Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tangga masih menyisakan goyangan samar ketika semuanya berubah dalam hitungan detik. Setelah Keyla hampir jatuh ke jurang ketakutannya sendiri, Kenny berhasil menenangkannya—atau setidaknya begitu ia kira.
Namun malam itu tidak pernah selesai di titik itu.
Hanya sepuluh menit setelah pria asing itu kabur, Kenny turun untuk membantu Reno merawat lukanya. Reno yang duduk di sofa tampak pucat, tapi ia masih sempat bercanda bahwa darahnya menetes lebih banyak daripada waktu donor di klinik. Kenny mengabaikannya, karena pikirannya masih bersama Keyla yang tadi hampir kehilangan kendali.
Ia menutup kotak P3K. “Aku naik lagi. Keyla pasti butuh ditemani—”
BRAK.
Suara pintu kamar.
Bukan pintu kamar terbuka…
Tapi terbanting.
Kenny langsung berlari ke tangga tanpa menunggu apa pun.
“KEYLA?!”
Tidak ada jawaban.
Ia menaiki tangga dengan kecepatan yang bahkan membuat Reno hampir berdiri, tapi luka di lengannya menahan geraknya. Kenny sampai di lantai atas dalam dua detik—dan pandangannya langsung membeku.
Pintu kamar terbuka.
Lampu menyala.
Dan kamar itu kosong.
“Key…?” Nafas Kenny memburu. “Keyla! Jawab aku!”
Ia memeriksa kamar mandi—kosong. Balkon—tidak ada. Di bawah tempat tidur—kosong.
Detik itu juga, udara seakan kehilangan oksigen.
Dalam keheningan yang menghancurkan, Kenny menangkap sesuatu yang menggelitik telinganya… suara samar dari luar jendela. Helaan napas kasar. Dan… suara seret.
Ketika ia menyibak tirai, seluruh dunianya runtuh.
Di halaman belakang rumah, pintu pagar kecil yang mengarah ke gang terbuka. Gemboknya tergeletak di tanah, terpotong bersih seolah dipotong dengan alat khusus. Dan… ada jejak sepatu menyeret tanah menuju kegelapan gang.
Keyla diculik.
Baru saja.
Dalam hitungan menit.
“KENNY! TUHAN, KENNY—TUNGGU!”
Reno berteriak dari bawah, tapi Kenny tidak mendengar. Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa menahan langkahnya. Ia sudah keluar rumah, menembus dinginnya udara malam, berlari mengikuti jejak tanah yang masih basah.
“KEYLAAA!”
Tidak ada balasan.
Tidak ada suara apa pun.
Hanya bayangan malam yang terasa terlalu senang menelan siapa pun yang hilang.
Reno akhirnya menyusul, meski dengan langkah pincang dan tangan penuh darah. “Kenny, dengerin gue—kita nggak bisa ngejar dia kayak gini! Orang itu pasti udah siap! Ini perangkap!”
“KALAU GUE NUNGGU DETIK INI JUGA, DIA MATI!” Kenny berbalik begitu cepat sampai Reno hampir terpeleset. “Itu istri gue! REN—ITU ISTRI GUE!”
Reno menelan ludah. Wajahnya berubah iba. “Aku tahu. Justru karena itu—”
“TIDAK ADA ‘KARENA ITU’!”
Kenny menendang tong sampah di dekat gang hingga terguling keras, suaranya memantul ke seluruh bangunan. “Aku harus temukan dia! Aku harus—aku harus—”
Pikirannya pecah. Tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih gelap: panik yang terlalu besar untuk ditahan.
Reno menahan bahu Kenny. “Kenny, kalau kamu ngejar dia tanpa rencana—kamu bakal mati. Dan Keyla bakal sendirian!”
Kenny memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
“Aku nggak peduli kalau aku mati,” bisiknya pelan, suaranya retak seperti kaca yang diinjak. “Aku cuma… nggak bisa hidup kalau dia hilang.”
