Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 — Tekanan untuk Menikah
Setelah insiden di pinggir sungai—di mana sentuhan mereka nyaris menjadi ciuman, dan kemudian diinterupsi oleh kehadiran yang mencurigakan—Jian dan Mei Lan dipaksa untuk kembali ke persembunyian mereka. Jian kembali ke gudang padi, dan Mei Lan kembali ke rumahnya, membawa beban janji yang belum terpenuhi dan ketegangan yang mendidih.
Keesokan paginya, sebelum embun mengering, bencana sosial yang dipicu oleh Shan Bo dan Kepala Desa Liang akhirnya menghantam keluarga Chen.
Panggilan Kepala Desa
Ibu Chen terlihat pucat. Ia menerima surat panggilan resmi dari Kepala Desa Liang, yang memerintahkan seluruh keluarga Chen untuk hadir di Balai Desa. Perintah itu tidak hanya memanggil Ibu dan Ayah Chen, tetapi juga Mei Lan sendiri.
“Ini… ini karena ulahmu, Mei Lan,” bisik Ayah Chen, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kecemasan. Ayah Chen adalah pria yang sederhana dan takut konflik. “Kepala Desa Liang sangat marah. Dia telah mendengar semua gosip. Dia berkata dia akan mencabut hak tenun kita, dan jika itu terjadi, kita akan kelaparan.”
Ayah dan Ibu Chen memandang Mei Lan dengan pandangan yang menyedihkan—bukan marah, tetapi memohon. Mereka ingin putri mereka selamat, dan dalam pandangan mereka, keselamatan itu hanya bisa didapat melalui kepatuhan sosial.
Mereka tiba di Balai Desa, tempat Kepala Desa Liang duduk di kursi kayunya yang besar, diapit oleh Shan Bo yang berdiri dengan wajah puas dan beberapa tetua desa yang terlihat khawatir.
Kepala Desa Liang tidak menyambut mereka. Ia langsung menyerang.
“Keluarga Chen! Kalian telah membawa aib besar ke desa ini!” seru Kepala Desa Liang, suaranya dipenuhi otoritas yang tidak bisa dibantah. “Putri kalian, Gadis Penenun, telah secara terbuka menolak kehormatan dan memilih seorang pria asing, seorang kriminal yang dicari Istana!”
“Dia bukan kriminal,” bisik Mei Lan, tetapi suaranya segera ditenggelamkan oleh Kepala Desa Liang.
“DIAM!” raung Kepala Desa Liang. “Cap di pergelangan tangannya adalah bukti! Dan sekarang, akibat dari perbuatanmu, desa kita menghadapi malapetaka ekonomi! Pedagang Sutra Wang telah mengirim surat. Mereka mendengar gosip ini, dan mereka mengancam akan membatalkan semua pesanan kita, karena reputasi kesucian dan ketulusan desa kita telah ternoda!”
Wajah Ayah dan Ibu Chen semakin pucat. Ancaman ekonomi ini adalah hukuman mati.
“Kami tidak punya pilihan lain,” kata Kepala Desa Liang, melunak sedikit, beralih ke nada manipulasi. Ia menarik sebuah gulungan kecil dari lengan bajunya. “Untungnya, ada satu pria terhormat yang masih mau menutup mata terhadap kesalahan Mei Lan.”
Kepala Desa Liang membuka gulungan itu. Itu adalah surat lamaran resmi dari Keluarga Ling, keluarga pedagang kain yang kaya dari kota terdekat, yang putranya, Ling Fan, adalah orang yang dikabarkan menyukai Mei Lan sejak lama.
“Keluarga Ling tidak peduli dengan gosip, selama kesepakatan itu menguntungkan. Mereka akan membayar semua hutangmu dan menjamin keberlangsungan hidupmu! Ini adalah satu-satunya jalan keluar untuk keluargamu, dan untuk desa ini!”
