NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Buku kedua telah lama dibuka dengan materi-materi yang disampaikan. Lipatan-lipatan kecil di sisi terlancip kertas itu ditekan agar lurus kembali.

Sudah dua jam berlalu setelah asyik bercengkrama sebelum bel masuk dan sekarang telah dimulai kembali untuk melanjutkan pelajaran seterusnya.

Materi kelas delapan yang dibawa oleh pelajaran pengetahuan sosial, mengajak para pendengar untuk mengenal lebih luas tentang dunia dan wilayah-wilayah yang dijelaskan.

Tebalnya buku memberi dampak akan rasa kantuk Gita yang tidak bisa dihilangkan. Semakin siang, pelajaran itu bertambah berat. Cerita tentang sejarah, kehidupan manusia, negara, apa saja yang berkaitan dengan dunia ini.

Gita mengangguk kepala, selama wajahnya menaruh berat kepada telapak tangan yang dibuka.

Tangannya belum digerakkan walaupun buku tulis itu telah dibuka lebar, menunggu sang pemilik agar segera menuliskan kata-katanya.

Salma yang menoleh karena mencari keberadaan penghapus huruf, menggoyangkan tangan kepada temannya. "Git, jangan tidur disini," bisik Salma, menunggu temannya membuka mata.

"Ya," kesadaran Gita melihat temannya, menggoyahkan rasa kantuk menjadi hilang. "Sudah bangun ini."

Salma menggeleng yang sepertinya sudah lelah menghadapi anak yang selalu tertidur dikala duduk maupun pada masa belajar bersama.

Gita menggambarkan suasana kesal dengan memungut cemberut. Menggosok mata untuk menyatukan pandangan yang sempat samar.

Di dalam suasana ini, Gita tidak begitu selera mempelajari pelajaran yang dibawa oleh para pengajar.

Mengapa ia harus belajar keras hingga otaknya pusing memikirkan, mengapa materi-materi yang diajarkan rasanya tidak efektif dilakukan, terlebih setelah memandang teman-temannya dalam satu ruangan yang memangku wajah karena rasa bosan, menggambar gambaran tak jelas di bagian belakang buku, belajar materi yang dipaksakan padahal mereka tidak menyukai, menyenderkan kepala sengaja, hanya untuk melihat langit-langit ruangan karena ingin menjernihkan pikiran dari kalutnya tulisan-tulisan abstrak yang ditulis oleh guru itu, dan masih banyak hal lagi.

Gita hanya merenung nasib guru pengajar.

Sepertinya sudah berjalan cukup lama semenjak pelajaran itu dimulai awal karena bel istirahat telah memasuki waktu.

Berbondong-bondong menuju luar ruangan, Gita memandang jendela yang dibuka. Panas merebak hingga masuk mencari udara. Dampaknya, kelas delapan B harus merasakan gerahnya panas, mandi berkeringat.

Salma menatapku setelah selesai merapikan buku miliknya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

Sebelum Salma membuka mulut, Gita telah melihat tingkahnya. Mengawasi, mencurigai, memberi target kepada Gita.

"Aku sudah capek melihatmu seperti ini, Git. Rasanya tidak ada perubahan yang tercantum sedikit saja di dirimu. Entahlah...entahlah sampai kapan, apa yang harus aku lakukan lagi agar kamu sadar dengan pendidikan ini, Git."

"Maksudmu? Kata-kata merepotkan untuk dipahami, Sal. Katakan sederhana saja. Apa penjelasanmu tadi."

Salma tidak menjawab, mengangkat tangan dan berdiri berjalan sendiri. Diam, tidak ingin diajak berbicara lagi.

"Ada apa dengannya? Aku mengganggunya, ya? Tapi itu tidak mungkin. Tapi apa?"

Gita bergumam memikirkan pertanyaan yang ditahan lama di pikirannya. Tidak peduli seberapa sepi maupun lama kelas ini dihuni oleh anak-anak sekolah.

Sejenak, Gita harus berhenti mencari cara dikarenakan Bian mendatangi meja Gita. "Sedang ada masalah dengan Salma, Git?"

Gigitan bibir Gita harus ditahan ketika bocah laki-laki tinggi datang menghampiri.

"Sudah dibilang, jangan datang lagi ke meja ini. Kau masih saja menyempatkan diri untuk menunggu. Pikirkan saja kedua bocah yang selalu bersama denganmu."

Lalu Gita melihat apa yang terjadi. Bian duduk disampingnya tanpa ada yang menemani. "Dimana dua bocah itu?"

