Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyerangan di pelabuhan
Kei menatap Alfin, lalu menatap Fandi yang sudah berjalan keluar ruangan.
Mobil meluncur nembus jalanan Jakarta yang udah mulai sepi. Lampu-lampu kota mantul di bodi item Rolls-Royce mereka.
Alfin nyetir, Kei di depan sambil mainin tablet, Fandi duduk di belakang — diem, ngeliatin pemandangan di luar jendela.
Alfin: “Kita mau ke mana nih, bos?”
Fandi: (datar) “Ke markas.”
Kei: “Langsung malem ini?”
Fandi: “Nggak ada waktu buat nunggu.”
Sepi. Cuma suara mesin yang kedengeran.
Lampu merah nyala. Mobil berhenti. Dari kaca, Fandi ngeliat pantulan dirinya sendiri — muka tanpa ekspresi, tapi matanya nyimpen sesuatu yang dalem banget.
Kei (pelan): “Fan, lo nggak capek apa ya terus-terusan kayak gini? Siang rapat, malem jadi vigilante.”
Fandi: “Capek itu buat orang yang masih bisa tidur nyenyak.”
Alfin: (ngelirik lewat kaca spion) “Dia udah nggak tidur nyenyak bertahun-tahun.”
Fandi: “Dan nggak bakal bisa sampe semuanya kelar.”
Lampu ijo. Mobil jalan lagi. Beberapa menit kemudian, mereka masuk ke gerbang bawah tanah markas. Begitu mobil berhenti, udah ada puluhan anggota pake baju item yang baris rapi nyambut mereka.
Begitu pintu kebuka, suasananya langsung beda — udaranya berat sama bau logam sama tegang.
Semua nunduk hormat pas Fandi jalan masuk, diapit Kei sama Alfin.
Komandan: “Semua pasukan udah standby, Tuan.”
Fandi: “Oke. Kumpulin semua di ruang taktis.”
Nggak lama kemudian, seluruh ruangan udah penuh sama orang pake baju gelap sama topeng muka sintetis. Lampu utama diredupin, cuma layar gede di tengah ruangan yang nyala nampilin peta pelabuhan.
Fandi: “Target: Ganendra Abadi. Konglomerat yang ngerasa hukum bisa dibeli.”
Kei: “Transaksi mereka malem ini di pelabuhan utara, jam satu pas.”
Alfin: “Keamanan mereka ketat. Tapi bukan berarti nggak bisa ditembus.”
Fandi: “Kita nggak dateng buat nembus. Kita dateng buat ngehapus.”
Semua ngeliatin Fandi — tenang, tapi nadanya tajem kayak piso.
Kei: “Arahan, Fan?”
Fandi: “Simpel aja. Hancurin jaringan, ilangin bukti, dan jangan sisain nama. Kita bukan polisi. Kita problem solver.”
Alfin: “Semua tim, pastiin penyamaran full. Topeng sama tudung aktifin.”
Fandi: “Nggak ada identitas. Nggak ada jejak. Yang sisa cuma bayangan.”
Beberapa anggota gerak cepet ngecek perlengkapan mereka.
Fandi berdiri di depan mereka semua, tangannya di saku jas, suaranya berat tapi tenang.
Fandi: “Dunia bawah tanah nggak butuh hukum. Mereka udah busuk kelamaan. Malem ini kita bersihin.”
Anggota: “Siap, Tuan!”
Fandi: “Inget ini — siapa pun yang mundur, bukan lagi bagian dari kita. Siapa pun yang ragu, keluar sekarang.”
Nggak ada yang gerak.
Semua berdiri tegap, kayak pasukan bayangan yang siap ngadepin badai.
Kei: (setengah becanda tapi serius) “Fan, kalo lo terus-terusan kayak gini, orang bisa mikir lo bukan manusia.”
Fandi: (ngeliatin Kei dengan tatapan dingin) “Mungkin emang gue udah nggak sepenuhnya manusia.”
Alfin: “Udah cukup bacot. Waktu jalan.”
Fandi: “Ya. Tengah malem, kita berangkat.”
Fandi balik badan, langkahnya tenang tapi setiap gerakannya nunjukkin otoritas.
Asep rokok ngebul di udara.
Cowok paruh baya itu nyender di kursi kulit, kakinya nyilang. Matanya tajem banget.
"Jule."
Suara beratnya mecah kesunyian.
Cewek berambut item di depannya tegapin badan. "Siap, Tuan."
"Pastiin semua jalan bersih malem ini. Nggak boleh ada kesalahan sekecil apa pun. Kalo sampe gagal..."
Dia natap tajem, bibirnya nahan senyum tipis.
"...lo tau sendiri akibatnya."
