NovelToon NovelToon
From Duks Till Dawn

From Duks Till Dawn

Status: sedang berlangsung
Popularitas:158
Nilai: 5
Nama Author: Cherry_15

Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

02. Rule The Fate

[Tiga bulan lalu]

Langit menghiasi bumi dengan beribu air yang ia tumpahkan dari kegelapan. Tanpa mengenakan pelindung apapun, seorang perempuan berpakaian serba hitam berlutut sembari memeluk batu yang tertanam di tanah basah. Membiarkan langit menghapus jejak elegi di mata sembabnya.

Hari itu, adalah hari yang paling menyedihkan dan berat baginya. Hari dimana ia harus menerima kenyataan bahwa, kedua orang yang ia cinta sudah tertidur lelap dibawah tanah juga tak mungkin bisa terbangun lagi.

Ia terus berteriak tanpa suara, mempertanyakan mengapa ini harus terjadi. Sedikit berharap, bahwa dibalik tanah tersebut ada ruang khusus juga untuknya menemani mereka.

Namun harapan hanyalah sebuah harapan, tak ada keajaiban apapun yang terjadi padanya sekeras apapun ia mengeluh pada langit gelap.

Dirinya masih saja enggan menjauh dari kedua batu tempat orang tuanya tertanam, hingga rasa lelah menghipnotisnya melangkah pulang untuk rehat.

Langkah tertatih, membawa raga tanpa gairah itu menyusuri derasnya hujan, yang sedari tadi membasahi tubuh dan pakaiannya. Tatapannya begitu kosong, bagai tak memiliki lagi tujuan untuk melanjutkan kehidupan.

Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Kesedihan, kehilangan, ketakutan, kebencian, bahkan dendam yang mendalam masih bersarang dalam dirinya.

Teringat jelas, tragedi yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tragedi mengerikan, yang terjadi akibat orang tak bertanggung jawab yang hilang setelah melakukan aksi cerobohnya.

Sungguh tak termaafkan, siapapun yang telah berani merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dan ketika mengingatnya, amarah kembali membuncah dalam jiwa.

Ia bahkan bersumpah, akan membunuh pelaku dibalik wafatnya kedua orang tercinta. Tidak! Membunuh bukanlah cara mainnya. Ia tak mau melewatkan keseruan dari dendam ini.

Iya! Akan membosankan dan terasa tidak adil, jika pelakunya mati begitu saja meninggalkan dirinya yang terus hidup menderita di dunia.

Itulah yang membuat perempuan penuh dendam ini bertekad, akan membuat hidup si pelaku menderita selamanya. Baginya itu adil, karena ia juga menderita akibat perilaku orang tersebut.

Sesampainya pada rumah yang dulu orang tuanya sewa, ia terlelap bersama segala kepedihan dan suara berisik dalam kepalanya.

Ia tak mengerti lagi, bagaimana cara melanjutkan kehidupan setelahnya. Ia tak mampu melakukan semuanya sendiri. Lebih tepatnya, ia belum terbiasa sendiri. Namun takdir seolah memberinya pelatihan untuk mandiri.

Airi Miru, atau lebih akrab dipanggil Airi. Adalah anak perempuan tunggal yang terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan kehangatan yang nyaman.

Sedari kecil, setiap kebutuhannya selalu terpenuhi oleh kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka selalu memberikan apapun yang Airi minta, meski itu harganya tak seberapa.

Hal itu membuatnya tumbuh menjadi anak yang manja dan merasa cukup dengan kasih orang tua, hingga belum sempat terbesit dalam pikiran, niat untuk bekerja atau hanya sekedar mendewasakan diri.

Ketika Airi berusia 24 tahun, hidupnya berubah. Takdir ingin melatihnya dewasa, dengan cara mengambil kedua orang tuanya.

Ia kini harus mencari cara agar bisa bekerja demi menghasilkan uang untuk hidup. Orang tuanya wafat tanpa meninggalkan harta warisan apapun. Itulah yang membuatnya merasa terbebani.

“Jika tidak kerja hari ini, besok makan apa?” pikirnya yang terus bergema dalam kepala setiap harinya.

Berdasarkan tekad dan rasa takutnya akan masa depan, Airi berani keluar dari kesedihannya untuk mencari kerjaan apapun yang bisa ia kerjakan.

