NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:883
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 2: Turun Kasta

​"Oalah, ini beneran Maya? Keponakanku yang katanya jadi bos besar di Jakarta itu?"

​Suara cempreng yang sangat Maya kenal itu memecah kesunyian malam di depan gerbang rumahnya. 

Tante Rosa. Saudara jauh ibunya, yang merupakan orang terakhir yang ingin dilihat Maya di kampung ini.

“Ini beneran Maya? Kok kuyu banget kayak kerupuk kecemplung sayur lodeh.”

Maya yang baru saja turun dari ojek dengan mata merah dan koper butut, tersentak. Dia melihat Tante Rosa berdiri di sana, berkacak pinggang sambil memamerkan gelang emas yang berjejer sampai ke siku. 

​"Iya, Tante. Ini Maya," jawab Maya pendek. Dia mencoba menarik kopernya yang rodanya agak macet di jalanan aspal kampung yang berlubang.

​Tante Rosa mendekat, matanya memindai penampilan Maya dari atas sampai bawah dengan tatapan merendahkan. "Ngapain pulang? Kok dandanannya kucel begini? Mana mobilnya? Katanya mau pulang bawa mobil baru buat pamer ke orang sekampung? Kok malah naik ojek butut?"

​"Maya lagi pengen pulang aja, Tante. Kangen Ibu," Maya berusaha tetap sopan meskipun dadanya sesak. Bau debu jalanan dan aroma tanah basah khas Desa Sukamaju biasanya menenangkan, tapi malam ini terasa mencekik.

​"Halah, alasan! Paling juga kena pecat, kan? Atau ditinggal pacarmu yang ganteng itu? Tante sudah bilang, jadi perempuan itu nggak usah ketinggian mimpinya. Ujung-ujungnya paling balik ke dapur juga. Lihat nih," Tante Rosa mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, membuat gelang-gelang emasnya beradu dan menimbulkan bunyi gemerincing yang berisik. 

"Suami Tante baru dapet proyekan di kota sebelah. Langsung dibeliin ini. Nggak perlu kerja lembur sampai muka keriput kayak kamu,” sambung Tante Rosa.

​Beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk di pos ronda mulai menoleh. Bisikan-bisikan halus mulai terdengar. Di kampung ini, berita kegagalan seseorang adalah hiburan yang lebih seru daripada sinetron televisi.

​"Eh, Jeng Rosa, itu si Maya yang kerja di Jakarta ya? Kok pulangnya malem-malem bawa koper?" teriak Bu RT dari seberang jalan.

​"Iya Jeng! Kayaknya sih jadi pengangguran sekarang. Makanya, jangan sombong jadi orang kota, pulangnya tetep aja numpang makan sama orang tua!" sahut Tante Rosa dengan suara yang sengaja dikencangkan.

​Maya mengepalkan tangannya di pegangan koper. "Tante, Maya capek. Boleh Maya masuk ke rumah sekarang?"

​"Masuk aja sana! Paling juga ibumu lagi pusing mikirin utang. Lagian kamu itu gimana sih, katanya manajer, tapi masa kiriman uang buat Ibu aja sering telat? Jangan-jangan uangnya habis buat gaya hidup di sana ya?" Tante Rosa terus menyerang tanpa ampun.

​"Maya selalu kirim uang buat Ibu tepat waktu , Tante!"

​"Kirim berapa? Seribu dua ribu? Buktinya ‘Warung Bu Sum’ milik ibumu makin reyot begitu. Kalau sukses itu kayak Tante, bisa renovasi rumah, pakai emas sampai berat. Bukan pulang bawa koper isi baju bekas doang," Tante Rosa tertawa puas, lalu berjalan pergi dengan gaya yang dibuat-buat, membiarkan Maya berdiri sendirian di bawah lampu jalan yang remang-remang.

​Maya menarik nafas panjang, mencoba membuang sisa amarahnya. Dia menatap rumahnya. Bangunan tua itu terlihat lebih rapuh dari terakhir kali dia melihatnya. Papan nama "Warung Bu Sum" yang dulu gagah, kini miring dan warnanya sudah pudar dimakan cuaca.

​Dia melangkah masuk tanpa mengetuk pintu. Pintu depan memang tidak pernah dikunci kalau Ibu belum tidur.

Suasana di dalam sunyi, hanya ada suara televisi tua yang mengeluarkan bunyi kresek-kresek.

​"Ibu?" panggil Maya pelan.

​Tidak ada jawaban. Maya berjalan menuju dapur, mengikuti arah cahaya lampu kuning yang temaram. Semakin dekat ke dapur, bau minyak goreng yang dipanaskan berkali-kali menusuk hidungnya. Bau tengik yang tajam.

​Di sana, di depan kompor gas satu tungku, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang sudah banyak memutih sedang berdiri membelakanginya. Bahunya tampak bergetar.

​"Ibu, Maya pulang," suara Maya tercekat di kerongkongan.

​Ibu tersentak hebat. Beliau langsung berbalik, wajahnya pucat pasi. Tangannya yang memegang sodet gemetar. "Maya? Kok... kok nggak bilang kalau mau pulang, Nak?"

