NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 33

Pagi datang membawa angin dingin yang menusuk sampai tulang. Udara itu menyelinap masuk lewat celah ventilasi kecil dan membuat Mahira menggigil pelan. Kelopak matanya bergerak. Pandangannya awalnya buram, lalu perlahan menjadi jelas.

Langit-langit berwarna putih menyambutnya.

“Apakah aku ada di surga sebagai pahlawan…” bisiknya lemah.

Tiba-tiba sesuatu jatuh di kepalanya.

Pluk.

Mahira mengerutkan kening. Ia menyentuh bagian yang terkena benda itu. Jarinya basah. Nalurinya membuat ia menaikkannya ke hidung.

Begitu bau menyengat itu masuk, Mahira langsung menutup mulut dan menahan mual. “Tai tokek…” gerutunya kacau.

Ia mencubit lengannya sendiri. Rasa sakitnya nyata. “Ah… aku masih hidup.”

Ia menarik napas gemetar, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dinding, sofa, meja kecil, tirai cokelat yang menutup rapat. Semua terlihat familiar.

“Ini kontrakan…” bisiknya. Nafasnya keluar sedikit lebih tenang.

“Siapa yang menolongku?” tanyanya pada diri sendiri. Hatinya menghangat sesaat. “Pasti Doni. Dia selalu datang pada saat yang tepat.”

Ia menatap tirai jendela. Masih tertutup rapat. “Don… Doni…” panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

“Ke mana lagi dia…” Mahira mencoba bangkit, tetapi tubuhnya langsung kembali gemetar. “Pasti dia ingin aku aman…”

Ia membuka tirai sedikit saja. Setitik cahaya masuk. Namun begitu ia melihat bayangan pepohonan di luar, kenangan malam sebelumnya menyergap benaknya seperti kilat. Nafasnya tersengal. Tubuhnya kembali bergetar hebat.

Mahira buru-buru menutup tirai itu kembali. “Aku… aku tidak mau keluar. Aku takut… aku takut ketemu orang…” Suaranya pecah. Kedua tangannya mencengkeram tirai erat-erat.

Ia melihat ponselnya tergeletak di meja. Rasa takut tiba-tiba melonjak. Tanpa berpikir, ia melempar ponsel itu ke kasur. Jaraknya tidak jauh, tetapi cukup untuk menenangkan dirinya sejenak.

“Hanya di sini… hanya di sini tempat yang paling aman…” bisiknya, hampir seperti memohon.

Mahira melangkah ke kulkas dengan gerakan kaku. Sesak di dadanya belum hilang, tetapi tubuhnya memaksa mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Pintu kulkas terbuka. Cahaya putih menerpa wajahnya yang pucat.

“Seharusnya aku tidak usah jadi pahlawan… Aku ini siapa…” ucapnya sambil mengambil buah anggur, memasukkannya satu per satu ke mulut untuk mengisi kekosongan yang menekan pikirannya.

“Aku ini hanya anak yang dibuang… aku tidak punya siapa-siapa… Kenapa aku sok ingin menegakkan keadilan… Seharusnya aku diam saja,” gumamnya sambil mengunyah perlahan, seakan setiap kata membuat dadanya makin berat.

Ia menelan ludah yang terasa pahit. “Bahkan suamiku saja masih seorang siswa… Ah… berani-beraninya kamu, Mahira… Bodoh kamu, Mahira…”

Mahira terus menyuarakan keluhannya di depan kulkas yang terbuka. Cahaya dingin itu menyinari wajahnya yang penuh rasa takut, penyesalan, dan kebingungan, sementara dunia luar sedang terjadi kekcauan yang tak di ketahui mahira

,,,

Pagi itu SMK Nusantara mendadak gempar.

Pak Agus, petugas kebersihan sekolah, baru saja menyapu halaman ketika pandangannya tertumbuk pada sesuatu di bawah pohon besar. Langkahnya terhenti. Tubuh Leo tergeletak kaku, posisinya ganjil dan terlentang persis seperti posisi jasad Riko beberapa bulan lalu. Jaraknya, sudut tubuhnya, bahkan arah jatuhnya terlihat sama.

Wajah Pak Agus pucat. Sapu di tangannya terlepas jatuh. Ia langsung berlari tunggang langgang menuju ruang guru.

“Bu… Pak… ada anak ditemukan meninggal,” ucapnya terbata-bata. Nafasnya tersengal akibat panik.

Kabar itu menyebar seperti api. Dalam hitungan menit, koridor yang masih dipasangi police line bekas kasus Riko kembali dipenuhi siswa dan guru yang berdesakan ingin melihat. Suara bisik-bisik membuncah, udara dipenuhi rasa takut dan penasaran.

