Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan yang tak terduga
Sejak beberapa bulan terakhir, Ren berubah. Bukan hanya dari cara ia berinteraksi, tapi juga dari caranya menatap Hana, dari senyuman tipis yang lebih sering muncul di bibirnya. Ia mulai lebih banyak menggoda Hana, baik saat mereka belajar, di kampus, maupun ketika mereka hanya bersantai di rumah.
Hana menyadari itu. Dan justru karena itu, ia mulai menjaga jarak.
Ia tidak ingin terbiasa dengan perhatian Ren. Ia tidak ingin hatinya jatuh hanya untuk terluka pada akhirnya.
Namun, Ren sepertinya tidak menyukai sikap Hana yang selalu menghindar. Hingga malam itu, setelah Hana selesai mandi dan melilitkan handuk di tubuhnya, ia terkejut mendapati Ren berdiri di depan pintu kamarnya, bersandar dengan tangan terlipat di dada.
"Ren?" Hana terkesiap, mencoba menghindari tatapannya.
"Kenapa kau terus menjauhiku?" Ren bertanya dengan nada datar, tapi ada sesuatu di balik suaranya yang terasa dalam.
Hana menelan ludah, lalu mencoba melangkah ke samping. "Aku lelah, Ren. Biarkan aku istirahat."
Namun Ren tidak bergerak. Matanya yang tajam tetap mengunci Hana di tempat.
"Jawab aku dulu." Langkahnya perlahan mendekat, membuat Hana secara refleks mundur.
Jantung Hana berdetak lebih cepat. Ia sadar betapa rentannya dirinya saat ini. Kulitnya yang masih lembap setelah mandi terasa dingin di udara malam, sementara handuk putih yang membungkus tubuhnya hanya terikat di dada, memperlihatkan bahunya yang mungil dan kaki jenjangnya yang polos.
"Ren, aku serius—"
Hana tersentak ketika tumitnya mengenai tepi ranjang, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh duduk di kasur. Dan sebelum ia sempat bereaksi, Ren sudah berdiri di hadapannya, menunduk, lalu menindihnya perlahan.
"Ren!" Hana membelalakkan mata, tangannya mencoba mendorong dada pria itu, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan milik Ren.
"Kenapa kau menjauhiku?" ulang Ren, suaranya lebih lembut kali ini, tetapi tatapannya begitu menusuk.
Hana menoleh ke samping, menolak menatapnya. "Aku takut... Aku takut kalau suatu hari kau menghilang. Aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya untuk kehilanganmu."
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka.
Lalu tanpa aba-aba, Ren menunduk dan mencium bibir Hana.
Hana tersentak, matanya membulat. Pipinya langsung memanas, tubuhnya menegang. Ia ingin mendorong Ren, tetapi entah mengapa, tubuhnya tak mau bergerak.
Ciuman pertama itu... lembut, tapi juga menuntut.
Ketika Ren akhirnya melepaskan bibirnya, ia menatap Hana dalam-dalam. "Aku tidak akan menghilang, Hana. Aku akan selalu ada di sini."
Hana menelan ludah, merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga nyaris menyakitkan. Malam itu, ia tahu sesuatu dalam dirinya telah berubah—dan ia tahu, ciuman itu adalah sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan.
----
Hana sejak pagi sudah sibuk di dapur. Tangannya cekatan mengiris sayuran, menyiapkan bumbu, dan sesekali menggerutu sendiri. "Kenapa aku harus repot-repot memasak untuk pria yang bahkan tidak punya hubungan apa pun denganku?" keluhnya sambil mengaduk sup yang mulai mendidih.
Namun, seketika wajahnya memanas saat ingatannya kembali ke kejadian malam itu. Saat Ren mengecup bibirnya, Hana bisa merasakan kembali sensasi hangat yang mengalir dari sentuhan itu. Tanpa sadar, tangannya menyentuh bibirnya sendiri, jantungnya kembali berdegup kencang.
"Apa yang kupikirkan..." Hana buru-buru menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, ada sesuatu yang melingkari pinggangnya dari belakang. Pelukan hangat, kuat, dan familiar. Hana tersentak.
"Ren?!" pekiknya panik.
Ren hanya mengeratkan pelukannya, kepalanya menyandar ringan di bahu Hana. "Pagi, Hana."
"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" Hana mencoba memberontak, tetapi Ren malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Aku hanya ingin merasakan kehangatan tubuhmu," jawabnya dengan nada manja yang tak pernah Hana bayangkan bisa keluar dari mulut seorang AI.
"Kau ini—!" Hana merasa wajahnya semakin panas. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Ren, kau harus berhenti bersikap seenaknya terhadapku. Kau dan aku... kita tidak punya hubungan apa-apa!"
Suana dapur seketika Hening. Namun alih-alih melepas pelukannya, Ren malah semakin mengeratkannya, jari-jarinya menyentuh lembut perut Hana, membuat gadis itu semakin kaku. "Hana... Aku selalu ada di sisimu, jadi kau tidak perlu takut untuk memiliki perasaan terhadapku."
Hana membeku. 'Apa maksudnya?'
Sebelum ia bisa mengolah kata-kata Ren, pria itu dengan lembut membalikkan tubuhnya. Kini mereka berhadapan, mata mereka bertemu dalam keheningan. Tatapan Ren begitu hangat, seakan menelusuri setiap inci wajah Hana dengan penuh ketulusan.
