Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Ruang tunggu perusahaan farmasi itu dipenuhi aroma kopi dan pendingin ruangan yang dingin menusuk kulit. Kinara melangkah masuk dengan punggung tegak, mengenakan setelan sederhana berwarna krem. Tatapannya tenang, meski dadanya berdegup cepat.
Beberapa staf HR menyambutnya ramah.
“Sesi wawancara Anda sebentar lagi, Bu Kinara. Silakan duduk.”
Kinara mengangguk sopan. Namun sebelum ia sempat benar-benar duduk, seorang wanita berhak tinggi berjalan tergesa di depannya.
“Ah!” Wanita itu berpura-pura tersandung.
Cangkir kopi panas di tangannya terlempar, cairan cokelat gelap itu menyiram bagian depan pakaian Kinara. Bau pahit langsung menyengat.
“Ya Tuhan! Maaf … maaf sekali!” ucap wanita itu dengan suara panik palsu, matanya justru berkilat puas. Beberapa orang menoleh. Ada yang berbisik dan ada yang mengernyit jijik.
Kinara menunduk, menatap bajunya yang kini bernoda besar. Napasnya tertahan dan dalam benaknya hanya satu pikiran berputar, 'Aku tidak boleh gagal'.
“Sepertinya … Anda perlu berganti pakaian,” ujar seseorang pelan, nada suaranya jelas ragu.
Wanita itu menunduk pura-pura bersalah. “Saya benar-benar ceroboh…”
Saat itu, suara dari pengeras terdengar jelas dan dingin.
“Nomor wawancara dua puluh tujuh, Kinara Prameswari, dipersilakan masuk.”
Kinara mengangkat kepala. Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya, dan ada yang kasihan, ada yang menunggu kegagalannya.
Kinara, tahu jika ia mundur sekarang, kesempatan ini akan hilang. Tanpa meminta izin, tanpa meminta maaf, Kinara melangkah masuk ke ruang wawancara.
Pintu tertutup di belakangnya.
Di dalam, lima orang pewawancara menatapnya hampir bersamaan. Alis terangkat, tatapan mereka jatuh pada noda kopi di pakaiannya.
“Bu Kinara…” salah satu pria berdehem. “Anda tahu ini wawancara formal, bukan?”
Kinara tersenyum kecil, bukan senyum gugup tetapi melainkan tenang dan percaya diri.
“Tentu saya tahu.”
“Lalu … pakaian Anda?” tanya seorang wanita di ujung meja.
Kinara meluruskan bahunya. “Oh ini?” Ia menatap bajunya sendiri sejenak, lalu kembali menatap mereka.
“Ini model terbaru. Custom piece. Satu-satunya di kota ini.”
Ruangan hening.
“Satu-satunya?” ulang pria berkacamata, ragu.
Kinara mengangguk mantap. “Konsepnya raw elegance. Tidak sempurna, tapi jujur. Sama seperti saya ... saya datang bukan untuk terlihat bersih, tapi untuk bekerja dengan hasil.”
Beberapa pewawancara saling pandang.
“Dan kebetulan,” lanjut Kinara tanpa menunggu disela, “produk farmasi yang Anda kembangkan berfokus pada kejujuran data, bukan tampilan luar. Saya rasa filosofi itu sejalan.”
Sunyi kembali jatuh dalam ruangan yang lumayan besar itu, tetapi dengan suasana yang cukup menegangkan. Lalu, seorang pria yang sejak tadi diam tersenyum tipis.
“Menarik,” katanya. “Baiklah, Bu Kinara. Silakan duduk.”
Kinara duduk dengan tenang, seolah noda kopi itu memang bagian dari rencananya.
“Wawancara kita mulai sekarang.”
Di luar ruangan, wanita yang menumpahkan kopi menggigit bibirnya dengan kesal.
Di dalam, Kinara mulai menjawab satu demi satu pertanyaan dengan tajam, lugas, dan tanpa ragu.
“Selamat, Bu Kinara Prameswari.”
Kalimat itu masih terngiang jelas di kepalanya.
“Berdasarkan hasil wawancara dan latar belakang akademis Anda, kami memutuskan menempatkan Anda di divisi penelitian dan pengembangan obat. Efektif mulai bulan ini.”
Bukan staf biasa, bukan posisi percobaan. Divisi penelitian jantung perusahaan farmasi itu.
Beberapa pewawancara tersenyum profesional, sementara yang lain menatap Kinara dengan sorot berbeda. Kekaguman, dan seperti sebuah kejutan. Dan ada rasa iri yang belum sempat disembunyikan.
Kinara berdiri, menahan senyum lebarnya agar tetap pantas.
“Terima kasih atas kepercayaannya,” ucapnya tulus. Ia sedikit membungkuk, bukan tunduk, melainkan bentuk hormat. Lalu melangkah keluar dengan kepala tegak.
Begitu pintu tertutup, Kinara berhenti sejenak di lorong. Dadanya naik turun, bukan karena gugup, tetapi melainkan karena bahagia. Tangannya bergetar saat meraih ponsel. Ia menekan satu nama yang sudah ia hafal tanpa perlu melihat layar.