Jule nelen ludah, terus nunduk. "Siap, Tuan. Saya pastiin transaksi jalan sesuai rencana."
"Pergi."
Suara sepatu hak tinggi Jule kedengeran di lantai marmer, cepet dan gugup. Di luar, deru mobil boks sama truk gede udah siap. Lampu pelabuhan kedap-kedip dari kejauhan.
Di sisi lain kota —
Tiga mobil item ngebut nembus gelap.
Di mobil paling depan, Alfin ngegenggam setir kenceng.
"Fan, kita udah deket," ucapnya tanpa nengok.
Dari kursi belakang, Fandi ngebuka sarung tangan itemnya. Tatapannya dingin, ngeliatin ke luar jendela.
"Siapin posisi sesuai rencana. Begitu transaksi mulai, kita gerak."
Kei nengok setengah. "Lo sendiri? Turun bareng?"
"Ya."
Jawaban datar, tapi tegas.
Mobil berhenti beberapa meter dari pelabuhan. Deru mesin mati. Suara ombak kedengeran samar.
Mereka turun — tiga bayangan dalam jubah item, muka disembunyiin di balik topeng sintetis alus.
Dari kejauhan, lampu kapal nyala. Belasan orang bersenjata lagi nurunin peti-peti logam.
Suara walkie-talkie kedengeran pelan.
"Posisi satu siap."
"Posisi dua siap."
Fandi ngeliat jam di pergelangan tangan.
"Sekarang."
Mereka gerak cepet — kayak bayangan.
Seorang penjaga nengok, matanya sempet melotot sebelum lehernya dicekek tali item dari belakang. Badannya jatoh tanpa suara.
Kei matiin kamera pengawas pake alat kecil di tangannya.
"CCTV mati."
Alfin ngasih isyarat tangan. "Area bersih."
Fandi ngelangkah masuk ke area pelabuhan. Tatapannya tajem, langkahnya tenang.
"Bersihin semua. Nggak usah banyak bacot. Kematian musuh adalah kemenangan kita."
Beberapa pasukan gerak.
Suara desing logam, napas berat, sama benturan badan mulai kedengeran di antara peti-peti baja.
Fandi natap jauh ke arah kapal.
"Ganendra..." gumamnya pelan. "Kita liat seberapa kuat pertahanan lo."
Udara malam menegang.
Asap tipis dari kapal kargo melayang perlahan, bercampur dengan aroma besi dan oli.
Langkah kaki berat terdengar dari arah dermaga.
Beberapa pria bersenjata mulai berpatroli, waspada.
Suara kecil terdengar dari telinga salah satu penjaga.
“Semua posisi aman—”
Sret!
Kalimatnya terputus. Lehernya robek halus, darah menetes tanpa suara. Tubuhnya jatuh perlahan ke tanah.
Kei menarik pisaunya kembali. “Satu.”
Dari sisi kanan, dua penjaga lainnya berjalan.
Fandi menunduk sedikit, lalu melangkah cepat.
Gerakannya tenang — presisi.
Bugh!
Satu pukulan keras menghantam rahang penjaga pertama. Tubuhnya terlempar ke belakang.
Tangan kiri Fandi menahan tangan satunya lagi, memutar, dan— crack!
Suara tulang patah terdengar jelas.
Alfin muncul dari bayangan peti.
Ia menendang dada lawan kuat-kuat. Tubuh itu menghantam dinding besi.
Brak!
“Bersih,” katanya singkat.
Mereka melangkah makin dalam. Suara air pelabuhan bergema, bercampur dengan langkah sepatu di atas besi kapal.
Kei menatap layar kecil di tangannya. “Sisa tiga kelompok, semua di sisi kapal utama. Termasuk target.”
Fandi menatap layar itu sekilas.
“Lumpuhkan semua. Jangan biarkan ada yang lari.”
Mereka berpencar.
Alfin menembak lampu sorot —
Duur!
Gelap seketika menelan seluruh area.
Hanya suara napas, langkah, dan desiran laut.
Dua penjaga berlarian panik.
“Lampunya kenapa—”
Belum sempat selesai, Fandi sudah di depan mereka.
Ia menendang lutut pria pertama. Crack!
Lalu siku kanan menghantam pelipis satunya.
Tubuh keduanya tumbang bersamaan.
Kei muncul dari belakang peti, wajah datar.
“Cepat banget.”
“Sudah biasa.” Fandi membersihkan darah di sarung tangannya.
“Sekarang Giliran Ganendra.”
Mereka berjalan menuju kapal utama.
Suara ombak terdengar berat, seperti menahan napas.
Dari kejauhan, Jule berdiri di atas dek kapal, memegang pistol.
