Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Pertemuan Clara Dan Olivia
Pagi Hari — Kamar Clara.
Hari-hari terus berganti, dan pagi kembali datang dengan sinar mentari yang hangat menari masuk lewat celah jendela. Cahaya itu jatuh lembut ke dalam kamar Clara, menyapu pelan kulitnya yang pucat.
Clara, yang masih terbaring di atas ranjangnya, menggeliat perlahan. Tubuhnya merespons hangatnya cahaya pagi. Meskipun dunia gelap bagi penglihatannya yang telah lama hilang, ia tetap mampu merasakan kehadiran pagi lewat sentuhan hangat itu.
"Haaah... pagi lagi, ya," gumamnya pelan, suara seraknya masih dibalut kantuk.
Dengan gerakan pelan, ia bangkit dari tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai dingin saat suara pintu yang berderit menyusup ke telinganya. Langkah seseorang memasuki kamarnya. Clara langsung merespons, naluri siaganya bekerja.
"Siapa itu...? Herald, apakah itu kamu?"
Ia menyebut nama yang paling mungkin. Herald adalah satu-satunya yang biasa menjaga kamarnya dan datang tanpa suara.
Namun suara yang menjawab bukan milik Herald.
"Maaf, ini saya, Susan," ujar sosok itu dengan nada sopan.
Susan, salah satu pelayan keluarganya, masuk bersama dua pelayan lainnya. Mereka mendekati ranjang dengan langkah teratur dan tenang.
"Kami datang untuk membantu Anda bersiap, Nona Clara. Herald sedang tidak bisa datang hari ini. Dia dipanggil oleh Ayah Anda untuk suatu urusan penting."
"Begitu, ya..." jawab Clara singkat, tak bisa menyembunyikan sedikit kecewa dalam nada suaranya.
Tanpa banyak bicara, para pelayan mulai menjalankan tugas mereka. Mereka membantu Clara mandi, merapikan rambutnya, merias wajahnya dengan sentuhan halus, lalu mengenakannya gaun indah berwarna lembut, lengkap dengan aksesori kecil yang mempermanis penampilannya. Wajah Clara yang tadi tampak lelah kini terlihat berseri.
Setelah semua selesai, Clara terduduk di kursinya sejenak. Ia berpikir.
[Herald sedang bersama Ayah. Mungkin akan lama. Kalau aku menunggu di sini, aku hanya akan bosan.] Lalu, sebuah ide muncul di benaknya. [Bagaimana kalau aku saja yang menyusul mereka? Ya... aku ingin bertemu Herald.]
Ia segera berpaling ke arah suara Susan.
"Susan, bisakah kau mengantarkanku ke ruangan Ayah setelah ini?"
"Tentu, Nona. Saya akan mengantar Anda sekarang jika sudah siap," jawab Susan tanpa ragu.
Begitu Clara memberikan anggukan kecil, Susan menggandeng tangannya perlahan dan membimbingnya keluar kamar, sementara pelayan lain mulai membereskan tempat tidur dan kamar yang telah dipakai.
Di sepanjang lorong yang sepi, suara langkah kaki mereka bergema ringan. Untuk mencairkan suasana, Susan mencoba membuka percakapan.
"Nona Clara, jika boleh tahu... bagaimana pendapat Anda tentang Herald?"
Clara terdiam sejenak, mengumpulkan pikirannya. "Hm... Herald, ya," ulangnya pelan. Lalu ia tersenyum tipis. "Dia orang yang istimewa. Selalu baik padaku, meski kadang suka jahil. Tapi justru itu yang membuat suasana jadi lebih hidup. Mungkin... dia satu-satunya orang yang berhasil membuka pintu hatiku yang selalu terasa dingin."
Susan ikut tersenyum kecil. "Jadi, dia begitu berarti bagi Anda..."
Clara mengangguk pelan.
Susan kembali bertanya, kali ini suaranya lebih hati-hati. "Kalau suatu hari dia harus pergi meninggalkan Anda... bagaimana perasaan Anda?"
Clara terdiam. Nafasnya tercekat sesaat sebelum akhirnya menjawab tegas, "Tidak. Dia tidak akan pergi meninggalkanku."
Nada suaranya begitu yakin, hingga Susan sempat terkejut. Tapi ia segera mengubah nada bicaranya menjadi lebih lembut.
"Tenang, Nona Clara. Saya hanya bertanya... andaikan saja. Jika memang itu terjadi, apa yang akan Anda rasakan?"
Kali ini, Clara tidak langsung menjawab. Kepalanya tertunduk sedikit, bibirnya bergerak lirih.
"Aku... akan sangat sedih..."
Hanya kalimat itu yang terucap, namun cukup untuk mewakili segalanya.
Susan menyesal telah menyinggung topik tersebut. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud membuat Anda sedih. Tapi yakinlah... Herald tidak akan pergi. Bukankah kalian sudah membuat janji kelingking sewaktu pesat kemarin?"
Clara tersenyum kecil. "Mm... aku tak khawatir lagi. Kami sudah berjanji."
"Semoga kalian bisa terus bersama," ucap Susan dengan tulus, sembari menggenggam tangan Clara sedikit lebih erat.
**
Mereka melangkah perlahan menyusuri koridor yang tenang, derap langkah kaki lembut di atas lantai marmer terdengar berirama. Saat mereka hampir mencapai tangga utama untuk menuruninya, mendadak langkah Susan terhenti.
Tangannya menggenggam lengan Clara dengan erat. Seketika tubuhnya menegang.
Clara, yang merasakan perubahan itu, memiringkan kepala dengan bingung. "Susan...? Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba menggenggamku begitu erat?"
Tak ada jawaban.
