Disarankan baca "Dear, my first love" dulu ya🙃
"Kalo jalan yang bener, pake mata dedek."
Tangan Shawn setia berada di pinggang Zuya agar gadis itu tidak terjatuh dari tangga. Dan lagi-lagi gadis itu menatapnya penuh permusuhan seperti dulu.
Pertemuan secara kebetulan di tangga hari itu menjadi awal hubungan permusuhan yang manis dan lucu antara Shawn dan Zuya, juga awal dari kisah cinta mereka yang gemas namun penuh lika-liku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11 - Karena om jelek
"Kamu sendiri kenapa di sini?"
Shawn balas bertanya. Dia tahu Zuya adalah putri bungsu yang paling di sayangi di keluarga Jewis. Keluarga itu sangat terkenal di kalangan pebisnis. Bahkan jauh sebelum Shawn tahu Aerin menikahi putra sulung keluarga tersebut, laki-laki itu sudah pernah mendengar tentang keluarga itu. Salah satu keluarga yang memiliki kekuasaan di dunia medis. Mr. Jewis, ayah Zuya adalah laki-laki yang sudah di akui sepak terjangnya dalam membangun bisnis di dunia medis.
Orangtua Shawn beberapa kali ingin dia menjalin kerjasama dengan keluarga Jewis. Namun laki-laki itu belum ada kepikiran sampai ke sana. Apalagi sekarang dia ingin bersantai dulu sekalian mengisi waktu dengan mengajar sebagai dosen. Shawn ingin rehat sejenak dari dunia bisnis yang sudah menguras habis tenaganya selama enam tahun terakhir ini.
Bukan berarti Shawn akan berhenti selamanya, ia hanya ingin istirahat, mungkin satu sampai dua tahun, sambil melakukan apa yang dia inginkan. Setelah itu barulah ia kembali mengambil alih perusahaan keluarga mereka yang sekarang sudah berkembang sangat pesat. Ada Adam yang membantunya. Kemampuan bisnis laki-laki itu tidak perlu diragukan lagi, jadi Shawn tenang-tenang saja perusahaan di kelola sementara oleh Adam. Lagian mereka pun masih ada hubungan keluarga. Masih sepupuan.
Balik ke Zuya.
Apakah gadis ini telah menempati apartemen yang kosong di depan apartemennya?
Harusnya dengan cara keluarga gadis itu yang amat sangat memperhatikan dan memanjakan dia, mereka tidak akan mengijinkan bocah ini tinggal di luar seorang sendiri. Tapi entahlah. Bagi Shawn sendiri, ia justru merasa senang kalau yang tinggal di seberangnya adalah gadis ini. Dedek gemasnya.
Shawn tertawa dalam hati. Ia dan gadis itu berdiri berhadap-hadapan. Tangan Zuya memeluk dadanya sambil mendongak ke atas. Tinggi badannya memang terbilang tidak pendek untuk ukuran perempuan, 161 cm. Namun kalau dibandingkan dengan Shawn, gadis itu terlihat mungil.
Pas sekali. Shawn tidak suka gadis yang terlalu tinggi. Jadi yang seperti Zuya ini pas sekali buat dia. Lucu, imut kalau kalau lagi kesal, dan ... Eh?
Apa-apaan kau Shawn? Berhenti memikirkan yang tidak-tidak. Dia masih anak kecil.
Shawn menggeleng-geleng kepala menyadarkan dirinya sendiri.
"Denger baik-baik ya om," Zuya mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi.
"Yang lebih dulu bertanya itu aku tadi. Kok malah om yang nanya balik? Lagian nggak ada urusannya juga sama om kalau aku di sini. Emangnya om siapa, yee." cetus Zuya jutek. Menatap Shawn dengan mata besarnya. Bola matanya jernih bak mata boneka.
Bagaimana Shawn tidak tertarik coba. Lelaki itu menundukkan kepala. Menyamakan tinggi badannya dengan Zuya lalu memegang kepalanya.
"Memangnya salah aku tanya balik?" ia menatap ke dalam mata Zuya.
"Ya iyalah salah!" langsung di balas oleh gadis itu. Mata bulat yang membesar tersebut membuat Shawn terkekeh.
"Kamu adalah mahasiswiku, ingat itu." kata kemudian.
Zuya mencebik.
"Nggak peduli. Om emang dosen kalo dikampus. Tapi lihat baik-baik, ini bukan kampus. Profesional dong om, bedain mana kampus sama apartemen. Kita nggak ada hubungan apa-apa di luar kampus, hmph!"
Tingkah konyol Zuya lagi-lagi menambah rasa gemas Shawn.
"Kamu tinggal di seberang apartemenku?" tangan laki-laki itu masih setia berada di kepala Zuya. Posisinya masih sama, setengah membungkuk di depan Zuya.