Nada sambung terdengar singkat.
“Pak,” ucap Kinara pelan, namun jelas terdengar senyum di suaranya.
“Ayo makan siang bersama. Setelah saya menjemput Aksa.”
Ia menarik napas kecil, lalu melanjutkan, kali ini tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
“Aku lolos wawancara.”
Di ujung sana, hening sejenak. Kemudian suara Arman terdengar cukup datar, dingin, seperti biasa.
[Baik.] Singkatnya hanya dengan satu kata. Tak ada ucapan selamat atau pun tak ada nada antusias. Namun Kinara tersenyum tetap lebar. Karena ia tahu, di balik suara itu, Arman mendengar. Dan untuk pria sepertinya, menyetujui ajakan makan siang sudah lebih dari cukup.
Kinara menurunkan ponselnya, menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Noda kopi itu masih ada, tapi kini terasa tak berarti.
Restoran melati.
Kinara dan Aksa duduk berdampingan di salah satu sudut restoran yang tenang. Aksa menggoyang-goyangkan kakinya di kursi, jelas tak bisa diam.
“Mommy, selamat ya,” ucapnya untuk kesekian kali, menatap Kinara dengan mata berbinar.
“Mommy hebat. Mommy pasti jadi ilmuwan,” tambahnya polos.
Kinara tertawa kecil, mengacak rambut Aksa. “Cukup, nanti Mommy jadi besar kepala.”
“Tapi Mommy senang,” Aksa bersikeras. “Aksa bisa melihatnya.”
Kinara terdiam sejenak, dia memang senang dan bukan hanya karena pekerjaan itu, tapi karena hari ini terasa cukup ringan.
Aksa menunduk sebentar, lalu kembali bersuara dengan nada yang jauh lebih pelan, seolah takut kata-katanya salah.
“Mommy … kata pelayan rumah dulu Aksa itu nakal,” ucapnya lirih.
“Makanya Mommy Amira pergi ninggalin Aksa waktu Aksa masih kecil.”
Jantung Kinara mencelos, mendengar nama itu Kinara yakin wanita itu adalah ibu kandung Aksa.
Aksa melanjutkan tanpa tahu dampak ucapannya.
“Sejak saat itu Daddy jadi dingin. Kata mereka Daddy sekarang kejam … sama Aksa juga.”
Tangannya yang kecil memainkan serbet di meja.
“Tapi sejak ada Mommy Kinara,” Aksa menatapnya lagi, kali ini penuh keyakinan, “Daddy berubah. Daddy lebih sering ngomong. Lebih sering melihat Aksa dan menjadi lebih perhatian dan lembut.”
Kinara menelan ludah, dadanya terasa sesak oleh perasaan yang tak sempat ia siapkan. Ia menunduk agar sejajar dengan mata Aksa, lalu memegang kedua pipi bocah itu dengan lembut.
“Dengar ya,” ucapnya pelan tapi tegas.
“Aksa itu tidak nakal. Aksa itu pintar. Aksa itu anak baik.”
Aksa berkedip, seolah baru pertama kali mendengar kalimat itu ditujukan padanya.
“Orang dewasa kadang salah,” lanjut Kinara lembut. “Dan Mommy Amira pergi bukan karena Aksa. Sama sekali bukan.”
Aksa tersenyum kecil, senyum yang rapuh tapi tulus. Belum sempat Kinara berkata lagi, suasana restoran mendadak berubah. Bisik-bisik halus terdengar dari berbagai arah.
“Itu dia…”
“Yang di kursi roda itu…”
“Gila … tampan sekali.”
Kinara menoleh.
Di pintu masuk restoran, Rudi mendorong kursi roda Arman masuk dengan langkah mantap. Aura pria itu langsung menarik perhatian dan tenang, berkelas, dingin. Beberapa pasang mata menatap kagum, sebagian lain berbisik tentang ketampanan yang kontras dengan keterbatasannya.
Namun satu hal membuat napas Kinara tercekat. Di pangkuan Arman, terletak buket mawar merah dan rapi, segar, dan jelas baru dibeli. Wajah Kinara terasa hangat. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tapi senyum kecil itu terlanjur mengembang di bibirnya.
Aksa berseru pelan, nyaris berbisik penuh takjub, “Daddy bawa bunga…”
Arman berhenti tepat di depan mereka. Tatapannya bertemu dengan Kinara, sekilas, singkat, namun cukup untuk membuat detak jantungnya melonjak.
"Daddy, bunga itu pasti untuk Mommy kan?" tanya Aksa sembari menggoda Arman.
"Nggak, ini milik Rudi!" tegas Arman, sembari mendorong buket itu ke dada Rudi yang nampak terkejut.
"Hah? Saya, Tuan?" Rudi menunjuk dirinya sendiri dan menatap bingung Arman yang berusaha tenang, padahal di dalam dadanya terasa sangat hangat.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