Susan tetap diam, matanya terpaku ke depan, wajahnya memucat seperti melihat sesuatu yang tidak diharapkannya. Rasa takut, atau lebih tepatnya—kekhawatiran, memancar jelas dari raut wajahnya.
Dalam diamnya, sebuah kalimat menggema di benaknya. [Kenapa dia ada di sini...?]
Sosok yang berdiri di ujung tangga itu adalah Olivia—kakak kandung Clara.
Namun bukan karena Olivia itu sendiri Susan merasa gentar, melainkan karena apa yang mungkin terjadi pada Clara. Ia tahu betul sejarah yang rumit antara dua saudari itu. Dan nalurinya langsung memaksanya untuk melindungi Clara.
"H-halo... Nona Olivia. Selamat pagi," ucap Susan dengan suara canggung, mencoba terdengar sopan namun jelas terguncang.
Clara membeku. Nama itu... hanya butuh satu nama untuk membuat seluruh tubuhnya terasa dingin.
[Kakak...]
Clara menunduk sedikit, seolah ingin menyembunyikan wajahnya meskipun ia tahu itu sia-sia. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena perasaan yang belum selesai—rasa asing yang selalu mengendap saat berhadapan dengan sang kakak.
"Hai juga," jawab Olivia singkat. Suaranya datar, tanpa emosi.
Susan berusaha mencairkan suasana. "Apa Anda sedang berjalan-jalan pagi, Nona Olivia? Atau ada keperluan khusus?"
Olivia menatap lurus ke arah Clara, lalu menjawab, "Kurasa hanya berjalan-jalan... dan juga ingin berbicara sebentar dengan adikku."
Mata Olivia tetap tak berpaling. Fokus, menusuk, seakan bisa menembus lapisan dalam Clara.
Susan secara naluriah melangkah sedikit ke belakang, membentuk jarak seolah hendak menjauhkan Clara dari sorotan tajam sang kakak. Tapi saat mendengar permintaan Olivia, ia mendadak tegang.
"...Bolehkah aku berbicara berdua saja dengan Clara? Kumohon tinggalkan kami sebentar."
Susan menahan napas. [Ini tidak biasa...] pikirnya. Selama bertahun-tahun bekerja di mansion ini, Susan mengenal betul bagaimana hubungan antara Olivia dan Clara. Olivia selalu menjaga jarak, bahkan acuh, seperti Clara tak pernah ada. Sekarang... dia tiba-tiba ingin berbicara? Firasatnya langsung menjerit bahwa ini bukan percakapan biasa.
Namun karena terlalu lama terdiam, Olivia mulai kehilangan kesabaran.
"Heii, kau dengar kan? Aku bilang aku ingin bicara empat mata dengan adikku. Jadi—bisakah kau pergi sekarang?"
Nada suaranya sedikit meninggi, cukup untuk membuat Susan tersentak dari lamunannya. Ia masih menggenggam lengan Clara, kini lebih erat lagi.
"T-tapi... Nona Olivia..." ucap Susan ragu. Ia ingin menolak, tapi tak punya alasan kuat yang bisa dikatakan tanpa menyinggung. Kalimatnya terhenti di tengah jalan.
Clara tahu. Ia bisa merasakan getaran dalam genggaman Susan. Ia tahu, Susan mencoba melindunginya. Tapi Clara tak ingin terus-menerus menjadi beban dalam konflik keluarganya sendiri. Ini adalah waktunya... untuk berdiri.
"Tak apa, Susan." Clara berbicara dengan suara lembut namun tegas. "Tinggalkan aku di sini. Aku akan baik-baik saja."
Susan tercengang. "T-tapi, Nona..."
"Aku sudah cukup lama bersembunyi di balik perlindungan orang lain. Sekarang saatnya aku menghadapi ini sendiri. Jadi... ikuti perintahku, Susan. Pergilah."
Clara tidak meninggikan suara, namun kalimatnya membawa bobot yang tak bisa diabaikan. Susan tahu, ini bukan permintaan biasa. Ini adalah keputusan.
"...Baiklah, Nona. Kalau itu yang Anda inginkan," jawab Susan lirih, dengan berat hati.
Ia pun melangkah perlahan menjauh, namun sempat menoleh sekali lagi, memandang punggung Clara dengan hati yang diliputi kekhawatiran. Entah apa yang akan terjadi setelah ini—apakah akan ada luka lama yang terbuka kembali, atau air mata yang jatuh diam-diam di balik keheningan.
Tapi yang pasti, Susan tahu satu hal: Clara hari ini bukan Clara yang dulu. Dan langkah kecil itu... mungkin adalah awal dari sesuatu yang besar.
Di tengah kekhawatiran yang menggantung di benaknya, secercah harapan mulai tumbuh. Sebuah ide melintas, membuat hatinya berdebar lebih cepat—bukan karena takut, tapi karena harapan.
[Ya... Herald. Hanya dia yang bisa membantu. Dia mungkin satu-satunya yang bisa membantu Clara.]
Seketika semangat membuncah dalam dirinya. Wajah yang tadinya murung kini menegang dengan tekad. Susan yakin—jika ada orang yang bisa menghentikan Olivia, maka itu adalah Herald. Dia tidak hanya dekat dengan Clara, tapi juga seseorang yang selalu tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi genting.
Tanpa pikir panjang, Susan segera berbalik. Gaun pelayannya berayun mengikuti langkah cepatnya. Dia tahu Herald sedang berada di ruangan Tuan Astalfo, dan waktu tak bisa menunggu lebih lama. Dengan tekad membara, dia mempercepat langkah, nyaris berlari di sepanjang koridor.
[Tunggu sebentar saja, Clara. Aku akan membawanya ke sana. Herald pasti akan datang...]