​"Kejutan buat Ibu," Maya mencoba tersenyum, meski hatinya hancur melihat wajah ibunya yang tampak jauh lebih tua dan kurus.

​Maya mendekati kompor. Di atas wajan, ada tiga potong tempe yang sedang digoreng. Minyaknya benar-benar hitam, seperti oli bekas. "Ibu kok goreng tempe pakai minyak hitam begini? Ini nggak sehat, Bu. Mana minyak yang baru?"

​"Eh, ini... ini masih bisa dipakai kok, Nak. Sayang kalau dibuang, harganya lagi mahal," sahut Ibu terbata-bata. Beliau tampak sangat gelisah dan terus meraba-raba celemeknya yang kusam.

​Maya melihat ada sesuatu yang menonjol di balik celemek ibunya. Sebuah kertas berwarna merah muda yang terlihat mencolok. "Itu apa di balik celemek Ibu?"

​"Bukan apa-apa, Maya. Cuma catatan belanjaan," Ibu mencoba mengelak dan mundur selangkah.

​"Ibu nggak jago bohong sama Maya. Sini, Maya lihat," Maya bergerak cepat, meraih kertas itu sebelum ibunya sempat menghindar.

​Tangan Maya gemetar saat membaca tulisan di kertas itu. Bukan catatan belanjaan.

 Itu adalah surat peringatan terakhir dari sebuah lembaga keuangan bernama Mitra Dana Desa. Isinya lugas dan dingin: Jika tunggakan selama enam bulan tidak segera dilunasi dalam waktu tiga hari, maka aset berupa tanah dan bangunan rumah beserta warung tersebut akan disita.

​"Ibu... ini maksudnya apa? Kenapa utangnya bisa sebanyak ini?" suara Maya meninggi karena panik.

​Ibu langsung menunduk, air matanya jatuh menetes ke lantai dapur yang lembab. "Maafin Ibu, Maya. Ibu ditipu sama Pak Broto yang katanya mau jadi penyalur bahan katering. Uang tabungan yang kamu kirim tiap bulan Ibu kasih ke dia buat modal, tapi dia malah kabur. Ibu terpaksa pinjam ke bank buat nutupin operasional warung, tapi warungnya makin sepi..."

​"Kenapa Ibu nggak cerita sama Maya?"

​"Ibu nggak mau bebani kamu, Nak. Kamu di Jakarta sudah kerja keras, Ibu nggak mau kamu kepikiran," tangis Ibu pecah. Beliau terduduk di kursi kayu tua di pojok dapur.

​Maya menatap surat sita itu, lalu menatap minyak hitam di wajan, dan terakhir menatap koper satu-satunya yang dia bawa dari Jakarta. Dia baru saja dipecat, tidak punya pesangon karena tuduhan penggelapan dana, dan sekarang rumah satu-satunya yang mereka miliki terancam hilang.

​"Jadi... kita benar-benar nggak punya apa-apa lagi, Bu?" bisik Maya lirih.

​Ibu hanya bisa terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Maafin Ibu, Maya... Maafin Ibu."

​Di tengah tangisan ibunya, dari luar terdengar suara Tante Rosa yang masih asyik berteriak-teriak ngobrol dengan tetangga, seolah sengaja ingin memperdengarkan betapa suksesnya dia dibandingkan keluarga Maya.

​Maya melipat surat itu kuat-kuat sampai kukunya memutih. Rasa sedihnya tiba-tiba berubah menjadi api dingin yang membara. Dia meletakkan surat itu di meja dapur, lalu mengambil sodet dari tangan ibunya.

​"Ibu berhenti nangis," kata Maya tegas. Matanya menatap tajam ke arah wajan. "Mulai malam ini, Maya yang pegang dapur ini. Kita nggak akan biarkan mereka ambil rumah kita."

​Ibu mendongak, menatap anak perempuannya dengan bingung. "Tapi gimana caranya, Maya? Utang itu puluhan juta..."

​Maya tidak menjawab. Dia mematikan kompor, membuang minyak hitam itu ke tempat pembuangan, dan menatap ke arah pintu dapur dengan tatapan yang belum pernah ibunya lihat sebelumnya. "Besok, warung ini akan punya menu baru. Dan Tante Rosa... dia akan tutup mulut sendiri lihat hasilnya."

​Namun, di balik ketegasannya, Maya tahu dia hanya punya sisa uang beberapa ratus ribu di dompetnya. Tantangan ini terasa mustahil, apalagi dia belum menceritakan pada ibunya kalau dirinya sendiri adalah seorang pengangguran sekarang.

​Lalu, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu depan yang sangat keras.

​"Sum! Keluar kamu! Saya tahu anakmu yang manajer kota itu pulang! Bayar utang sekarang atau besok saya bawa orang buat pasang plang sita!" teriak sebuah suara pria yang kasar dari luar.

​Ibu gemetar hebat, wajahnya kembali pucat. "Itu... itu orang dari lembaga itu, Maya. Mereka sudah datang..."

​Maya memegang pisau dapur di meja dengan erat, detak jantungnya berpacu cepat. Inilah kenyataan pahit yang harus dia hadapi tepat satu jam setelah dia menginjakkan kaki di kampung halaman.

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!