Mirandani, Mbak,” jawabnya dengan suara lirih.

“Serius, Num?”

Hanum mengangguk lalu menarik lengan Nayla ke dekapannya. “Aku takut, Mbak, Tante Mirandani gentayangin aku mulu. Aku salah apa ya kira-kira?”

“Mungkin bukan karena kamu ada salah sama dia.” Suara Febri, yang terdengar sedikit bergetar.

Hanum dan Nayla kaget lalu menoleh ke belakang. “Pak Febri ngagetin aja, deh!” sembur Nayla. Ia baru sadar tak seharusnya membicarakan masalah khusus itu di tempat umum yang bisa saja didengar banyak orang.

“Kalian berdua, ikut saya.” Febri kemudian berjalan lebih dulu.

Nayla dan Hanum saling pandang. “Kita mau diajak ke mana?” bisik Hanum. Nayla menjawab dengan kedikan bahu. Tapi kemudian ia tarik tangan Hanum mengikuti Febri menuju tempat parkir kendaraan guru.

Febri berdiri di samping sebuah mobil sedan dan membukakan pintu penumpang. Nayla berhenti lalu bertanya, “Pak Febri mau ajak kami ke mana? Mulai hari ini latihannya?”

Febri mengangguk sebagai jawaban. Nayla tak punya pilihan selain masuk mobil lalu menarik tangan Hanum supaya mau duduk di sampingnya. “Kalian sengaja jadiin saya sopir?” sindir Febri. Nayla nyengir.

Tak lama kemudian mobil silver Febri melaju keluar gerbang. Febri melirik sebentar ke arah Mahesa yang berdiri di dekat gerbang mengatur antrean murid-murid lalu mengangguk pelan padanya saat saling bertatapan mata. Sementara itu Siska memperhatikan mobil Febri yang melaju di jalan dari dalam mobil jemputannya yang terparkir di luar gerbang.

“Pak, ikuti mobil silver itu,” perintah Siska pada sopir pribadinya.

***

Hanum diliputi rasa penasaran. Ia ingin bertanya akan diajak ke mana. Tapi tak enak pada Febri jika mendesak seperti anak kecil yang rewel. Ditolehnya Nayla yang sedang mengamati luar. “Mbak, kamu lihatin apa?” bisiknya.

Nayla menoleh. “Oh, itu... aku lagi hapalin jalan yang kita lewatin sekarang,” jawab Nayla dengan bisikan juga.

“Suara kalian kedengeran jelas,” celetuk Febri dari balik kemudi. Kemudian ia bertatapan dengan Nayla dari kaca spion tengah. “Kalian nggak usah khawatir. Latihan kita nggak berat, kok.”

Hanum bernapas lega. Ia alihkan pandangan ke arah luar. Menikmati perjalanan yang entah kapan akan sampai di tujuan. Hingga tiba-tiba Hanum melihat pohon-pohon besar di tepi jalan. Pohon beringin, pohon mahoni, diselingi pohon-pohon pinus dan jati. Perasaan Hanum tak enak. Ia segera menoleh ke arah Nayla. Ia terkejut melihat kakak kelasnya itu bersandar di pintu mobil dengan mata terpejam.

“Mbak Nayla! Kamu kenapa?” Hanum mengguncang pelan bahu Nayla tapi tak ada respons.

Buru-buru ia alihkan pandangan ke depan. “Pak Febri!” panggilnya. Tapi tak mendapat sahutan.

“Pak? Pak Febri?” panggil Hanum lagi. Detak jantungnya tak karuan, dirinya diliputi ketegangan.

Mendadak arah laju mobil sedikit menyerong dengan tajam. Rupanya mereka memasuki sebuah lapangan hijau yang terbentang luas dengan dikelilingi pohon-pohon beringin yang besar dan menjulang. Hanum makin panik. Sepenuhnya ia yakin bahwa ada yang tak beres dengan kondisi saat ini.

“Pak Febri!” jerit Hanum. “Kita mau ke mana, Pak? Ini Mbak Nayla juga kenapa?” Tangan Hanum meremas rok biru tuanya sebagai upaya menekan rasa takutnya.

Si pengemudi terus diam. Mobil terus melaju di lapangan luas itu. Lalu Hanum merasakan seolah-olah badannya baru saja menabrak dinding es. Sekujur badannya kaku, nyeri, dan menggigil kedinginan. “Mbak... Mbak Nayla...” Sekali lagi ia guncang Nayla tapi gadis itu tak kunjung membuka mata.

Hanum coba berpikir positif. Dirinya saat ini pasti sedang diuji sebagai bagian dari latihan yang harus ia jalani. Sekuatnya mengumpulkan tekad, Hanum menjulurkan tangan ke depan. Menyentuh pundak si pengemudi yang Hanum yakini bukanlah Febri.

Benar saja, sosok itu berubah wujud lalu menoleh ke belakang dan tersenyum lebar. “Hanum, Sayang.”

“AAAKKKH!”

Hanum segera menarik tangannya lagi lalu terjerembab di kursi. “T—Tante M—Mi—Mirandani?” Hanum tergagap karena saking takutnya melihat sosok asli yang berada di balik kemudi. Ia bingung dengan kondisinya saat ini, apakah masuk alam gaib atau sedang bermimpi.

Hanum terkejut saat melihat ke arah depan, mobil mereka menerjang kabut hitam. Spontan Hanum menutup mata sambil menjerit-jerit. Kemudian disadarinya bahwa sekitar mulai terang. Ia pun membuka mata secara perlahan.

Hanum terhenyak. Mendapati dirinya terduduk di ayunan. Bukan lagi di dalam mobil. Nayla pun tak ada bersamanya. Dada Hanum sesak, napasnya tersengal. “Ini mimpi. Ini mimpi. Ini mimpi,” gumamnya beberapa kali.

