Alexa, pewaris klan Black Dragon, hidup dalam bayang-bayang balas dendam. Ketika keluarganya dibantai, ia bersumpah untuk membalas dendam dan merebut kembali tahta yang seharusnya menjadi miliknya. Dalam perjalanannya, ia bertemu Erick, seorang playboy yang perlahan mulai jatuh cinta padanya. Namun, cinta mereka terancam oleh ambisi dan dendam yang membara, Alexa harus memilih antara cinta, balas dendam, dan takdirnya sebagai pemimpin.
"Jauhi aku dan jangan pernah mengejar dan mengharapkan cintaku" Alexa Onyx Medici
"Aku telah jatuh cinta padamu sejak awal kita jumpa, jangan pernah pergi dari sisiku" Raj Erick Aditya Narayan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Ketika Prince Casanova jatuh cinta
Sementara itu di dalam sebuah kamar hotel cahaya bulan menembus tirai yang dibiarkan terbuka, desah dan geraman kenikmatan saling bersahutan, dua manusia berlainan jenis tengah asik menikmati kenikmatan dunia ditengah malam yang dingin ini, sang pria tampak asik memacu tubuhnya hingga bercucuran keringat diatas tubuh sintal seorang wanita, dan ketika dia meraih puncak kenikmatan dengan geraman keras sambil mendongakkan kepalanya dia melepaskan himpitan tubuhnya di atas tubuh wanita itu dan menebarkan benihnya di atas perut rata wanita di bawahnya yang memasang wajah kecewa.
"Mengapa kamu membuangnya di luar ? Aku tidak keberatan jika aku mengandung anakmu. Aku juga tak keberatan menjadi istrimu." ucap wanita itu sambil memegang bahu pria itu.
" Kita melakukan ini atas dasar saling membutuhkan dan menguntungkan. Dan aku tidak menginginkan anak dari wanita sepertimu, jika kamu tak suka maka jangan pernah menemui ku lagi. Sekarang menyingkirlah dari tempat tidur ku. Hubungan kita berakhir." ucap pria itu dengan dingin seraya mendorong si wanita.
"Erick.. Maafkan aku, aku tak bermaksud seperti itu. Jangan tinggalkan aku, jangan buang aku. A.. Aku .. Aku akan menuruti kemauanmu. Tapi jangan putus dari aku. Jangan akhiri hubungan kita." ucap wanita itu panik ketika menyadari jika dia telah salah bicara.
"Bianca.. Kamu tau aku tidak mentolerir kesalahan. Kamu telah mengetahui dan memahami dengan pasti apa yang aku katakan dengan tegas di awal hubungan kita. Sekarang menyingkirlah dari atas tempat tidurku, pergilah dan cari lelaki yang akan membuatmu mengandung anaknya." ucap pria yang di panggil Erick sambil turun dari tempat tidur dan menyambar jubah mandi dan mengenakannya menutupi tubuh polosnya.
Erick menepiskan tangan Bianca yang berusaha menggapainya , matanya menatap tajam pada wanita di depannya. Dengan jari telunjuk dan jempolnya, ia menjepit ujung baju sutra yang masih tercium aroma parfum menusuk memabukkan. "Cepat kenakan pakaian menjijikkanmu itu dan segeralah pergi dari kamarku. Mulai detik ini kamu bukan lagi kekasihku," ucap Erick dengan suara dingin.
Bianca terbelalak, tidak menyangka akan ditolak sekejam ini. Air mata mulai mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. "Erick, jangan seperti ini," rintihnya, suaranya bergetar. Namun, Erick tetap diam, matanya menatap lurus ke depan. Ia melemparkan baju itu ke arah Bianca, mengenai bahu wanita itu. Bianca meremas erat kain sutra itu, seolah-olah masih ada sisa kehangatan Erick di sana. Rasa sakit menusuk hatinya. 'Kenapa kau tega padaku?' lirihnya, suaranya teredam oleh isak tangis. Cahaya lampu menyinari air matanya yang terus mengalir, bagaikan hujan yang tak kunjung reda.
Dengan langkah gontai dan bahu terkulai, Bianca mengenakan kembali pakaiannya dan membereskan barang-barang miliknya yang berceceran di lantai. Remang cahaya lampu kamar sedikit membantu Bianca menemukan barang-barangnya yang berceceran dimana-mana. Bianca sadar, jika seharusnya dia tidak menyinggung masalah kehamilan ataupun masalah anak. Satu hal tabu yang dia lupakan ketika dia berhubungan dengan Erick. "Berakhir sudah kehidupan mewahku, gara-gara mulut sialan ini tidak bisa menyaring kata-kata, ahh sial, padahal aku baru saja mulai merasakan bagaimana rasanya menjadi wanita yang bergelimang harta tanpa perlu bekerja keras banting tulang untuk menghidupi diriku dan keluargaku." runtuk Bianca dalam hatinya.