"Mereka? Anak-anak sedang istirahat diluar. Kubiarkan agar mereka bermain bebas."

"Sudah pasti Kael dan Azka akan bertindak itu. Karena pemimpin mereka tidak pernah memperhatikan anggotanya. Mereka stress tidak diperhatikan," sungut Gita menjawab yang terjadi.

Gita tersenyum lega, akhirnya perempuan itu dapat menyiksa anak laki-laki dengan kata-katanya.

Kembali ke kegiatan Gita yang menggambar coretan panjang dan liar, Bian mengamati para penghuni ruangan kelas.

Pintu kelas menjadi target utama dalam pengawasan.

"Tidak mau mengecek Salma, temanmu? Setidaknya dia ada yang menemani mengobrol. Aku tau dia anak pemalu, tapi kau yang berbeda sifat, bisa meringankan beban pemurung nya. Memperbaiki hubungan pertemanan. "

"Hei, mengapa kau selalu turun tangan dengan kehidupanku. Kau ada dua temanmu yang harus diurus. Aku bisa mengatasi sendiri."

Anggukan itu dimengerti. Bian paham keputusan yang diambil Gita. Sudah cukup anak laki-laki itu untuk selalu mengerti kehidupan orang lain. Khususnya perempuan yang dekat dengannya.

Datar. Tidak ada suara tambahan untuk membantu masalah Gita, bahwa semua ini sudah selesai.

Bian beranjak bangun, lekas pergi menuju permainan basket yang selalu diadakan setiap pagi, siang, maupun setelah pelajaran selesai dimana orang-orang telah memungut buku mereka, membawa tas di punggungnya, dan berjalan menuju rumah masing-masing.

Ya, rumah sebagai tempat singgah sementara, untuk dipakai kepada setiap penghuni yang selalu berangkat-pulang, setiap hari.

Gita tampak melanjutkan menengok arah terluar dari jendela yang selalu dipakai untuk melamun.

Tempat itulah sebagai pelampiasan akan rasa kecewa, marah, sedih, bahagia. Tanah persawahan berlumpur, bagian perbukitan tinggi yang mengelilingi, serta burung-burung terbang, memberikan rasa bebas, damai.

Sudah lama Gita merasakan ini. Bahagian jika dia berhasil menemukan lokasi yang pas. Namun tidak dengan perut keroncongan yang selalu bergetar meminta diisikan.

Tidak ada hal bagus juga, jika memandang pemandangan harus bercampur dengan menu-menu makanan yang selalu dipikirkan seperti waktu pelajaran.

Rasanya tidak bisa dihilangkan, tidak bisa nyaman dan ada yang kurang saja.

Gita mengangguk, memutuskan bahwa dia akan berjalan menuju kantin. Tempat paling berharga, istimewa jika anak itu berada di sekolah.

Harta karun terbesar makanan, menurutnya adalah makanan yang digoreng tepung, disajikan panas, hangat. Dimakan bersama cabe hijau, atau celupan sambal.

Seharusnya waktu yang dimiliki untuk sampai ke Kantin, masih cukup. Berlari cepat adalah kunci agar dia tidak menyesal dua kali seperti sebelumnya.

"Permisi, permisi," Teriakan Gita mengejutkan para murid yang berlalu lalang di depan dirinya selama berlari di dalam lorong.

Menahan napas karena terkejut selalu ditunjukkan ke orang-orang yang melihatnya berlari.

Bagian depan sekolah telah dilewati cukup lelah. Membuang keringat dengan punggung tangannya, Gita membungkuk untuk memegang kedua lututnya.

Setelah semua gerakan itu terselesaikan, anak perempuan berjalan menyusuri deretan kantin, dengan para penghuni yang tidak begitu banyak. Namun tetap berisikan anak-anak yang berkerumun, berjalan cepat.

Salma menjadi arahan baru setelah senggolan cepat, membuatnya harus merelakan jajanan bertusuk dipertemukan dengan tanah kotor.

"Lihat mata, makanya." Emosi pada anak baru dikeluarkan kepada perempuan yang mengais bungkusan plastik tadi.

Anak perempuan itu mendengarkan, menelan rasa sakit hati karena jajanan itu baru saja dibelinya.

Gita mencoba mencari pandangan tentang keributan yang terdengar, setelah penglihatannya selalu ditutupi oleh anak-anak lain di depan dirinya.

Sampai Gita mengetahui wujud seseorang yang terjatuh, perlahan-lahan.

"Salma?"

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!