Reno terdiam.
Itu bukan kalimat marah.
Itu suara seseorang yang hatinya sedang koyak dan berdarah.
Sementara itu…
Keyla terbangun dalam keheningan gelap.
Tangannya terikat. Mulutnya dibekap kain. Mata ditutup dengan kain hitam tebal yang membuat dunia hanya terasa dalam bentuk suara dan sentuhan kasar.
Ia berada di ruang sempit—mungkin mobil. Kursinya keras. Getaran mesin terasa di tulang belakangnya.
Penculik itu—suara napasnya ia kenali.
Pria yang memanggilnya dengan nama itu.
Dira.
Nama yang dirasakannya seperti luka lama yang baru saja disayat kembali.
“Diam saja begitu, Dira?” suara berat pria itu menyelinap di telinganya. “Kupikir kamu akan menjerit lebih keras.”
Keyla menggeliat panik. Tangannya berusaha melepaskan ikatan, tapi tali itu menggores pergelangannya sampai perih.
Pria itu tertawa lirih.
“Kau pikir aku bisa salah orang? Rambutmu… caramu menarik napas saat ketakutan… bahkan cara kau gemetar.” Ia mendekat. Nafasnya terasa di kulit wajah Keyla. “Kau masih sama seperti dulu.”
Kalimat itu menusuknya lebih dalam daripada ikatan di tubuhnya.
Siapa ‘dulu’?
Kenapa ia dipanggil Dira?
Kenapa dadanya sesak seperti memori yang tertutup rapat ingin keluar?
Dan saat itulah… sesuatu muncul.
Kilasan.
Cepat. Tajam. Menyakitkan.
• Gadis kecil berlari di lorong gelap.
• Suara laki-laki memanggil: “Dira, sini. Ayah nggak suka kamu sembunyi.”
• Tangan besar menarik lengan kecilnya.
• Teriakan yang teredam bantal.
• Air mata jatuh ke lantai kayu.
• Seorang perempuan berlumur luka menjerit: “Lepaskan dia! Dira masih kecil—!”
Keyla terlonjak keras.
Dadanya terbakar. Kepalanya seperti diremas dari dalam. Napasnya terpotong–potong, dan tubuhnya jatuh ke sisi kursi mobil.
“Tenang,” suara penculik itu kembali, terdengar puas. “Itu baru sebagian. Ingatanmu akan kembali… pelan-pelan.”
Keyla hanya bisa menangis dalam diam.
Karena ia tahu satu hal:
Bagian gelap masa lalunya bukan hanya menyeramkan… tapi sedang mengejarnya.
Di rumah Kenny
Rumah berantakan seolah badai lewat. Tangga hampir runtuh, meja terbalik, kaca pecah. Orang tua Kenny akhirnya tiba setelah Reno menghubungi mereka.
Ibunya langsung memeluk Kenny.
“Kenny, Nak… tolong tenang dulu, ya? Polisi sedang menuju sini. Kita akan lapor. Kita akan cari cara. Kamu nggak boleh rusak begini—”
Kenny melepaskan diri sedikit kasar. “Aku nggak butuh polisi. Aku butuh KEYLA!”
“Kenn—”
“Aku bilang aku butuh Keyla!” suaranya pecah. Matanya menatap kosong ke lantai. “Ma… kalau aku kehilangan dia, aku nggak punya apa-apa lagi.”
Ayahnya mencoba memegang bahu Kenny. “Nak, kami paham perasaanmu, tapi kamu tidak bisa—”
“Tidak, Pa.” Kenny menatap ayahnya lurus-lurus, suaranya hanya bisikan tapi penuh kemarahan tak terkendali. “Kalian nggak paham. Dia bukan cuma istriku. Dia… dia hidupku.”
Air mata mengalir, tapi bukan air mata lembut—air mata yang terjatuh karena seseorang sedang diseret ke jurang.
Reno menyaksikan semuanya dalam diam.