Ia ingat betul bagaimana dulu ia sering menghabiskan waktu di spa, berbelanja di butik-butik terkenal, dan berlibur ke luar negeri dengan menggunakan kartu kredit yang diberikan Erick setelah mereka membuat perjanjian jika mereka berhubungan atas dasar saling membutuhkan tanpa adanya cinta diantara mereka. Sekarang, ia harus memikirkan bagaimana cara menikmati kehidupan mewahnya yang telah terbiasa di jalaninya sejak berhubungan dengan Erick. "Aku tidak akan bisa lagi membeli tas Hermes terbaru," pikirnya sambil menatap tas mahal yang dia pungut dari lantai, juga sepatu hak tinggi runcing branded merahnya yang tergeletak di dekat sofa.
Bianca selalu bermimpi menikah dengan pria kaya seperti Erick. Ia pikir dengan begitu, hidupnya akan selamanya aman dan nyaman. Namun, mimpi itu kini sirna hanya karena dia melupakan satu hal kecil yang berakibat fatal untuknya. Kini musnah sudah mimpinya untuk menjadi seorang istri dari seorang Raj Erick Aditya Narayan. Tak ada lagi kehidupan mewah yang bisa dijalaninya.
Keluar dari kamar mewah hotel yang dipakai oleh Erick, Bianca menggelosor di lorong sepi yang temaram . Tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya Bianca memeluk lututnya , air mata membasahi pipinya. Mimpi indahnya tentang kehidupan mewah bersama Erick kini sirna sudah. Ia tidak hanya kehilangan seorang kekasih, tapi juga kehilangan segalanya. Kehidupan yang dulu penuh kemewahan kini terasa begitu jauh. Dulu, ia selalu bermimpi memiliki lemari pakaian yang penuh dengan gaun-gaun desainer dan perhiasan berlian. Namun, kini ia harus meninggalkan semua itu. Dalam kesendiriannya, Bianca mulai merencanakan cara membuat Erick kembali ke pelukannya.
Cahaya remang-remang lampu menciptakan bayangan panjang di dinding, seolah-olah menyertai kesedihannya. Bianca terus memeluk lututnya, air mata membasahi pipinya yang dingin. Dulu, ia selalu membayangkan dirinya akan hidup bahagia bersama Erick di hotel-hotel mewah seperti ini. Namun, kenyataan pahit telah menghancurkan mimpinya.
"Aku tidak akan membiarkan dia pergi begitu saja," gumamnya dalam hati, sambil menatap tas Hermes di tangannya. Itu adalah hadiah ulang tahun dari Erick. Dengan langkah gontai, Bianca meninggalkan kamar hotel itu, membawa serta luka yang mendalam di hatinya dan tekad untuk membuat Erick kembali ke pelukannya. Ditengah rinai hujan yang membasahi bumi, Bianca meninggalkan hotel itu, melangkah gontai ke arah taxi yang telah dipesannya, dengan riasan wajah berantakan dan badan kotor karena tak sempat membersihkan diri, Bianca memasuki taxi yang dipesannya. Raut wajahnya kini menampakkan tekad dan keinginan untuk mendapatkan kembali Erick.
Pagi pun datang, sinar matahari berusaha menerobos masuk diantara sela-sela tirai yang tertutup rapat. Erick menggeliat, merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Melirik ke arah jam digital di samping tempat tidurnya, Erick dengan santai turun dari tempat tidur. Semalam setelah mengusir Bianca dari kamarnya, Erick langsung berendam air hangat di jacuzzi. Menikmati hangatnya air yang telah dicampur dengan sedikit aromatherapy, Erick menikmati kebebasannya.
Sedikit pun tidak merasa sedih atau pun menyesali perbuatannya dan keputusannya mengakhiri hubungannya dengan Bianca yang baru berjalan dua minggu. Baginya Bianca sama saja seperti wanita-wanita yang biasa mengejarnya dan melemparkan tubuh pada dirinya. "Hah, perempuan dimana-mana saja sama. Hanya tertarik pada wajah dan kekayaan yang aku miliki. Wajar saja jika aku selalu mencampakkan perempuan seperti itu. Sungguh sangat menjengkelkan menghadapi perempuan seperti Bianca yang hanya bisa menghabiskan uangku dengan kegemarannya berbelanja." ucap Erick sambil menyesap champagne di gelasnya.
Erick menyesap champagne-nya sambil menatap pemandangan kota dari kaca jendela kamar mandi yang menampilkan pemandangan pusat kota metropolitan dan menikmati kehangatan air di jacuzzi. "Perempuan memang merepotkan," gumamnya dalam hati.
Ia teringat pada Bianca yang menangis tersedu-sedu saat ia mengusirnya. Namun, rasa kasihan itu hanya sekejap. Segera, pikirannya kembali pada kesenangan yang akan ia dapatkan hari ini. Ia akan pergi ke klub malam favoritnya dan bertemu dengan wanita-wanita baru. "Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan dengan drama," pikirnya sambil tersenyum puas. Namun wajahnya mendadak suram ketika teringat tumpukan dokumen dan setumpuk kerjaan lainnya yang menanti di meja kerjanya.
Pikirannya melayang pada rapat penting besok pagi. Ia harus menyetujui sebuah proyek besar yang akan menentukan masa depan perusahaannya. Namun, untuk saat ini, ia ingin melupakan sejenak beban tanggung jawabnya. Ia menutup matanya, membayangkan wajah-wajah cantik yang akan ia temui malam ini.