Sirene ambulans dan mobil polisi memecah suasana pagi. Tenaga medis turun dengan tandu, sementara polisi segera memasang garis kuning tambahan. Siswa dilarang mendekat. Beberapa anak yang nekat mengintip langsung diusir.

Di benak semua orang, pertanyaan yang sama bergema. Kematian Riko saja belum terungkap. Sekarang Leo menyusul. Apa mungkin arwah Riko gentayangan dan menjemput Leo?

Guru-guru dipanggil rapat mendadak. Wajah mereka tegang. Bu Nurhasnah mengetuk meja, suaranya rendah namun tegas.

“Kejadian ini harus dirahasiakan. Tidak ada yang menulis status di media sosial. Tidak ada yang menyebarkan foto atau spekulasi.”

Semua mengangguk patuh, meski rasa cemas terlihat jelas di mata mereka.

Menjelang siang, kabar lain yang lebih mengejutkan muncul.

Sepuluh orang siswa, teman dekat Leo, dilaporkan hilang tanpa jejak. Ponsel mereka tidak aktif, lokasi tidak terlacak, dan keluarga mereka mulai panik. Kota itu seketika berguncang. Leo adalah anak seorang politisi yang sedang mencalonkan diri sebagai wali kota, sementara sepuluh temannya merupakan anak-anak pengusaha ternama.

Media mulai mengepung pagar sekolah. Wartawan berdatangan. Polisi menambah penjagaan.

Dan muncul satu kecurigaan yang berbisik pelan namun tajam.

Beberapa hari sebelumnya Leo ditemukan meninggal, ia sempat berseteru dengan Mahira.

Desas-desus itu menyebar cepat, menusuk telinga dewan guru.

“Apakah Bu Mahira pelakunya…?”

Spekulasi itu muncul begitu saja dikepala sebagian orang,,tapi masih belum bisa di yakini mengingat mahira guru lembut dan baik hati,

..

Antonio, pria tinggi dengan tubuh yang masih tampak atletis di usia paruh baya, menghantam meja dengan tendangan keras. Berkas-berkas berterbangan dari permukaannya.

“Bangsat kau, Baskara.” Suaranya menggema di ruangan, parau oleh amarah.

Di tangannya, hasil otopsi tubuh Leo bergetar karena genggamannya terlalu kuat. Tulisan di halaman itu masih menusuk pikirannya. Otak menghitam. Organ dalam hancur. Tidak ada luka luar sama sekali. Tidak masuk akal. Tidak manusiawi.

Hasil pemeriksaan mengarah pada satu nama. Saras. Anak Baskara. Lawan politiknya.

Antonio mengangkat anting perempuan yang ditemukan di saku Leo. Barang itu tampak kecil, tetapi nilainya bukan sembarangan. Ia mengenal desain eksklusif itu. Hanya keluarga Baskara yang memesan dan memakainya.

Rahang Antonio mengencang. “Siapkan pengacara. Hubungi kepolisian. Panggil media. Kita serang rumah Baskara.” Suaranya dingin, penuh tekad membalas.

Rombongan mobil Antonio memasuki halaman sebuah rumah besar dengan lahan parkir yang dipenuhi orang-orang. Poster kampanye dan bendera terpampang di mana-mana. Tempat itu jelas markas pemenangan calon wali kota.

“Baskara, keluar kamu!” bentak Antonio lantang.

Kerumunan menoleh. Dari dalam rumah, Baskara muncul. Tubuhnya kecil, langkahnya tenang. Kacamata di wajahnya memberi kesan pria yang lebih suka berdiskusi daripada beradu otot.

“Jangan teriak seperti di hutan. Kalau lawan politikku tingkahnya sekasar itu, menang pun aku malu,” ucap Baskara dengan nada santai, seperti menertawakan kemarahan Antonio.

“Mana anak kamu, Saras? Berikan padaku. Aku harus membuat perhitungan dengannya.” Suara Antonio serak menahan emosi.

“Masuk dulu,” ujar Baskara sambil memberi isyarat ke dalam rumah.

Antonio melangkah masuk, diikuti para pendukungnya, pengacara, dan deretan wartawan yang sibuk mengangkat kamera.

Baskara duduk dengan tenang di kursi ruang pertemuan. Di seberangnya, Antonio masih tampak meledak-ledak, napasnya berat.

“Apa alasan kamu menuduh anakku membunuh anakmu?” tanya Baskara datar.

Antonio melemparkan map hasil otopsi ke meja. Suara kertas menghantam kayu mengisi ruangan. Lalu ia menaruh anting itu di sampingnya.

“Ini buktinya. Sidik jari Saras ada di tubuh Leo. Anakmu menyuntikkan racun yang menghancurkan otak dan organ dalam anakku.” Suaranya naik turun, penuh kemarahan

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!