Air mata mulai mengalir. Ia hapal betul ayunan di belakang rumah siapa yang sedang didudukinya. Sontak ada rasa rindu tapi takut yang menguasai batinnya. “Tante…” isaknya.

Hanum coba berdiri. Meski sekujur badannya lemas dan kaki gemetaran, ia berusaha menguatkan nyali. Mengedar pandang, Hanum tersentak tatkala melihat banyak anak-anak keluar dari sepasang pintu gebyok yang terbuka lebar.

“Wahyu? Tomi? Andra?”

Semua anak yang tengah berlarian dengan tawa riang seketika berhenti. Mereka menatap Hanum dengan ekspresi rindu yang memerihkan hati. Tak buang waktu, anak-anak yang berparas indah tak mengerikan itu berhambur mendekati Hanum. Mereka memeluk Hanum bahkan mencium tangannya seperti tanda hormat. Hanum mengernyit.

“NYAI!” teriak anak-anak itu bersamaan.

“Apa? Siapa?” Hanum celingukan karena merasa anak-anak itu memanggil orang lain.

Lalu Hanum membatu saat melihat semua anak menunjuk ke arahnya. “Aku?” gumamnya.

“IYA! NYAI!”

Anak-anak yang kesemuanya laki-laki itu melompat kegirangan. Hanum kebingungan. Euforia karena bertemu kembali membuat Hanum baru tersadar bahwa mereka adalah anak-anak yang dulu telah meninggal.

“Jangan takut, Hanum.”

DEG!

Hanum menoleh ke belakang. Dilihatnya Mirandani sedang menggendong seorang bayi, duduk di ayunan bersama Wahyu. “Tante—” Hanum tercekat. Heran, bingung, kalut, karena tiba-tiba ia tak lagi merasa takut.

“Ini adik Wahyu sama Dika,” tunjuk Mirandani. “Kamu jagain Dika ya di sana,” pintanya.

Hanum menyebak. Ia sudah tahu perihal kematian ibu Wahyu dan Dika saat melahirkan di jalan malam-malam. Meninggalkan Dika menjadi yatim piatu yang diasuh panti asuhan, seperti dirinya. Tanpa sadar Hanum mengangguk mantap, memberi janji pada sebuah tanggung jawab.

“Tante?” panggil Hanum dengan suara serak dan badan gemetaran.

“Ya?”

Hanum menangis sesenggukan. Ia sungguh bingung dengan keadaan. Kenapa wanita cantik yang telah meninggal itu terus menggentayanginya tapi bersikap ramah dan penuh kasih seperti biasa.

“Kenapa Tante nemuin aku terus?”

Mirandani berdiri dari ayunan. Ia melangkah dengan anggun menghampiri Hanum. Seketika bau wangi bedak bayi menyeruak di indra penciuman gadis berambut keriting itu. Refleks dilihatnya sosok bayi di gendongan Mirandani.

“Karena aku mau kasih tahu kamu. Ini saatnya kamu terima takdirmu.”

“Takdir punya kemampuan spesial?” tanya Hanum. Ia merasa muak dengan kenyataan tersebut.

Mirandani tersenyum teduh. Tangan kanannya yang bebas terulur ke kening pucat Hanum. “Jangan sesali, jangan takuti, jangan hindari. Aku sudah milih kamu sebagai penerusku. Jadi aku mohon, jaga dirimu baik-baik, dan lanjutkan perjuanganku.”

“Perjuangan apa? Kenapa harus aku?” tukas Hanum. Dadanya tampak naik turun. Merasa kesal karena tak terima.

“Karena kamu manis.”

“Itu alasan yang nggak bisa kuterima, Tante!”

Sejenak Mirandani terdiam. Dielusnya rambut Hanum yang basah oleh keringat. Kepalanya menunduk ke samping telinga Hanum lalu berbisik, “Cuma kamu yang kupercaya. Bukan Nayla. Karena kamu punya darah yang lebih bersih dan wangi darinya.”

Sontak mata Hanum membelalak.

“Dengan menjadi penerusku, kamu bisa melihat kebenaran, bisa membuat keputusan cepat, punya kekuatan hebat, dan tidak mudah goyah oleh pengaruh apa pun.”

Hanum menatap lurus ke mata cantik Mirandani. Sejurus kemudian Mirandani mengecup lembut kening Hanum. “Kami semua yakin kamu mampu, Hanum. Dan jika kamu merasa tak sanggup lagi, carilah Danyang di rumah joglo dalam hutan Wilangan.”

Air mata Hanum mengalir deras di pipi hingga membuat penglihatannya buram. Guncangan pelan di bahu kanan dan kiri membuatnya tersentak.

“Hanum? Hanum!”

Hanum sadar telah kembali ke kenyataan setelah mendengar suara Febri dan Nayla memanggil namanya secara bersamaan.

1
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ahmad Abid
lanjut thor... bagus banget ceritanya/Drool/
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
lanjut thoor
reska jaa
bagus cerita muu thour.. di lanjut 🥳🥳
n e u l: terima kasih /Pray/ siapp /Good//Smile/
total 1 replies
Lyvia
suwu thor u/ upnya, matrehat
n e u l: sami-sami /Pray/ matur suwun juga terus mengikuti
total 1 replies
Ali B.U
apa yang terjadi sama Pak Dirman.?

lanjut
n e u l: masih misteri ya pak /Joyful/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
Ali B.U
next.
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Yulia Lia
jangan2 Siska anak yg punya panti tempat kinar yg mau di jadiin tumbal ...nah lho thor
n e u l: identitas asli Siska ntar direveal /Sneer/ ikuti terus ya kak /Joyful/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!