"Ih, om siapanya aku? Kok nanya-nanya? Aku nggak bakal kasih ta ... Ahh!"
Zhawn tiba-tiba mendorong tubuh Zuya ke dinding. Tangan gadis itu ia angkat tinggi-tinggi ke atas kepala dan menggenggamnya kuat dengan sebelah tangannya, tapi tidak sampai menyakiti Zuya atau membuat gadis itu kesakitan. Shawn tahu caranya.
Zuya kaget. Jelas dong kaget. Posisi ini mengingatkan dia ketika keduanya sedang beradu mulut di dalam toilet pria waktu itu. Ketika ia mau bersembunyi tapi ketahuan.
"Rupanya kamu sangat susah diatur dedek kecil." gumam Shawn di depan wajah Zuya. Dia paling suka posisi seperti ini. Mengunci seorang gadis mungil dengan tubuhnya. Namun gadis mungil itu harus Zuya. Kalau perempuan lain, jangan harap. Shawn malah ilfeel.
"Mi ... Minggir," Zuya berusaha melepaskan diri, namun lagi-lagi ia merutuki tenaganya yang lemah sekali, tidak bisa dibandingkan dengan laki-laki yang mengungkungnya ini.
"Katakan, kenapa kau terus memusuhiku? Memangnya apa yang telah aku lakukan padamu?" Shawn tidak mendengarkan perkataan Zuya. Ia justru makin menekan gadis itu ke dinding dan bertanya.
Mereka saling bertukar pandang lama. Zuya tidak tahu mau jawab apa. Yang pasti ia ingat pertama kali ia bertemu Shawn, ia melihat laki-laki itu yang terus dekat-dekat dengan kak Aerin. Waktu itu ia pikir laki-laki macam Shawn ini akan merusak hubungan antara abangnya dan kak Aerin, makanya dia tidak suka. Dari situlah awal mula dia memusuhi laki-laki ini, sampai sekarang bawaannya jutek terus kalau melihat Shawn.
"Lep ... ass," gadis itu kembali mencoba melepaskan dirinya lagi. Karena pria itu menahan kedua tangannya di atas kepala, ia jadi kesulitan menggigitnya.
"Jawab dulu pertanyaanku tadi." gumam Shawn. Ia tidak mempedulikan keadaan sekitar. Tidak peduli sekalipun ada orang yang tiba-tiba muncul ke lantai itu.
Total unit apartemen di lantai ini ada empat. Jadi masih ada dua apartemen lainnya yang memiliki penghuni. Shawn pernah berpapasan dengan mereka beberapa kali. Yang satunya pasangan suami istri, satunya lagi seorang laki-laki seumuran Shawn atau lebih tua satu atau dua tahun.
"Karena om jelek!" sahut Zuya. Tidak tahu mau jawab apa, ya jawab itu saja.
Shawn mengernyitkan dahi. Menarik. Gadis ini orang pertama yang bilang dia jelek, di saat semua orang memuja-muja ketampanannya seperti orang gila.
"Kau yakin wajahku jelek seperti katamu?"
"Yakin dong. Kenapa, om nggak terima?" tantang Zuya.
"Kalau kamu yang bilang, tidak apa-apa. Asal jangan bilang aku mirip simpanse saja."
Si om nggak kepancing emosi? Kok aku yang jadi kesal ya?
"Aduh om, lepasin dong. Kok beginiin aku sih? Pegel tahu nggak!" katanya dengan mode merengek karena mulai kesal. Shawn mengulum senyum.
"Belum diapa-apain saja sudah pegal, bagaimana kalau di apa-apain." mulut pria itu mulai berani nakal. Habisnya semenyenangkan itu menggoda Zuya. Sampai Shawn tidak sadar mereka berdua sudah beradu mulut di tempat ini hampir setengah jam, dengan gaya seperti itu.
"Om mau apa-apain aku? Mau mukul aku? Jangan coba-coba ya. Aku ini putri kesayangan di rumah. Dan abang aku jago berkelahi. Kalo om pukul aku karena dendam, om gak akan lolos dari ..."
Ting,
Suara bunyi lift terbuka. Kedengaran dari tempat mereka. Ada pasangan suami istri keluar dari dalam lift tersebut namun belum keliatan. Dan pada saat Shawn lengah, kesempatan itu Zuya pakai menendang kejantanan pria itu kuat-kuat dengan lututnya.
"Argh!"
Shawn berteriak kesakitan. Cekalan di tangan Zuya terlepas. Wajahnya memerah, tangannya memegangi harta paling berharga miliknya seraya menatap Zuya kesal.
"Rasain, wleee ..." ledek Zuya memeletkan lidahnya ke Shawn dan berlari cepat masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Shawn yang masih menahan sakit.