Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11 : Belum Mengetahui Kebenaran
Sebelum dipaksa keluar dari rumah, ibu Retno terlebih dulu disidang. Ibu Retno hanya dibolehkan membawa pakaian. Apalagi dari pengakuannya maupun Prasetyo, hubungan keduanya terjalin sudah ada dua tahunan. Kenyataan tersebut pula yang membuat mas Abdul maupun sang pengacara marah besar. Karena dengan kata lain, ibu Retno dan Prasetyo sudah menjalin hubungan ketika alm. papanya mas Abdul belum meninggal.
“Mungkin ini karma buat bapak. Karena sepertinya, bapak juga menyaksikan hubungan kedua manusia bej.ad ini. Lagian apa sih yang bapak cari? Dikasih istri setia nan solehah, malah milih yang kayak mbak Retno. Katanya paham agama. Lah kok masa sampai kena guna-guna!” pikir mas Abdul.
Mas Abdul memboyong ibu Retno dan Prasetyo ke kontrakan Prasetyo. Mas Abdul yang menyetir mobil, sementara sang pengacara, duduk di sebelahnya. Sisanya, para aparat desa saling berboncengan menggunakan motor.
Suasana kontrakan Prasetyo terbilang masih ramai. Suara televisi disetel dengan volume keras.
“Enggak apa-apalah, digrebek dan dinikahkan dengan ibu Retno. Dengan kata lain, hidupku bakalan enak,” batin Prasetyo yang tidak tahu, bahwa ibu Retno akan kehilangan semua harta warisannya andai wanita itu terbukti memiliki hubungan dengan pria lain selain alm. bosnya.
Prasetyo mengetuk pintu kontrakannya. “Assalamualaikum. Bu, aku pulang!” ucapnya sengaja berseru karena dari dalam kontrakan, keadaan benar-benar berisik.
“Benar-benar kurang aj.ar si Abdul. Bisa-bisanya dia menjeba.kku dan membuatku mendadak jatuh mis.kin seperti ini!” batin ibu Retno masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kini, ia telah kehilangan semua warisannya.
Bersamaan dengan dibuka pintu kontrakan, aroma tidak sedap langsung menyapa indera penciu.man mereka. Mas Abdul refleks mual-mual, termasuk juga dengan ibu Retno.
“Kontrakan kamu banyak penghuninya, tapi urusan kebersihan enggak ada yang peduli? Pantas lah istri kamu minta cerai terus! Keluargamu cuma bisa makan sama minta diurusin!” komentar ibu Retno benar-benar pedas.
Ibu Surmi yang masih ada di depan pintu, langsung tersinggung dengan ucapan ibu Retno. Termasuk itu ketika ibu Retno dengan tegas menolak masuk kontrakan dan dikata wanita itu terlalu joro.k. Ibu Surmi berakhir marah-marah. Barulah setelah Prasetyo menjelaskan bahwa wanita yang marah-marah merupakan ibu Retno, ibu Surmi tak lagi emosi.
Bangga dan senang, itulah yang ibu Surmi rasakan ketika sang putra menjelaskan alasan rombongan mereka datang. Tak peduli, alasan Prasetyo dan ibu Retno dinikahkan karena keduanya digerebek. Bagi ibu Surmi, menikahi bos sendiri dan ia ketahui kaya raya, merupakan sebuah prestasi.
“Bagus, Pras! Kamu beneran sudah mengangkat derajat keluarga!” ucap ibu Surmi.
“Ceraikan saja si Dewi jika dia tetap tidak mengizinkanmu menikah lagi, Pras! Memangnya ada, pria waras yang mau menikahi wanita benalu seperti dia?!” lanjut ibu Surmi.
Namun khusus hubungannya dengan Dewi, Prasetyo tidak ada niatan untuk menceritakannya.
“Ya sudah Bu, ... yang penting sekarang aku nikah dulu dengan ibu Retno. Ada tidaknya restu dari Dewi, aku enggak peduli. Toh, Dewi sudah enggak mau diajak kompromi buat urusin keluarga kita lagi!” ucap Prasetyo masih kecewa bahkan sakit hati dengan balasan Dewi.
Padahal ketimbang apa yang Dewi lakukan kepada Prasetyo, pengkhianatan yang Prasetyo lakukan kepada Dewi selama dua tahun terakhir, juga pengabdian Dewi selama lima tahun menjadi istri Prasetyo, tidak ada apa-apanya.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Kamu memang harus cerdas memilih wanita. Kalau bisa, ceraikan saja si Dewi. Toh kamu sudah dapat yang lebih kaya!” ucap ibu Surmi.
