Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan Makan Siang
"Anak?" Seila cukup kaget dengan hal itu. Sejauh ini, Laura tidak pernah membahas tentang anak, bahkan Laura sempat mencetuskan kepadanya bahwa Laura tidak ingin memiliki anak.
"Bukannya kamu tidak ingin ada anak." Seila kembali mempertanyakan hal itu.
Laura mendesah, "ya, sampai detik ini, aku tidak ingin ada bayi diantara kami." Karena dia tidak yakin bisa menjadi ibu yang baik seperti orang tuanya. Yang tidak punya waktu untuknya sama sekali. Yang tidak pernah bertanya bagaimana perasaannya, apa yang dia inginkan, dan tidak peduli dengan apa pun yang dia lakukan. Entah itu memalukan atau membanggakan sekalipun. Baik ibunya, atau ayahnya, sama saja.
Laura merasa dia juga akan sama buruknya dengan orang tuanya jika kelak memiliki seorang anak. Daripada menjadi orang tua yang kejam, dia memilih untuk tidak memiliki keturunan.
"Siapa tahu sebenarnya Nick menginginkannya," katanya dengan ragu. Jika benar Nicholas mengharapkan kehadiran anak diantara mereka, lantas apa yang harus dia lakukan? Bersedia mengandung?
Tubuh Laura gemetar seketika mengingat saat dia sakit dan membujuk ibunya untuk tidur bersamanya, dan ibunya menolak inginnya tersebut. Laura ingat, tubuhnya menggigil hebat dan dia hanya bisa meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri.
Saat ia mencoba menghubungi ayahnya, yang menjawab adalah istrinya yang lain. Laura dimaki, dikutuk dan sampai detik ini dia masih mengingat kutukan itu.
"Lantas, apa kamu sudah benar-benar siap jika Nicholas memang ingin memiliki bayi?"
Pertanyaan Seila membuatnya tersentak. Dia menggelengkan kepala dengan kuat, matanya merah menahan tangis. "Tidak. Aku tidak ingin punya anak!" Dia histeris dan Seila langsung memeluknya, menenangkannya.
"Ssttt... Tenanglah, Sayang," bujuk Seila dengan lembut. "Kamu tidak harus memaksakan segalanya. Kamu tidak harus mengubah apa yang sudah kamu tetapkan sejak awal. Childfree bukan sesuatu yang buruk. Itu hakmu. Kurasa jika Nicholas menginginkannya, dia sudah mengatakannya sejak awal."
Laura selalu bersyukur dengan keberadaan Seila. Temannya itu selalu berhasil menenangkannya. Mungkin, jika Seila tidak ada, dia sudah cepat gila. Terpuruk dalam amarah yang tak bisa dia luapkan, terkukung dalam kesepian, kesunyian, keheningan yang baginya sangat menyesakkan dada.
"Kamu selalu mampu menenangkanku," Laura memeluknya lebih erat lagi. "Jadi, apa yang harus kulakukan agar hubungan kami membaik lagi, hangat seperti..." Tib-tiba dia terdiam, keningnya mengerut dalam, dan kemudian wajahnya berubah murung.
"Hei, ada apa?" Seila bertanya sambil mengusap kepalanya. "Kenapa kamu tiba-tiba terdiam. Ada yang salah?" Mengamati wajah Laura dengan seksama.
"Aku baru menyadari sesuatu," ucap Laura. Wajahnya mendadak pucat pasi.
"Jangan membuatku takut." Seila ikut tegang.
"Hubungan kami tidak pernah hangat setelah kami menikah. Kehangatan itu ada sebelum kami menikah," lirihnya. Perlahan mimik wajahnya berubah, dari murung menjadi sedih dan berubah menjadi ngeri. Ia panik. Ia menatap Seila.
"Jangan-jangan... Jangan-jangan Nicholas tidak mencintaiku, tidak menginginkan pernikahan ini."
Manik Seila membeliak, jelas dibuat kaget.
"Ya, sangat masuk akal," Laura menjauhkan dirinya dari Seila. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah yang semakin pucat. "Sikap dinginnya kepadaku, jelas karena sebenarnya dia tidak mencintaiku. Ta-tapi, dia melamarku?"
Laura bingung. Otaknya tidak bisa mencerna semuanya. Dia berbalik lagi menatap Seila, seakan wanita itu punya solusi atas semua masalahnya.
"Kamu ingat dia melamarku, 'kan?"
Seila menganggukkan kepala.
"Pria yang melamar wanita, berani mengajak menikah, berkomitmen, bukankah artinya dia mencintai wanita itu, Seila?" Perlahan kulit wajahnya mulai berwarna. "Tidak mungkin Nick melamarku jika dia tidak mencintaiku, bukan?"