Kepala Desa Liang menatap Ayah Chen. “Ayah Chen, terima lamaran ini sekarang. Nikahkan putrimu dalam waktu satu bulan. Dengan begitu, kita bisa meredakan amarah para pedagang kota. Jika kau menolak, besok, aku akan mencabut hak tenunmu. Kalian akan menjadi pengemis, dan itu semua karena keegoisan putrimu!”
Penolakan Mentah-mentah
Ayah Chen, di bawah tekanan yang luar biasa, hanya bisa menundukkan kepala. Ia hendak meraih gulungan itu, untuk menyelamatkan keluarganya dari kelaparan, ketika Mei Lan bertindak.
Mei Lan tidak lagi melihat ayahnya atau Kepala Desa Liang. Ia hanya melihat masa depan yang mengerikan: hidup bersama seorang pria yang tidak ia cintai, menghabiskan sisa hidupnya merindukan seorang pria yang kini berjuang untuknya di gudang padi. Ia memikirkan ciuman yang nyaris terjadi, air mata yang ia bagi, dan janji di bawah rumpun bambu.
Ia tidak bisa mengkhianati Jian. Ia tidak bisa mengkhianati dirinya sendiri.
Mei Lan melangkah maju, tangannya gemetar, dan dengan dorongan yang mengejutkan, ia menepis gulungan lamaran itu dari tangan Kepala Desa Liang. Gulungan itu jatuh ke lantai, tergulir ke kaki Shan Bo.
“Saya menolak!” seru Mei Lan, suaranya keras dan bergetar, tetapi penuh tekad.
Kerumunan yang berkumpul di Balai Desa terkesiap. Ibu Chen menangis tersedu-sedu. Kepala Desa Liang tercengang, wajahnya memerah karena amarah yang tidak pernah ia alami.
“Kau… Kau berani menolakku, Gadis Penenun rendahan!” raung Kepala Desa Liang.
“Saya tidak menolak Anda, Kepala Desa,” balas Mei Lan, berdiri tegak, memandang wajah yang marah itu tanpa gentar. “Saya menolak Ling Fan, dan saya menolak nasib yang Anda paksakan kepada saya. Saya tidak akan menikahi siapa pun yang tidak saya cintai. Saya tidak akan menjual diri saya untuk menyelamatkan keluarga saya! Jika keluarga saya harus kelaparan, maka kita akan kelaparan, tetapi kita akan kelaparan dengan hati nurani yang bersih!”
Ia menoleh ke Ayah dan Ibu Chen. “Ayah, Ibu, saya mohon, lihat saya. Kalian mengajari saya tentang kehormatan dan ketulusan. Bagaimana saya bisa hidup dengan berbohong kepada diri saya sendiri? Hati saya sudah terikat. Saya sudah tidak mungkin lagi bersama siapa pun selain Jian.”
Shan Bo mengambil gulungan itu, wajahnya pucat karena marah dan rasa malu. “Kau gila! Kau memilih penjahat yang akan mati digantung daripada kehormatan! Kau memilih kemiskinan!”
“Saya memilih cinta,” balas Mei Lan, menatap Shan Bo dengan tatapan tajam. “Dan saya memilih kebenaran. Pria yang Anda sebut penjahat adalah pahlawan yang mempertaruhkan nyawanya untuk negara ini. Dan saya akan menemaninya, sampai akhir.”
Kepala Desa Liang, yang tidak pernah dipermalukan seperti ini, hanya bisa bernapas dengan berat, urat di lehernya menonjol. “Baik! Jika itu yang kau inginkan, maka lakukanlah!”
Ia membanting tangannya ke meja. “Aku mencabut hak tenun Keluarga Chen! Kalian adalah aib bagi desa ini! Pergi! Dan bawalah pria asingmu itu, sebelum aku memanggil penjaga kota untuk menangkapnya dan menggantungnya di depan Balai Desa!”