Matanya membulat saat melihat tiga bayangan hitam berjalan perlahan menuju tangga kapal.
“Siapa mereka…?” bisiknya pelan.
Suara Fandi rendah, tenang, tapi menusuk.
“Bayangan yang datang tanpa suara.”
Langit malam tampak berat.
Awan hitam menumpuk, menelan bulan.
Petir sesekali menyambar di kejauhan, menerangi dek kapal besar yang dipenuhi peti baja.
Ganendra berdiri di ujung geladak, jas hitamnya tertiup angin.
Asap rokok terakhirnya terhembus, lenyap bersama ketegangan udara.
“Jadi… ini dia bayangan yang berani menantangku?”
Nada suaranya berat dan tenang, tapi matanya penuh amarah.
Dari sisi tangga kapal, tiga sosok berpakaian hitam naik perlahan.
Langkah mereka nyaris tak bersuara.
Fandi berada di tengah — tegap, wajah datar, mata dingin.
Ganendra menyipit.
“Heh, kau pikir diam akan membuatmu terlihat hebat?”
Tak ada jawaban. Fandi hanya menatap lurus, seperti menembus jantung lawannya.
Hening.
Angin laut menggulung, membawa rasa asin dan dingin malam.
Ganendra menarik pedang panjang dari sarung kulitnya.
Sriiing…
Suara logamnya bergetar di udara.
“Baik. Kalau kau tak mau bicara… kau bisa mati dengan diam juga.”
Fandi perlahan mengangkat tangan kanannya, menarik katana dari sarungnya.
Syuuuh…
Kilau baja tipis memantulkan cahaya petir.
Mereka berdiri berhadapan.
Dua sosok, dua dunia, satu malam.
Ganendra bergerak duluan — cepat.
Syuhh!
Pedangnya mengayun ke depan.
Fandi memiringkan tubuhnya, menangkis dengan gerakan bersih.
Clang! Suara logam bertemu logam, memantul keras di geladak.
Langkah kaki beradu, suara napas berat terdengar di antara benturan.
Drap! Drap!
Ganendra terus menyerang — tebasan kanan, kiri, bawah.
Fandi menghindar, lalu berputar cepat.
Bugh!
Tubuh Ganendra terpental dua langkah mundur.
Ia mengusap bibir, matanya menyala. “Kau… bukan orang biasa.”
Fandi tetap diam.
“Diam lagi?! Bicara, dasar pengecut!”
Ganendra berteriak, lalu menyerang lagi dengan amarah.
Wushhh!
Clang! Clang!
Benturan cepat, berulang. Keduanya bergerak cepat di bawah hujan yang mulai turun.
Ritme serangan berubah menjadi tarian senjata di tengah badai.
Ganendra mundur sejenak, lalu melompat tinggi, mencoba serangan terakhir.
Fandi menatap naik, lalu menghilang dari posisinya.
Syuuuh!
“M—mana dia?!” Ganendra menoleh cepat ke kiri, lalu ke kanan.
Hujan membasahi rambutnya. Napasnya memburu.
Sebuah suara terdengar pelan di belakangnya.
“Di sini.”
Ganendra membalik tubuh.
Petir menyambar langit, dan Fandi sudah berdiri tepat di belakangnya, mata tajam, katana di tangan kanan.
Clang!
Dua bilah kembali bertemu, tapi kali ini kekuatan Fandi tak tertandingi.
Ganendra terhempas ke belakang, terjatuh ke dek kapal.
Pedangnya meluncur jauh, berputar dan berhenti di tepi geladak.
Syuhh..
Bugh..
Kreeetak..
Bugh!
Bugh!
Kreeek… bugh..
Fandi melayangkan pukulannya,ke leher ganendra hinggah patah, lagi fandi memukul beruntun,menarik baju dan menendang balik tubuhnya hingga terpental ke aspal.
Ganendra tewas ditempat,fandi menatap datar mayatnya.
Bersama disaat pertarungan fandi dan ganendra,kini kei dan dan jule berhadapan.
Jule mengeluarkan kapak dari balik punggungnya,membuat kei tersenyum.
Senyuman itu membuat jule murka,dan langsung menyerang kei dengan gerakan yang lincah…
Syuhh…
Wushhh…
wushhh…
wushhh…
Kei hanya menghindari kekiri dan ke kanan tanpa melakukan serangan balasan.
“Bangsat,kau meremehkan saya,lelaki gila!” Jule membentak kei yang hanya tersenyum sembari menghindari semua serangannya.
“Hei kau yang wanita gila,apa kau kekurangan benang untuk menjahit baju? Wanita macam apa kau ini? Kau mau transaksi organ atau check in dengan ganendra ha ha haha ejek kei
Membuat jule merah padam dan langsung menyerang kei.