Segala hal sudah ia coba. Mulai dari menjadi tukang cuci piring di kedai atau restoran, tukang sapu jalanan, membersihkan gorong-gorong got yang bau, hingga menjadi asisten rumah tangga harian.

Namun hasil yang ia dapatkan, hanyalah cukup untuk kebutuhan hariannya yang sederhana. Ya, minimal bisa makan tiga kali sehari saja adalah hal yang paling ia syukuri.

“Setidaknya, aku tidak mati kelaparan untuk sementara waktu ini.” pikirnya, sedikit bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Yang ia inginkan hanyalah hidup.

Hingga ia melupakan hal terpenting dalam hidupnya. Ya, rumah yang saat ini ia tinggali adalah rumah sewaan. Ia harus memikirkan biaya sewa bulanan pada rumah itu.

Dengan penghasilannya yang hanya cukup untuk membeli makan, mau menabung berapa tahun pun takkan cukup untuk membayar sewa rumah tersebut.

Pemilik rumah sudah cukup sering mengingatkan terkait biaya sewa yang harus ia bayar, namun perempuan yang hidupnya belum stabil selalu meminta kelonggaran agar bisa membayarnya lain waktu.

Terus seperti itu, hingga tiga bulan berlalu. Airi yang masih kerja serabutan, tak pernah mampu membayar sewa rumah yang harganya selalu bertambah setiap bulan.

Merasa bosan dan geram menanti, sang pemilik rumah akhirnya terpaksa mengusirnya dari tempat itu. Dan dengan berat hati, Airi harus angkat kaki pagi itu juga.

Berbekal uang seadanya, perempuan malang itu mulai berani melangkahkan kakinya mencari tempat tinggal baru. Mengarungi cuaca panas dan kadang dingin, memikul beratnya ransel berisi pakaian di bahu, hingga secara memalukannya ia rela tidur atau hanya sekedar berteduh di kolong jembatan.

Namun ia tersadar, bahwa tak bisa terus menerus beristirahat seperti ini. Perempuan penuh tekad itu, harus bisa menemukan tempat tinggal hari ini juga.

Hingga malam menjelang, langkahnya mengajak singgah di sebuah kedai yang nyaman dan hangat. Kedai yang dengan sukarela memberinya makanan dan minuman hangat, dengan cita rasa khas dan pelayanan terbaik.

Sungguh beruntungnya ia malam ini, namun itu tidak bisa dijadikan alasan untuk bernyaman dan memanjakan diri terlalu lama pada kedai tersebut. Ia harus segera mencari tempat tinggal untuk sementara waktu, sambil mengumpulkan uang agar mampu membeli rumah pribadi.

“Anu, kak.. Saya harus bayar berapa ya, untuk menu yang saya pesan tadi?” tanya Airi dengan nada ragu, merasa takut tak mampu membayarnya.

“Sudah kubilang, tak perlu memikirkan harga! Kau punya telinga, kan? Atau itu hanya hiasan!?” jawab salah satu pria yang bisa dibilang pemilik kedai itu, dengan intonasi merendahkan dan tatapan sinis.

“Leo! Jaga sikapmu pada pelanggan kita!” tegur kawannya yang sudah terbiasa bersikap manis.

“Aku mulai geram dengan sikap ragu-ragunya, Picho! Seakan dia tak percaya bahwa kita telah berbaik hati, mengisi perut kosongnya itu secara gratis!” amuk pria yang dipanggil dengan nama Leo, meluapkan isi pikirannya.

“Anu.. maaf, tapi.. saya hanya..” ucap Airi malu-malu, cemas dan tak mengerti dengan apa yang harus ia lakukan saat ini.

“Tak masalah, nona.. hmmm.. Bagaimana saya bisa memanggilmu?” ucap pria yang dipanggil dengan nama Picho, menanyakan nama pelanggannya agar bisa lebih akrab.

“Airi. Nama saya Airi Miru.” jawab perempuan pemalu itu, dengan suara yang teramat kecil.

