NovelToon NovelToon
Kebangkitan Zahira

Kebangkitan Zahira

Status: tamat
Genre:Wanita Karir / Pelakor jahat / Cinta Lansia / Tamat
Popularitas:283k
Nilai: 4.9
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

pernikahan selama 20 tahun ternyata hanya jadi persimpangan
hendro ternyata lebih memilih Ratna cinta masa lalunya
parahnya Ratna di dukung oleh rini ibu nya hendro serta angga dan anggi anak mereka ikut mendukung perceraian hendro dan Zahira
Zahira wanita cerdas banyak akal,
tapi dia taat sama suami
setelah lihat hendro selingkuh
maka hendro sudah menetapkan lawan yang salah
mari kita saksikan kebangkitan Zahira
dan kebangkrutan hendro

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KZ 02

Zahira menatap hidangan spesial yang ia siapkan seorang diri sejak pagi. Di usia pernikahan yang ke dua puluh, ia masih berharap ada sisa kehangatan untuk menyambung hubungan yang nyaris retak.

Ingatan itu datang tanpa permisi—tentang pertemuan pertamanya dengan Hendro. Saat itu, Hendro nyaris melompat dari tepi jurang, hatinya hancur setelah diputuskan oleh Ratna, wanita yang sangat ia cintai. Zahira, yang kebetulan lewat, menyelamatkannya. Bukan hanya secara fisik, tapi juga jiwanya—dengan nasihat sederhana namun tulus, Zahira membuat Hendro bangkit lagi.

Hendro tampak begitu gentleman di mata Zahira. Tak butuh waktu lama, ia datang ke rumah dan langsung meminangnya. Mereka menjalin hubungan jarak jauh selama satu tahun sebelum akhirnya Hendro pulang untuk menikahinya.

Dua tahun pertama pernikahan mereka terasa seperti mimpi indah. Hingga di tahun keempat, Ratna kembali. Wanita itu datang perlahan, membawa senyum dan kata-kata bijak, mengajak Zahira bersahabat. Dan Zahira yang naif, percaya... bahwa Ratna tak lagi menginginkan Hendro. Ia salah.

Tahun keempat hingga tahun kesepuluh, Zahira hidup bagaikan ratu di istana kecilnya. Hendro begitu perhatian, selalu pulang membawa senyum, oleh-oleh kecil, atau sekadar pelukan hangat yang menenangkan. Zahira percaya, inilah kebahagiaan sederhana yang ia dambakan.

Namun memasuki tahun kesebelas, segalanya mulai berubah. Hendro semakin sering bepergian keluar kota, katanya demi pekerjaan. Sementara Ratna—perlahan namun pasti—semakin sering datang ke rumah. Anehnya, anak-anak pun lebih nyaman bersama Ratna, seolah Zahira hanya bayang-bayang di sudut rumah mereka.

Zahira tetap bertahan. Bercerai bukan bagian dari kamus hidupnya. Ia tumbuh dari keluarga yang utuh, melihat cinta orang tuanya bertahan sampai maut memisahkan. Itulah yang ia impikan: menikah sekali, lalu setia sampai akhir usia.

Malam itu, Zahira tak kuasa menahan tangis. Air mata mengalir deras di pipinya, namun suara tangisnya ia redam dengan menggigit ujung handuk. Ia tidak ingin siapa pun mendengar. Bagi Zahira, menjaga nama baik dan keharmonisan keluarga adalah segalanya. Ia bukan tipe istri yang suka mengadu atau mengumbar luka. Ia menahan semuanya sendiri—karena begitulah perempuan baik seharusnya, pikirnya... meski hatinya terus terkoyak hari demi hari.

“Makanan ini harus aku bagikan…” gumam Zahira pelan.

Dengan mata masih sembab, ia membungkus satu per satu hidangan yang dimasaknya dengan penuh cinta.

Malam itu, ia melangkah keluar rumah, menyusuri jalan gelap, dan mengetuk pintu-pintu tetangga. Satu per satu ia berikan makanan itu—bukan sekadar nasi, tapi sepotong hati yang nyaris hancur.