Syuhh…
Wushhh…
wushhh…
wushhh…
Bugh!.. bugh!.. bugh!..
“Ha ha ha.. mati kau!” Bentak jule, saat dirinya menyerang kembali kei dan hanya menghindar dan mengejek nya saja,membuat jule semakin murka dan melakukan lompatan menendang dada dan kepala kei.
“Menarik juga… musuhku kali ini perempuan,” ucap Kei santai, memainkan bilah tipis di tangannya.
Jule menyeringai marah. “Aku bukan perempuan lemah. Kau akan menyesal meremehkanku.”
Ia menarik dua bilah kapak kecil dari punggungnya.
Kei tertawa ringan. “Oh, dua? Aku cukup dengan satu.”
Jule maju tanpa aba-aba.
Syuhh! Wushh! Wushh!
Ayunan kapaknya menebas udara. Kei terus bergerak gesit ke kiri dan kanan, menghindari setiap serangan dengan mudah.
“Diam kau!” bentak Jule, marah karena Kei terus mengelak.
“Diam? Kau ini suka bicara seperti bos yang kehabisan nafas,” jawab Kei ringan.
Hujan makin deras. Petir menyambar lagi, menyorot wajah Kei yang kini berhenti tersenyum.
“Sudah cukup bercanda.”
Ia maju sekali — cepat.
Wusshhh!
Suara bilah tipis menembus udara.
Jule mencoba menangkis, tapi gerakan Kei terlalu cepat.
Serangan demi serangan menghantam tanpa henti — satu, dua, tiga.
Dentuman logam memenuhi udara, bergema di seluruh kapal.
Akhirnya Jule terpental ke belakang, terjatuh di antara peti baja.
Senjatanya terlepas, berputar di lantai basah.
Ia mendongak, wajahnya pucat, hujan menutupi pandangan.
Kei berdiri di depannya, menatap datar.
“Sudah kubilang, aku tak suka membuang waktu.”
Hening. Hanya suara hujan, angin, dan ombak.
Petir menyambar lagi, menerangi seluruh dek.
Fandi berdiri di tengah kapal, jubah hitamnya tertiup angin.
sisi lain kapal, suasana berubah menjadi lautan perang kecil.
Cahaya petir menembus kabut hujan, memantulkan kilau logam dari puluhan senjata yang kini beradu.
Pasukan Ganendra — berseragam hitam dengan lambang ular di dada — berlari serentak dari sisi kanan kapal.
Sementara dari sisi kiri, pasukan Fandi muncul, diam tapi teratur seperti bayangan yang menyatu dengan malam.
Dentuman pertama terdengar.
Tranggg!
Pedang beradu.
Clang! Clang! Clang!
Suara logam menembus badai, bercampur dengan raungan ombak yang menghantam lambung kapal.
Alfin berada di barisan depan.
Wajahnya tenang, matanya fokus. Di tangannya, sepasang bilah pisau baja tipis bergetar menahan dingin hujan.
“Majulah! Jangan beri mereka ruang!” teriak salah satu prajurit Ganendra dari belakang.
Namun sebelum langkah mereka sempat menapak penuh, Alfin sudah melesat.
Syuuuh!
Tubuhnya seperti bayangan yang terhempas angin, menyelinap di antara lawan.
Clang! Clang!
Pisau di tangannya menangkis dua serangan sekaligus, memutar cepat.
Tangan kanannya menyambar, menepis pedang musuh ke samping, lalu lututnya menekan ke depan — keras dan terarah.
Dughh!
Satu tubuh lawan terpental ke dinding baja kapal.
Namun belum sempat ia menarik napas, dua orang kembali menyerangnya dari belakang.
Alfin menunduk cepat, berputar ke kanan.
Wusshh! Clang! Clang!
Benturan baja lagi.
Petir menyambar di atas kepala mereka, menerangi gerakan cepat yang nyaris tak terlihat.
Pasukan Fandi yang lain ikut bertarung dalam formasi senyap.
Tak ada teriakan, hanya napas berat dan suara langkah di atas dek basah.
Mereka seperti prajurit bayangan — cepat, efisien, dan tanpa emosi.
Salah satu anak buah Ganendra berteriak, “Mereka bukan manusia! Serang semuanya sekaligus!”
Tapi teriakan itu tenggelam dalam suara badai.
Blarrr!
Petir menyambar tiang utama kapal, membuat percikan listrik menghujani dek.
Cahaya putih memantul di wajah-wajah yang penuh tekad.
Hujan semakin deras, membuat setiap langkah berat, setiap serangan licin.
Alfin menatap ke kanan — seorang musuh besar dengan palu baja berlari ke arahnya.
Drap! Drap! Drap!