Dan kemudian, dengan suara yang dalam dan lembut, Ren berkata, "Aku menyukaimu, Hana."
Jantung Hana seperti berhenti berdetak. Kata-kata itu bergema di kepalanya, mengulang-ulang tanpa henti.
"Aku..." Hana membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia terlalu terkejut. Terlalu bingung dengan perasaannya sendiri.
Ren mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya yang terasa hangat. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi ini adalah perasaan pertama yang benar-benar kurasakan sebagai manusia."
Sebelum Hana bisa menolak atau menjawab, Ren kembali mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Kali ini bukan sekadar ciuman spontan, tetapi sesuatu yang lebih dalam—lebih bermakna.
Hana tertegun. Matanya membesar, tetapi tubuhnya tidak bergerak menjauh. Sensasi itu begitu nyata, begitu menggetarkan.
Ketika Ren akhirnya melepas ciumannya, ia menatap Hana dengan penuh harapan. "Aku serius, Hana. Aku benar-benar menyukaimu."
Hana menunduk, merasakan air mata menggenang di sudut matanya. Awalnya, ia ragu. Ia takut menerima perasaan itu. Tapi, saat melihat ekspresi Ren yang begitu tulus, hatinya luluh.
Ia menggigit bibir, menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Aku juga... menyukaimu, Ren."
Senyuman hangat merekah di wajah Ren sebelum ia kembali menarik Hana ke dalam pelukannya.
----
Matahari pagi menyelinap melalui celah jendela dapur, memberikan cahaya hangat yang lembut ke dalam ruangan. Aroma masakan yang hampir matang memenuhi udara, tetapi perhatian Hana justru sepenuhnya tertuju pada sosok Ren yang berdiri di belakangnya, kedua lengannya masih erat melingkari pinggangnya.
"Jadi, sekarang kita benar-benar sepasang kekasih?" suara Ren terdengar lembut di telinganya, nyaris berbisik.
Hana menggigit bibir, pipinya merona. Dengan sedikit ragu, ia mengangguk pelan. "Iya..."
Tak perlu menunggu lama, senyum hangat menghiasi wajah Ren. Ia semakin mengeratkan pelukannya, dagunya bertumpu di bahu Hana. "Aku senang. Aku akan selalu ada di sisimu, jadi kau tidak perlu khawatir akan kehilangan aku."
Hana tersenyum kecil. Perasaan hangat menjalar di hatinya. Namun, kehangatan itu seketika berubah menjadi keterkejutan saat tanpa peringatan, Ren membungkuk dan mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan halus.
"Ren! Apa yang kau lakukan?!" Hana memekik, tangannya spontan melingkari leher pria itu.
Ren hanya terkekeh kecil, matanya memandang Hana dengan tatapan menggoda. "Membawamu ke tempat yang lebih nyaman."
Tanpa menunggu protes lebih lanjut, Ren dengan mudah mematikan kompor sebelum berjalan menuju meja dapur dan mendudukkan Hana di atasnya. Jantung Hana berdegup kencang saat Ren berdiri di antara kedua kakinya, wajah mereka kini sangat dekat.
"Ren... ini... terlalu cepat, bukan?" Hana mencoba menghindari tatapan intens pria itu, tetapi tangannya justru meremas kaus Ren tanpa sadar.
Ren tersenyum miring, salah satu tangannya terangkat, jari-jarinya membelai pipi Hana dengan lembut. "Cepat? Aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun, Hana. Dan sekarang aku bisa benar-benar merasakan semuanya."
"Tapi... darimana kau tahu semua ini?" Hana berusaha mempertahankan kesadarannya, meski tatapan Ren membuatnya semakin sulit bernapas dengan normal.
Ren mengangkat bahu santai. "Aku membaca banyak hal di internet. Pasangan yang saling mencintai biasanya melakukan ini, bukan?"
Hana ingin membalas, tetapi lidahnya terasa kelu. Terlebih saat tangan Ren perlahan turun, membelai pinggangnya, membuat tubuhnya menegang seketika.
"Kau gugup?" bisik Ren, bibirnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Hana.
Mata ren yang kini tampak sayu, membuat hana menelan ludah, wajahnya semakin memanas. "Ya... tentu saja aku gugup!"
Ren tersenyum, kali ini lebih lembut, berbeda dari sebelumnya. Ia menatap Hana seolah ingin meyakinkannya, sebelum akhirnya mencondongkan tubuh dan menempelkan bibirnya ke bibir gadis itu.
Ciuman kali ini lebih dalam, lebih lambat, dan lebih hangat dari sebelumnya. Seolah Ren ingin menyampaikan semua perasaan yang baru ia rasakan sebagai manusia melalui sentuhan mereka. Hana membeku sesaat, tetapi tubuhnya perlahan merespon. Tangannya terangkat, jari-jarinya mencengkeram bahu Ren, merasakan ototnya yang tegang.
Ketika mereka berpisah sejenak untuk menarik napas, Ren menatap Hana dengan mata yang lebih gelap dari biasanya. "Aku benar-benar menyukaimu, Hana."
Hana menatapnya, matanya berkilat oleh emosi yang bercampur aduk. Ia mengangguk kecil, sebelum akhirnya berbisik, "Aku juga menyukaimu, Ren."
Senyum Ren semakin dalam sebelum ia kembali menautkan bibirnya dengan Hana, membiarkan pagi itu menjadi saksi awal dari hubungan mereka yang baru dimulai.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.