“Ini dalam rangka apa, Mbak Zahira?” tanya Bu Sumi, tetangga sebelah, sambil menatap bingung wajah Zahira yang sembab namun tetap tersenyum paksa.

“Dalam rangka syukuran, suami saya baru naik jabatan,” jawab Zahira dengan senyum yang sedikit dipaksakan, berusaha menyembunyikan getar di suaranya dan luka yang belum juga kering.

“Harusnya Mbak Zahira senang dong, Mas Hendro kan naik jabatan. Tapi kok malah menangis, ya?” tanya Bu Sumi heran, menatap lekat wajah Zahira yang tak mampu menyembunyikan luka di balik senyumnya.

“Oh, saya lagi sakit mata, Bu... jadi sering keluar air mata,” jawab Zahira pelan, masih berusaha menyembunyikan luka sebenarnya di balik alasan yang terdengar ringan.

“Ya sudah, terima kasih ya, Mbak. Semoga rumah tangga Mbak Zahira langgeng terus. Mbak Zahira dan Mas Hendro itu panutan kami, lho,” ucap Bu Sumi tulus.

Doa itu terucap tulus tapi bagi zahira terasa menyakitkan, Zahira hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ia kembali melangkah, membagikan makanan dari rumah ke rumah, dengan hati yang sesak dan doa yang nyaris tak terdengar.

Lalu matanya menangkap sosok pria paruh baya yang sedang duduk di atas motor, mengenakan jaket ojek online, menunduk lelah di bawah lampu jalan yang temaram.

“Mas, ini ada sedikit makanan,” ucap Zahira lembut, sambil menyodorkan bungkusan dengan tangan gemetar namun penuh ketulusan.

“Zahira... kenapa kamu menangis?” tanya pria ojek online itu, suaranya pelan namun penuh empati.

Zahira mendongak, matanya membulat tak percaya.

“Adit? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya terbata.

“Aku baru saja ngantar pesanan,” jawab Adit dengan senyum tipis, menatap Zahira lekat.

“Mm... kenapa kamu jadi tukang ojek?” tanya Zahira, heran melihat kondisi Adit.

Dulu, Adit adalah pria paling sombong yang pernah ia kenal—penuh percaya diri dan merasa dunia miliknya. Kini, ia tampak sederhana, jauh berbeda.

“Ya emang kenapa? Yang penting halal, nggak jadi koruptor,” ucap Adit santai, tanpa beban.

Zahira tersenyum tipis, tapi dalam hati bergumam, “orang  ini… jadi tukang ojek pun masih saja sombong.”

Tetap Adit yang dulu—berubah rupa, tapi tidak sikap.

“Ya sudah, aku masuk dulu ke rumah,” ucap Zahira sambil melangkah pelan.

“Ok… hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku,” kata Adit dengan nada tulus.

“Ok,” jawab Zahira pelan, nyaris tak terdengar.

Dalam hati ia menggerutu, “Apa-apaan sih… aku cuma tinggal jalan sepuluh langkah udah sampai rumah. Kenapa juga bilang hati-hati di jalan?”

Namun entah kenapa, kalimat sederhana itu terasa hangat di hatinya.

Setelah sampai di rumah, perasaan Zahira terasa sedikit lebih lega.

“Benar kata orang, sedekah itu bisa melapangkan dada… sekarang aku merasa lebih tenang,” gumamnya pelan, sambil menatap langit malam yang sepi namun menenangkan.

Zahira lalu membersihkan rumah dengan tekun.

Ia tak ingin membiarkan dirinya diam—karena diam hanya akan menyeret pikirannya kembali pada luka dan sakit hati yang terus menggerogoti batinnya.

Saat memeriksa saku celana Hendro, Zahira menemukan sebuah struk belanja. Matanya membulat saat membaca: kalung emas 20 gram, 24 karat, senilai 36 juta—tanggal pembelian 15 Juli 2022.

“Kalung ini… untuk siapa?” gumam Zahira pelan.

Hatinya berdesir. Mungkinkah… untukku? bisiknya penuh harap yang ia sendiri takut percayai.

Hati Zahira terasa hangat, membuncah harapan baru. Mungkinkah kalung itu untukku? Dari gambar kecil di struk, terbayang kilau indahnya melingkar di lehernya—hadiah penuh makna di usia dua puluh tahun pernikahan mereka. Dengan hati-hati, ia melipat dan menyimpan struk pembelian itu di dalam laci kecil.

Ia kembali ke ruang tengah, menatap jam dinding yang berdetak pelan. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Sudah pukul sebelas malam. Tapi Hendro, ibu mertuanya, dan anak-anaknya belum juga pulang. Zahira menghela napas panjang. Sunyi semakin menusuk.

Tangannya meraih ponsel Nokia 3310 miliknya—ponsel tua yang setia menemaninya selama lebih dari dua belas tahun. Ia dilarang memiliki ponsel Android oleh Hendro, katanya "tidak perlu dan bikin repot." Zahira tidak pernah membantah, karena baginya, menaati suami adalah bentuk cinta.

Ia ingin menelepon Hendro. Tapi ragu. Ia tahu, suara Hendro yang tinggi dan dingin akan langsung menyambutnya. Mungkin marah. Mungkin membentak.

Zahira lalu berjalan ke teras rumah. Ia melangkah pelan ke sudut taman kecilnya. Tatapannya tertuju pada pot bunga. Ia menunduk, lalu mengangkat pot itu—seolah mencari sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.

“Ternyata Mas Hendro bawa kunci cadangan… berarti dia memang berniat pulang larut,” gumam Zahira pelan, getir.

Zahira terus menatap ke arah gerbang, berharap Hendro datang membawa kejutan—sambil menggenggam struk pembelian emas erat di tangannya.

1
Linda Suryati
kerennn. cerita nya ngak di panjang2in. cukup mereka berbahagia. suka sebel baca novel. trus di panjang2 in sampai ke anak cucu. sehingga cerita nya ngak lucu. semoga yg membaca mengambil hikmah nya. mencintai tampa pamrih tulus ikhlas. selalu berbuat baik.
Julidarwati
Zahira besarkn anak selingkuhan suaminya
Bunda Iwar
Luar biasa
Alif
bisa2nya ank kandungnya mau di jual
Alif
apa yg kau tanam itulah yg akan kau petik
Alif
klo otak kalian bs mikir psti gk percaya tp klo otak kalian dangkal tamat lah kalian kena jaring siluman rubah
Alif
sukma dan langit kyaknya anak kandung zahra yg di adopsi adit
Alif
oh bner klo bukan anak nya zahira lha wong modelnya dan kelakuanya kyk emak bpknya, ksian aj zahira telah di tipu
Alif
katanya di suruh bw Adit, apa aq gagal faham yaa
Alif
emang ibunya sudah mendiang ya, la yang di rmh itu siapa😇
Alif
itulah hasil didikanmu oke kaan..
Darma Taksiah
keren
Naning Naning
bener2 tamat thorrr..... ga ada bonchap nya
muthia
cm bs 😭😭😭😭😭😭😭😭
muthia
klau td cm g di sukai sama mertua sih di selingkuh u suami mungkin msh bs di tahan nah ini anak sendiri yg kaya gitu ya Allah sedih nya😭😭
Purnama Pasedu
cinta yg sejati,akan bertemu walau berliku
Maharani Rania
kaya nya anak kandung Zahira yg di buang
SOPYAN KAMALGrab: ka tolong kasih ulasannya ka...
total 1 replies
Sonya Nada Atika
ceritanya keren bgt.baru ini novel yg tak ku skip halaman nya...dr awal smp akhir
SOPYAN KAMALGrab: tolong kasih ulasan ka/Pray/
total 1 replies
Raden
keluarga tocix kecuali zahira
Earlyta a.s Salsabila
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!