Melihat Kenny yang biasanya paling tenang sekarang seperti orang yang kehilangan akal… membuat rasa sakit menjalar ke dadanya.
“Kenny.” Akhirnya Reno bicara.
“Jangan mulai, Ren.” Kenny mengambil jaketnya, siap keluar lagi. “Aku bakal keliling kota. Aku nggak peduli kalau aku harus cari dia sampai pagi.”
Reno menghalangi pintu.
“Geser.”
“Nggak.”
“Reno, GESER!” Kenny mendorongnya, tapi Reno tidak bergerak.
Dan akhirnya—Kenny memukul dada Reno.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Geser, Ren… geserrr… aku mohon…” suaranya pecah menjadi isak. “Aku nggak bisa… aku nggak bisa hidup kalau dia hilang…”
Reno tidak menangkis. Ia hanya memegang kedua lengan Kenny.
“Kenny. Dengar aku baik-baik.” Suaranya berat tapi tegas. “Kamu mau Keyla selamat, kan?”
Kenny mengangguk cepat, seperti anak kecil yang ketakutan.
“Kalau gitu, kamu harus berpikir. Kamu harus waras. Kamu harus bertindak pakai kepala, bukan pakai panik.”
“Aku—aku nggak bisa—”
“Kamu BISA.” Reno mengguncang sedikit bahunya. “Karena kalau kamu roboh sekarang, Keyla sendirian melawan orang gila itu.”
Kata-kata itu seperti pukulan yang membuat Kenny terhenti.
Reno menatap mata sahabatnya—yang sudah merah, bengkak, penuh amarah sekaligus ketakutan.
“Kenny,” katanya perlahan. “Kalau kamu sayang sama dia… kamu harus cukup kuat untuk menyelamatkannya.”
Keheningan panjang.
Nafas Kenny terdengar pecah satu kali. Lalu sekali lagi. Lalu ia meremas rambutnya, menahan diri agar tidak runtuh. Perlahan tubuhnya melemas, tapi bukan karena menyerah—karena ia memaksa dirinya kembali sadar.
“…apa yang harus kita lakukan?”
Suara Kenny lemah, tapi sudah tidak histeris.
Ia siap mendengar.
Reno menghela napas lega. “Pertama, kita cari tahu siapa orang itu. Kamera tetangga, CCTV gang, apa pun. Kita koordinasi. Kita rancang gerak. Kita kejar dia dengan otak, bukan emosi.”
Kenny mengangguk pelan.
“Aku harus selamatin Keyla…” bisiknya. “Aku harus bawa dia pulang.”
Reno menepuk bahunya. “Dan kita akan melakukannya. Bareng. Mulai sekarang.”
Di matanya, api mulai menyala lagi.
Tidak seperti sebelumnya—
Bukan api panik,
melainkan api tekad.
Dalam mobil penculik
Keyla masih menahan tubuhnya agar tidak roboh, tapi kepalanya terasa panas dan berat. Ingatan-ingatan itu—yang datang seperti pecahan kaca—mulai menyatu perlahan.
“Dira…” pria itu berkata pelan. “Aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Saat aku melihatmu di kota ini… aku tahu kamu pasti kembali padaku.”
Keyla menggigil.
Tidak.
Dia tidak pernah ingin kembali ke masa itu.
Kalau memang ini masa lalunya, dia ingin hancurkan semuanya.
Penculik itu tersenyum—Keyla mendengar dari nada suaranya.
“Kamu akan ingat semuanya… dan setelah itu, kamu akan kembali menjadi punyaku.”
Mobil berhenti.
Pintu dibuka.
Udara dingin masuk, menusuk tulang.
Dan Keyla diseret keluar, ke dalam gelap yang sudah menunggu.
Di rumah Kenny
Kenny menatap pintu depan rumah, rahangnya mengeras.
“Aku datang untukmu, Key,” bisiknya, matanya berkaca. “Tunggu aku.”
Dan malam itu—
pencarian dimulai.