NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 21 - Desakan Berbagai Arah

Aku pulang dengan perasaan penuh tanda tanya, memikirkan pria yang kutemui di pemakaman tadi. Dia nampak mencurigakan, dan sayangnya aku tak bisa mendapat informasi apapun darinya.

Karena bingung harus ke mana lagi, aku memutuskan pulang ke apartemen. Gagang pintu sudah aku tekan, kakiku tepat di ambang pintu dan samar-samar suara obrolan menyambut gendang telingaku.

Aku terpaku di tempat beberapa saat, berusaha mendengarkan—tapi percakapan dari orang dengan suara yang tak asing itu tetap tak bisa kudengar.

“Mas?” Aku melangkah masuk, menutup pintu perlahan.

Kulihat Darius dengan wajah pucat—meringis sembari mengusap-usap perut, tengah menelepon seseorang. Meski begitu, dia nampak serius.

Ketika mata kami bersirobok, dia langsung menyapu pandangan. Ponsel dalam genggaman itu ia turunkan dari telinga, sejurus kemudian dia berbalik, setengah berlari menuju toilet tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Aku mengangkat bahu, tak peduli. Memilih menjatuhkan tubuh ke atas sofa, memijat pelipis dengan setengah terperjam. Selang lima menit, Darius keluar dari toilet.

Ekspresi wajahnya itu sulit diartikan. Namun aku tahu, dia sedang menahan jerih. Dan mungkin karena tak mau menarik perhatianku, Darius pura-pura mengabaikan kehadiranku, dia memilih duduk di tepi ranjang.

Ketika bokongnya itu baru beberapa detik menapaki kasur, tubuhnya langsung belingsatan kembali, berlarian menuju kamar mandi. Aku yang melihatnya lantas mengerutkan kening.

“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” Aku beringsut dari sofa, terpikirkan sesuatu.

Segera bergegas menuju dapur demi menuntaskan rasa penasaran sekaligus membuktikan dugaanku. Ketika aku membuka tudung saji, makanan serba pedas yang kubuat sebelumnya ternyata ada beberapa yang sudah dimakan.

“Pantas saja.” Aku menghela napas, lalu berdiri di depan toilet dengan kedua tangan yang kusimpan di depan dada.

Ketika derit pintu terdengar dan menampilkan sosok Darius—yang kali ini dahinya dipenuhi peluh, detik itu juga segera menyuguhkan pertanyaan.

“Kamu memakan masakanku, kan, Mas?” Ada jeda sebelum aku melanjutkan ucapan, “Dan itu sebabnya kenapa kamu bolak-balik ke kamar mandi?”

Darius membuang pandangan. “Aku hanya mencicipi sedikit. Itu karena aku harus meminum obat, jadi aku—”

“Katamu sudah makan,” potongku cepat, masih dengan melipat kedua tangan dan kepala yang sedikit mendongak—persis seperti ibu kos yang sedang menagih uang bulanan.

“Y-ya, sebenarnya aku hanya makan roti. Itu tidak kenyang, jadi ... Ughh, sudahlah!”

Brak!

Pintu tertutup lagi. Suara kran yang diiringi suara yang membuatku mengerucutkan hidung meski tak menghirup baunya.

“Aku akan keluar membelikanmu, obat, Mas. Sementara menunggu, aku akan menyiapkanmu minuman oralit. Minum itu ketika kamu sudah keluar dari toilet,” ujarku setengah berteriak.

Baru saja aku hendak melangkah, tiba-tiba suara kran tak lagi hidup. Sehingga kini pendengaran cukup jernih untuk menyaring suara Darius di dalam sana.

“Jangan pergi dulu, Soraya,” katanya yang membuatku urung sejenak.

“Apa lagi, Mas? Kamu mau sampai kapan membiarkanku melihatmu yang bolak-balik ke kamar mandi? Aku tidak sekejam itu sampai harus melihatmu lemas begini,” serobotku.

“Ibu akan datang.”

Aku menegang beberapa detik.

“Kamu mengunjungi rumah orang tuamu, kan? Ibuku tadi menelepon, dia marah-marah dan bilang akan datang hari ini juga,” tambah Darius yang kali ini sukses membuatku menelan ludah.

Setelahnya aku menepuk dahi pelan. “Huh, aku mana tahu kalau ayah dan ibuku akan melaporkan ke keluargamu. Dan sepertinya aku tahu apa yang membuat ibumu marah.”

“Sudah kubilang, jangan—”

“Aku pergi dulu,” timpalku tanpa menunggu perkataannya.

Buru-buru aku keluar apartemen. Pontang-panting ke apotik dan membeli makan—mengingat masakan yang kubuat mana mungkin bisa dimakan lagi oleh Darius.