Obrolan empat mata antara Prasetyo dan ibu Surmi usai. Keduanya berangsur keluar dari kamar Prasetyo yang sudah sangat berantakan dan ditempati para keponakan Prasetyo. Prasetyo sendiri merasa risi pada kenyataan tersebut. Karenanya, ia sengaja meminta sang ibu untuk membereskan keadaan di kamarnya. Meski yang ada, ibu Retno menolak tinggal di kontrakan yang sama dengan Prasetyo.
“Cukup si Dewi saja yang kamu jadikan buda.k keluargamu. Tidak dengan aku!” ucap ibu Retno.
Apa yang ibu Retno katakan barusan membuat mas Abdul mulai menarik kesimpulan. Bahwa selama ini, Prasetyo tidak pernah memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan baik.
“Terlepas dari persyaratan pernikahan kalian, ... ini, kamu beberan enggak mau izin dulu ke istrimu? Kamu punya istri yang menang baru melahirkan, kan?” tegas mas Abdul.
“Enggak perlu! Sudah, ... langsung nikahkan saja kami!” tegas Prasetyo. Tak peduli, meski dari segi fisik sekaligus kecantikan, ibu Retno tidak ada apa-apanya dari Dewi. Yang penting ibu Retno jauh lebih kaya!
“Tapi aku tetap enggak mau tinggal di kontrakan yang sana dengan keluargamu! Kalau sudah menikah, sudah beda urusan dong. Biarkan adik termasuk kakak-kakakmu mikir sendiri gimana lanjutin hidup. Ingat, Pras! Tanggung jawab dan menggobl.okkan diri itu beda!” tegas ibu Retno.
“Nih orang kok ribut tempat tinggal terus, sih? Ngapain juga dia ributin tempat tinggal, kalau dia saja, kaya raya?” pikir ibu Surmi.
Tak beda dengan sang ibu, Prasetyo juga jadi bertanya-tanya. Kenapa ibu Retno jadi heboh meributkan tempat tinggal, jika rumah ibu Retno saja bisa menampung puluhan keluarga?
“Memangnya pas tadi ibu Retno disidang dan aku enggak boleh ikut, memangnya mereka bahas apa saja?” pikir Prasetyo.
“Enggak apa-apa, meski kesannya tidak adil buat istri dan anak-anaknya, pernikahan Prasetyo dan mbak Retno justru menjadi awal mula kebahagiaan istri dan anak-anaknya!” pikir mas Abdul.
Tak lama kemudian, pernikahan Prasetyo dan ibu Retno digelar di teras kontrakan. Keramaian yang tercipta mengusik para tetangga dan membuat mereka menyaksikan pernikahan tersebut. Semuanya kompak mengecam. Terlebih mereka tahu pengorbanan Dewi selama ini. Fatalnya terakhir saat Dewi akhirnya lahiran, dan malah ditinggal di puskesmas begitu saja oleh Prasetyo.
“Punya istri satu saja dijadikan tulang punggung. Eh ternyata selama ini diselingkuhi. Masa iya, setelah ini Dewi juga harus menghidupi madunya? Kalau aku yang jadi Dewi sih, mending cerai. Mau nuntut pun, kayaknya enggak bakalan cair. Wong kasih makan keluarga saja, Dewi yang kasih,” komentar salah satu ibu-ibu di sebelah kontrakan ibu Surmi. Ia pergi masuk ke kontrakan dengan gaya yang begitu malas.
Ibu Surmi langsung tidak bisa berkomentar, tapi ia mencoba fokus pada menantu barunya.
“Enggak! Aku enggak mau tinggal di kontrakan bau jo.rok begitu!” jawab ibu Retno langsung menolak tegas ajakan ibu Surmi.
Ibu Surmi langsung diam. Ia tak berani membalas ibu Retno lantaran ia paham, wanita itu bos Prasetyo. Andai yang bilang begitu Dewi, sudah ia tabo.k bahkan pukul.i sampai mati.
“Prasetyo dan keluarganya belum tahu kalau sekarang, mbak Retno enggak punya apa-apa?” pikir mas Abdul tak berniat memberi tahu. “Biar jadi kejutan buat mereka sih. Apalagi bukannya malu, mereka malah terkesan bangga hanya karena anaknya dapat janda kaya!” batin mas Abdul memutuskan pergi dari sana.
Satu hal yang baru Prasetyo sadari setelah kepergian rombongan mas Abdul. Satu gepok uang seratus ribu pemberian ibu Retno, tertinggal di mobil yang mas Abdul bawa.
“Duh, kok aku bisa kecolongan ya? Kalau sampai diambil mereka, bahaya. Coba besok aku cek lagi. Eh, lagian memangnya ini aku sama ibu Retno, ... kenapa kami enggak tinggal di rumah ibu Retno saja?” pikir Prasetyo.
***