Apa yang sebenarnya dilakukan Laura? Menenangkan dirinya sendiri?
"Aku benar 'kan, Seila?" Laura mencoba tersenyum. "Nick mencintaiku. Dia hanya sedang sibuk. Tertekan dengan banyaknya pekerjaan. Dia pria yang penuh tanggungjawab. Dia menyelamatkan perusahaan ibuku dan nasib karyawan. Harusnya aku memakluminya, bukan justru berpikiran sempit seperti tadi. Astaga, aku keterlaluan sekali," Laura menepuk jidatnya.
"Kami saling mencintai. Tidak seharusnya aku meragukannya."
Seila kembali mengangguk. "Ya, berhentilah berpikiran macam-macam. Aku lapar sekali. Bagaimana jika kita memasak."
Wajah Laura langsung berseri-seri. "Yeay! Aku rindu masakanmu. Aku suka masakanmu." Kedua wanita itu menuju dapur. Dan Laura, selalu memiliki banyak pertanyaan tentang apa pun yang dimasak oleh Seila. Meski demikian, Seila selalu menjawabnya dengan tenang, walau hari-hari sebelumnya dia juga sudah pernah menjelaskan.
"Kelihatannya sangat mudah sekali," komentar Laura saat Seila memasukkan potongan daging. Mereka sedang membuat sop daging kesukaan Nicholas. "Tapi, saat aku memasaknya, rasanya jadi kacau dan berantakan. Nick suka taburan bawang goreng yang banyak dan suka yang pedas."
"Ya, nanti aku siapkan sambelnya juga bawang gorengnya."
"Uh, Seila, kamu baik sekali. Aku bantu kamu iris bawang gorengnya." Dia mengeluarkan cooper blender. Dengan semangat membuka kulit bawang sambil bersenandung seperti anak kecil. "Menyenangkan sekali kamu ada di sini. Apa kamu keberatan jika aku menghubungi Nick, mengundangnya makan siang. Ya, walau aku tidak boleh berharap banyak. Dia punya banyak pekerjaan akhir-akhir ini."
"Lakukan saja. Aku tidak keberatan. Huft, besok aku harus mulai masuk bekerja."
"Tolong jangan mengeluh," kata Laura dengan wajah memohon. "Nick membutuhkan seseorang yang bisa membantunya untuk menjalankan perusahaan. Asisten pribadi yang tiba-tiba meliburkan diri tanpa pemberitahuan sama sekali jelas membuat jadwalnya berantakan. Kamu harus diam dan terima jika Nick memarahimu." Laura melotot pada Seila, menunjukkan bahwa dia berada di pihak suaminya.
"Tidak bisakah kali ini kamu membelaku? Aku takut sekali."
"Tidak bisa!" Laura menggelengkan kepala. "Kamu memang salah. Dan kesalahanmu sudah sangat fatal! Kamu membuatku kesepian dan kamu juga membuat suamiku kerepotan. Dia pulang dengan wajah lelah dan masam, dan dia harus bekerja lagi di ruangannya. Oh, suamiku yang menyedihkan."
"Ya. Ya. Kamu tidak akan pernah membelaku." Seila pura-pura terluka.
"Tapi aku sangat menyayangimu." Laura mendaratkan satu kecupan singkat di pipi Seila. "Aku sudah menyelesaikan bawangnya. Sekarang, boleh aku menghubungi Nick?"
Seila geleng-geleng kepala. "Silakan, Nyonya."
Laura terkikik. Dengan riang dia berlari menuju kamarnya.
"Dia selalu seperti anak kecil," gumam Seila sambil menatap punggung Laura yang menjauh.
***
"Nick..." Sapa Laura begitu panggilan terhubung.
"Apa sesuatu yang buruk terjadi sampai kamu menghubungiku di jam sibuk begini, Laura."
Laura menggigit bibirnya, menyesali sikapnya.
"Maafkan aku. Aku hanya..."
"Ada apa?" Nicholas menyela dengan malas.
"Eum, bisakah kamu pulang untuk makan siang. Aku dan Seila memasak sop kesukaanmu. Sop pedas dengan irisan bawang. Aku membantunya mengiris bawangnya."
Nicholas berdehem. "Jarimu baik-baik saja?"
Hati Laura seketika menghangat dengan perhatian yang diberikan suaminya.
"Jariku baik-baik saja. Aku melakukannya dengan sangat hati-hati."
"Baiklah, aku akan sempatkan untuk pulang."
"Benarkah?" Seru Laura.
"Ya."
"Oh, Nick, terima kasih. Aku akan menunggumu."
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura