ANAK RAHASIA
Di dalam mobil yang terparkir di sudut jalan yang sepi, seorang pria duduk di kursi kemudi, wajahnya dipenuhi amarah.
"Cepat buang anak itu! Kenapa kau diam saja?" bentaknya, suaranya tajam menusuk.
Di kursi belakang, seorang wanita memeluk erat seseorang bayi, dengan tangannya gemetar, dan hatinya berkecamuk.
"Aku tidak bisa, Tuan... Aku tak tega membuang anakku."
Pria itu menoleh tajam. "Kau berani melawan? Kalau begitu, biar aku yang menghabisinya di depan matamu!"
Wanita itu menggeleng keras, air matanya jatuh. Ia tahu, menolak bukan pilihan. Dengan hati hancur, ia turun dari mobil, lalu perlahan meletakkan bayinya di atas tumpukan sampah dalam tong besar, tubuh mungil itu masih terbalut kain tipis.
Sambil menahan isak, ia membisikkan kata terakhirnya. "Maafkan Ibu, sayang... Jika saja ibu tidak menuruti nafsu majikan ibu, atau tepatnya ayah kandungmu. Kau tak akan lahir dengan cara seperti ini."
Tangannya gemetar saat meletakkan selembar kertas berisi pesan untuk orang yang menemukannya. Lalu, dengan langkah berat, ia pergi meninggalkan anaknya yang baru bebrapa hari ia lahirkan. Air mata terus mengalir membawa penyesalan yang mungkin akan ia bawa seumur hidup.
Di tengah keheningan malam, suara tangis bayi yang lirih menggema di gang sempit itu.
Angin dingin menusuk, menggoyangkan kain tipis yang menyelimuti tubuh mungilnya. Namun, dunia seakan tak peduli.
Mobil hitam yang tadi terparkir di sudut jalan sudah melaju menjauh, membawa pergi wanita yang baru saja meninggalkannya.
Beberapa saat berlalu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh berhenti di depan tong sampah itu. Matanya membulat ketika melihat bayi yang menggeliat lemah di dalamnya.
"Ya Tuhan... siapa yang tega membuangmu di sini?" gumamnya, suaranya bergetar.
Dengan hati-hati, ia mengangkat bayi itu ke dalam dekapannya. Tubuh kecil itu terasa dingin, membuat wanita itu segera merapatkan kain yang membungkusnya. Pandangannya jatuh pada secarik kertas yang tergeletak di samping bayi.
Dengan tangan gemetar, ia membuka dan membaca tulisan di atasnya.
"Tolong jaga anak ini. Dia tak bersalah. Maafkan aku, ibunya yang lemah."
Wanita itu menghela napas panjang. Sejenak, ia menatap bayi itu, lalu menatap langit malam yang kelam.
"Mulai sekarang, aku akan mencoba merawatmu."
Dengan langkah mantap, ia membawa bayi itu pergi, meninggalkan kegelapan yang hampir merenggut nyawa mungil tersebut.
Di suatu tempat, jauh dari sana, seorang wanita duduk di dalam mobil, menangis tanpa suara. Dadanya terasa sesak, seolah jiwanya ikut mati bersama keputusan yang baru saja ia buat.
Dengan suara bergetar, ia berbisik pelan, hanya untuk dirinya sendiri. "Semoga kau menemukan seseorang yang baik, yang bisa merawat dan mencintaimu, Reyna…"
Tangannya mengepal di atas pangkuannya, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Namun, mobil terus melaju, menjauh dari pinggiran kota yang penuh dengan kerasnya hidup.
******
"Cup... cup... Sayang. Pasti kau lapar, ya? Sabar, ya... Nenek akan carikan susu untukmu," ujar wanita paruh baya itu dengan lembut, menimang bayi mungil dalam dekapannya.
Matanya menatap penuh kasih pada wajah polos Reyna, yang kini meringkuk dalam kain usang. Tangisnya mulai mereda, seolah memahami bahwa dirinya telah menemukan perlindungan baru.
Dengan langkah tergesa, wanita itu berjalan menuju sebuah supermarket kecil di sudut jalan. Ia tahu tak punya banyak uang, tapi ia tak tega membiarkan bayi ini kelaparan.