Mendesah panjang Erick menaruh gelas champagne kosong dan mengakhiri kegiatan berendam nya, dia kemudian membilas seluruh tubuhnya dan bersiap untuk tidur, memulihkan kondisi badannya dan bersiap menghadapi pagi yang pasti akan menyiksanya dengan setumpuk pekerjaan yang menggunung yang telah disiapkan oleh asistennya.
Pagi ini setelah menyegarkan diri dan mengganti pakaiannya, Erick segera menyantap sarapan pagi yang dipesannya, menyesap kopi hitamnya sambil melirik layar ponsel pintarnya. Beberapa email belum terbaca, dan notifikasi pesan masuk terus berbunyi. Dengan cepat, ia membalas beberapa pesan penting. Setelah selesai, ia bangkit dari kursi dan mengambil tas kerjanya. Koper kecil berisi pakaian kotor sudah siap di samping pintu. "Jangan lupa siapkan laporan keuangan untuk rapat nanti, " pesannya kepada asistennya melalui sambungan telepon.
Dengan langkah cepat, Erick keluar dari kamar hotel dan menuju lobi. Di tengah perjalanan, ia sempat menyapa beberapa tamu bisnis yang dikenalnya. Setelah menunggu sebentar, sopirnya datang dan membantunya membawa koper ke dalam mobil. Di dalam mobil, Erick kembali fokus pada dokumen-dokumen yang akan dibahas dalam rapat pagi ini.
Erick melangkah memasuki lobi anak perusahaan dengan langkah pasti. Jas biru navinya berkilau di bawah sorotan lampu, sementara dasi merah maroonnya menambahkan sentuhan warna pada penampilannya yang maskulin. Aroma parfum mahal tercium samar, menambah daya tariknya. Seketika, semua mata tertuju padanya. Para pegawai wanita, terutama, tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Dengan senyum tipis, Erick mengangguk sebagai balasan.
"Selamat pagi, Tuan Erick," sapa Dewa, asistennya, sambil menyerahkan setumpuk dokumen. "Sudah siap untuk rapat, Tuan." Erick mengambil dokumen itu dan berjalan menuju lift, diikuti oleh tatapan kagum para pegawai wanita.
Baru saja Erick memasuki lift yang akan membawanya ke lantai lima belas tempat dimana akan diadakan meeting dengan para manager di anak perusahaan miliknya, tubuhnya terhempas ke samping ditabrak oleh seorang wanita yang tampak sangat terburu-buru. Wajahnya memerah, rambutnya acak-acakan, dan tasnya hampir jatuh saat dia dengan cepat menekan tombol angka lima belas.
"Maafkan saya," seru wanita itu sambil mengatur napasnya. "Duuuh ini lift kenapa lama banget sih tertutupnya.. Telat nih.. Bisa-bisa gajiku dipotong sama si Tonggos.." seru wanita itu. Begitu pintu lift tertutup, wanita itu berulang kali melihat jam tangan mungil di pergelangan tangannya dan sesekali mendorong kacamatanya yang merosot. Sementara menunggu sampai di lantai yang dituju, wanita itu juga berulangkali membetulkan letak tas selendangnya dan berusaha membenahi kertas yang ada di map yang dibawanya sambil berdecak kesal, "Gara-gara kebablasan nonton drama beginilah akibatnya.. Kesiangan bangun, terjebak macet dan sekarang terancam dipotong gaji. Haaaahhh.. Nasib.. Nasib..."
Saat pintu lift terbuka, wanita itu melangkah keluar. Namun, belum sempat ia melangkah jauh, heels sepatunya patah. Tubuhnya oleng ke depan, namun sebelum ia jatuh, Erick dengan sigap menangkap pinggangnya. Hati Erick berdebar tak terkendali saat menatap dalam ke mata hitam legam wanita itu. Seolah ada aliran listrik yang mengalir di antara mereka. Wajah wanita itu memerah padam. "Terima kasih," gumamnya lirih.
Erick tersenyum tipis, "Sama-sama," ucap Erick. Sejenak, waktu seakan berhenti. Namun, realita segera menyeret mereka kembali. Wanita itu melepaskan diri dari pelukan Erick dan dengan cepat membenahi mapnya yang hampir berhamburan.
Saat itu juga, Erick menyadari bahwa wanita di hadapannya ini memang sangat cantik. Rambutnya yang sedikit berantakan membuatnya terlihat lebih manis, dan matanya yang besar dan bulat membuatnya tampak polos namun penuh misteri.
Erick merasakan jantungnya masih berdebar-debar, bahkan saat wanita itu keluar dari lift dengan tergesa-gesa sambil membenahi penampilannya yang sedikit berantakan. Memegang dadanya, Erick tersadar dari keterpakuannya ketika Dewa mencoleknya dan mempersilakan Erick untuk keluar dari lift menuju ruang meeting. "Cantik, siapa dia ? Mengapa jantungku berdetak kencang saat memeluknya ?" gumam Erick tanpa menyadari jika Dewa bisa mendengar gumaman dan melirik heran kearahnya.