Keputusan Malam Hari
Keluarga Chen kembali ke rumah dalam keheningan yang memilukan. Ayah Chen duduk, menutupi wajahnya dengan tangan. Ibu Chen menangis tak terkendali.
Mei Lan merasakan sakit yang luar biasa. Ia telah menghancurkan keluarganya secara ekonomi. Tetapi di balik rasa sakit itu, ada rasa kebebasan yang menguatkan. Ia telah memilih jalannya, dan ia tidak akan mundur.
“Maafkan saya, Ayah. Maafkan saya, Ibu,” bisik Mei Lan, air matanya menetes.
“Kau… kau tidak mengerti, Nak,” bisik Ibu Chen di sela isak tangisnya. “Tanpa hak tenun, kita tidak punya apa-apa. Kita tidak punya masa depan.”
Mei Lan tahu, kata-kata ibunya benar. Mereka tidak punya apa-apa. Kecuali satu hal: Jian.
Ia menyadari, keputusannya menolak pernikahan Ling Fan telah menutup semua pintu kembali. Ia tidak bisa lagi hidup di desa ini. Ia telah memilih nasib Jian.
Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Ibu Chen tertidur dalam kesedihan mereka, Mei Lan bangkit. Ia mengambil tasnya, memasukkan beberapa makanan dan benang sutra berharga—senjata satu-satunya—ke dalamnya.
Ia berjalan ke pintu. Ia menoleh ke belakang, menatap rumah kecil mereka untuk terakhir kalinya. Ini adalah selamat tinggal.
Menuju Api yang Tersembunyi
Mei Lan menyelinap keluar, melewati penjaga Kepala Desa Liang yang tidur nyenyak di luar gudang padi. Ia tidak takut pada Kepala Desa, Shan Bo, atau ancaman ekonomi. Ketakutannya yang terbesar adalah kehilangan Jian.
Ia membuka pintu gudang padi. Di dalam, Jian sedang duduk di kegelapan. Ia pasti sudah mendengar langkah kaki Mei Lan.
“Mei Lan,” bisik Jian, berdiri.
Mei Lan tidak berbicara. Ia berjalan ke arahnya. Ia melihat kegelapan di mata Jian, kegelapan yang ia tahu, datang dari semua penderitaan dan pengekangan diri.
Mei Lan telah mempertaruhkan segalanya. Ia telah merobek benang terakhir yang mengikatnya pada kehidupan lamanya. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk ditawarkan kecuali dirinya sendiri, dan ia membutuhkan Jian lebih dari udara.
Ia memeluk Jian dengan erat. Itu bukan pelukan yang hati-hati atau penuh keraguan; itu adalah pelukan yang putus asa, pelukan yang meminta perlindungan dan pengakuan.
“Jian,” bisik Mei Lan, suaranya tercekat. “Saya telah kehilangan segalanya. Saya menolak mereka. Saya memilih Anda.”
Ia menarik kepalanya sedikit, menatap mata Jian, air mata menggenang di matanya. Ia menyentuh bibir Jian.
“Jangan tinggalkan saya,” pinta Mei Lan, suaranya rapuh. “Jangan tinggalkan saya malam ini. Saya butuh Anda. Tolong.”
Permintaan itu, perpaduan antara kelemahan dan kekuatan, menghancurkan sisa-sisa pertahanan Jian. Jian tidak lagi melihatnya sebagai gadis yang harus ia lindungi dan jaga kehormatannya. Ia melihatnya sebagai wanita yang memilih bahaya bersamanya, wanita yang baru saja mengorbankan segalanya demi cinta mereka.
Jian menutup matanya. Kehormatan yang konyol. Dia telah mengorbankan kehormatannya sendiri untukku. Melindunginya berarti menerimanya.
Jian menarik napas yang dalam. Ia tidak bisa lagi menahan hasratnya, atau hasrat Mei Lan. Malam ini, mereka harus menjadi satu, sebelum dunia datang untuk merenggut mereka.