“Baiklah. Tak masalah, nona Airi. Anda bebas makan gratis di kedai kami, kapanpun itu. Kami bahkan ingin menambah uang sakumu. Kami sangat khawatir, melihat kondisi anda yang sepertinya sedang sangat membutuhkan biaya.” ucap Picho dengan ramah dan santun, sembari tersenyum manis.

“Apa?” Airi masih tak mengerti dengan apa yang pria manis itu maksud.

“Tak perlu banyak tanya, dan ambil saja uang ini jika kau masih ingin bertahan hidup!” ketus Leo dengan sinis, sembari menyodorkan setumpuk tebal kertas yang biasa mereka sebut sebagai uang.

“Leo!” lagi, Picho menegur kawan esnya yang telah bersikap kurang sopan pada pelanggan mereka.

“Apa!?” balas Leo, tak kalah garang.

Picho menghela napas pasrah. “Sudahlah. Maafkan kawan saya ini ya, nona Airi. Dia memang seperti itu sikapnya.” ucapnya ramah.

“Apa? Eh? Oh..! Ah, tak masalah.. saya sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Tapi maaf, sepertinya saya tak bisa menerima kebaikan kalian lebih dari ini.”

“Lihat? Dia bahkan tidak menghargai kita!” kesal Leo, mendengar penolakan halus dari Airi.

Picho yang muak dengan tingkah kawan sinisnya, memberi tatapan sinis pada Leo. Namun kali ini, pria manis itu tersenyum iblis, memiliki ide nakal dalam kepalanya.

Senyuman iblis itu membuat Leo merasa merinding, namun belum sempat ia mengungkap rasa takutnya, Picho sudah lebih dulu mengambil tindakan.

Dengan cekatan, Picho mengambil tali dan lakban, lalu mengikat Leo di kursi juga melakban mulut tajamnya. Kali ini Leo hanya bisa terbelalak sembari meronta, berusaha lepas dari ikatan yang sahabatnya berikan.

“Jangan banyak bergerak, jika kau tak mau tali itu melukai dirimu sendiri!” tegas Picho pada Leo, sedikit mengancam. Pria yang lelah meronta akhirnya terdiam, menyerah untuk memberi perlawanan.

Atensi Picho kembali teralihkan pada Airi. Ia menatapnya dengan hangat, sembari berkata. “Maafkan mulut tajam kawanku ini ya, Airi. Namun, aku masih khawatir. Apa kau benar akan baik-baik saja, hidup dengan sisa uang segitu?”

Airi membalas kehangatan Picho dengan senyuman yang teramat manis. “Tak apa. Saya bisa mencoba cari cara sendiri untuk bertahan. Terimakasih atas bantuannya.”

Mendengar penolakan yang berulang kali terucap, Picho akhirnya menghela napas pasrah. “Baiklah, jika kau sebegitunya menolak. Jaga diri baik-baik ya. Jika kau perlu bantuan, kami akan selalu di sini.”

“Hu-um! Terimakasih atas tawarannya!” balas Airi sembari tersenyum manis, sebelum akhirnya berpamitan dengan para pria yang berada di kedai tersebut.

Perempuan itu, melangkah berat membawa berbagai rasa bimbangnya menuju pagar keluar dari kedai Lecho’s. Sedikit berpikir, akan kemana lagi kaki membawanya kali ini.

Sebenarnya, Airi masih ingin berada di kedai nyaman itu. Dan jujur, ia sangat ingin menerima tawaran uang dari mereka. Namun ia merasa malu. Diizinkan makan gratis saja, ia sudah bersyukur.

Jika menerima bantuan mereka lebih dari ini, ia merasa tak memiliki lagi harga diri. Jadi perempuan malang itu hanya bisa terdiam didepan pagar kedai, merenungi apa lagi yang sebaiknya ia lakukan setelah ini.

Dari kejauhan, Leo dan Picho masih memperhatikan gerak gerik Airi yang tampak seperti orang tersesat. Mereka saling melempar tatapan cemas satu sama lain.

Leo yang entah sejak kapan sudah bisa lepas dari tali dan lakban hasil ulah usil Picho, bertanya dengan penuh kekhawatiran. “Apa kau yakin, dia akan baik-baik saja?”

Picho dengan tenang menjawab. “Entahlah. Satu hal yang ku tahu pasti. Cepat atau lambat, dia akan kembali lagi kemari.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!