Sekitar 20 menit, barulah aku bisa sampai lagi ke apartemen. Aku dengan langkah yang terburu-buru, tetapi langkahku langsung terhenti usai melewati ambang pintu. Suara perempuan yang tampak sibuk mengoceh di depan sana berhasil mengubah atmosfir di sini.

“Mau sampai kapan, Darius? Kita tidak memiliki waktu banyak!”

Di sana—di balik meja makan marmer dan sofa abu-abu yang rapi, dua sosok duduk dengan posisi saling berhadapan, ketegangan seakan menyelimuti wajah keduanya. Sangat tidak asing.

Sang ibu mengenakan setelan berwarna krem, riasannya sempurna, ekspresinya sekeras batu. Sedang Darius hanya diam, tetapi ekspresinya itu bisa tergambar jelas.

“Bu, maaf aku tadi habis dari luar.” Aku menyapa dengan takut-takut, mencoba untuk bergabung ke tengah-tengah mereka.

Bu Mariana tidak langsung menjawab. Ia menatapku dari atas ke bawah, matanya tajam. “Kami sudah menunggu cukup lama,” katanya, datar.

Dia berbeda sekali dari tempo hari—setidaknya kali ini dia benar-benar menunjukkan rasa ketidaksukaannya padaku.

Darius menggeser bokong, memberi kode agar aku duduk di sampingnya.

Ibu mertua mencondongkan tubuhnya, suara lembutnya justru terdengar seperti ancaman. “Ibu tidak bermaksud ikut campur terlalu jauh, tapi waktu terus berjalan. Usia putraku tidak muda lagi. Kamu pun begitu. Sudah sebulan lebih sejak pernikahan … rasanya wajar jika ibu berharap ada kabar baik.”

Aku menarik napas perlahan. Sesuai dugaan, pasti masalah ini yang dibahas.

Sudut bibirku terangkat, senyum paksa aku tunjukkan. “Maaf, Bu, tapi kan situasinya saat ini sedang tidak baik. Mas Darius masih dalam tahap pengobatan, dia belum bisa beraktivitas seperti biasanya. Lalu—”

“Tapi kamu baik-baik saja, kan?” selanya cepat dengan tatapan yang mengintimidasi.

Kepalaku terangguk patah-patah, agak ragu.

“Kamu yang akan mengandung. Darius tidak akan mengalami semua proses itu. Lantas apa yang dipermasalahkan?”

Aku menunduk. Perkataannya barusan seperti orang buta dan lupa ingatan yang seakan memang tak tahu bahwa posisiku saat ini tidak semudah itu untuk melakukannya. Aku bukan Soraya, dan pernikahan yang dilakukan saat itu tentu tidak sah.

Mengapa semuanya menuntut hal semacam itu?

“Bu,” kata Darius yang mencoba untuk menyela ucapan.

“Ayahmu, Darius! Ayahmu itu jatuh sakit, ketakutan kita terjadi lagi. Dia tidak benar-benar sembuh dan waktu kita semakin menipis. Kamu tidak mau ayahmu mati sebelum dia melihat siapa penerus bisnis kita selanjutnya, kan?”

Aku melirik sekilas ke samping, mendapati Darius yang terpekur dengan raut datar. Sepercik binar tak mampir di matanya, kekosongan itu telah menyelimuti.

Karena kami sama-sama diam, Bu Mariana beranjak dari sofa. Aku spontan mendongak, mengamati kepalan tangannya yang berada pada tas jinjing—kekesalan tertanam di sana.

“Kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan? Jangan membuat ini sulit, So-ra-ya!”

Kata-kata itu menekanku. Seakan ada pehamaman lebih dibalik deretan kata tersebut.

Usai mengatakannya, Bu Mariana memilih pergi. Sehingga keheningan menyelimuti kami berdua beberapa saat.

“Jadi, bagaimana, Mas?” tanyaku mencoba memecah keheningan.

Darius bangkit. “Aku tetap tak mau memiliki anak darimu, dari perempuan yang tak aku cintai. Sebentar lagi kita akan mengakhiri kontrak ini, setelah aku benar-benar sembuh dan kembali menjalankan perusahaan sialan itu.”

Aku manggut-manggut. “Maka berusahalah lebih keras untuk menentang mereka. Jangan jadikan aku samsak untuk pelampiasan amarah mereka.”

“Jangan seolah aku yang harus paling menanggung ini semua, kamu juga berusaha. Setidaknya yakinkan keluargamu agar tidak menaruh harapan pada pernikahan ini.”

“... Kecuali kamu siap untuk mendapatkan anak dariku,” tambahnya yang membuat aliran darahku berdesir.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!