"Tunggu sebentar, sayang... Nenek akan berusaha sebisa mungkin untukmu," bisiknya lirih, tekad mulai tumbuh di hatinya.
Namun, Ia menghela napas panjang sebelum melangkah masuk ke dalam toko. Hatinya dipenuhi kegelisahan, tetapi tangisan Reyna yang lemah memberinya keberanian.
"Semoga saja uangku cukup untuk membelikannya susu," gumamnya, menatap uang lusuh yang tergenggam di tangannya, satu-satunya yang ia miliki.
Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju rak susu formula. Tangannya terulur, menyentuh salah satu kaleng kecil yang tertera harga di bawahnya. Hatinya semakin berat saat menyadari bahwa uangnya tak cukup.
Ia berpikir keras. Haruskah ia meminta belas kasihan? Atau mencari cara lain untuk memberi makan bayi yang kini bergantung padanya?
Sementara itu, Reyna menggeliat dalam dekapannya, seakan merasakan kegundahan wanita yang baru saja menyelamatkannya.
Lalu, wanita itu melangkah menuju meja kasir dengan langkah berat, hatinya dipenuhi harap dan kecemasan. Ia meletakkan kaleng susu di atas meja, lalu menatap kasir dengan mata memohon.
"Maaf, Nak... Bisakah harganya dikurangi sedikit? Aku benar-benar butuh susu ini untuk bayi yang kutemukan, tapi uangku tidak cukup," pintanya dengan suara lirih.
Kasir muda itu terdiam sejenak, menatap wanita paruh baya di depannya, lalu melirik bayi yang terlelap dalam dekapannya. Matanya menunjukkan keraguan.
"Maaf, Bu… tapi kami tidak bisa memberikan potongan harga tanpa izin dari pemilik toko," jawabnya dengan nada menyesal.
Wanita itu menunduk, kecewa namun tidak menyerah. Ia mengeratkan genggaman pada uang lusuh di tangannya.
"Kalau begitu… bisa aku beli susu dengan uang yang kupunya? Mungkin kemasan yang lebih kecil?" tanyanya penuh harap.
Kasir kembali melihat daftar harga, lalu menggeleng pelan. "Uang Ibu masih kurang… Tapi, tunggu sebentar, ya."
Ia berbalik, berjalan ke dalam gudang kecil di belakang toko.
Sedangkan wanita itu, berdiri gelisah di depan meja kasir, sesekali menatap Reyna yang masih terlelap dalam dekapannya. Hatinya dipenuhi harapan, namun juga ketakutan, jika kasir itu kembali dengan kabar buruk, apa yang harus ia lakukan?
Tak lama, kasir itu muncul kembali sambil membawa sesuatu di tangannya. Sebuah kotak susu formula kecil.
"Bu, ini ada kemasan kecil yang biasanya digunakan sebagai sampel. Saya sudah bertanya kepada pemilik toko, dan katanya Ibu boleh mengambilnya secara gratis," ujar kasir itu dengan senyum simpati.
Mata wanita itu membelalak, lalu berkaca-kaca. Ia tak menyangka ada yang mau membantunya di saat seperti ini. Dengan tangan gemetar, ia menerima kotak susu itu.
"Terima kasih, Nak… Semoga Tuhan membalas kebaikanmu," ucapnya dengan suara bergetar.
Kasir itu hanya tersenyum. "Jaga baik-baik bayinya, Bu. Semoga dia tumbuh sehat."
Wanita itu mengangguk, lalu segera keluar dari toko. Hatinya sedikit lebih lega. Ia tahu, ini hanya sementara, tapi setidaknya malam ini Reyna bisa minum susu dan tidur dengan perut kenyang.
Namun, di balik semua itu, satu pertanyaan besar muncul di benaknya, bagaimana dengan hari esok?
Wanita itu berjalan cepat menyusuri jalanan sempit menuju rumahnya, mendekap Reyna erat agar bayi itu tetap hangat. Malam semakin larut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang.
Setibanya di rumah, sebuah gubuk kecil di pinggiran kota, ia segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Rumah itu sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan dengan kasur tipis di pojok dan beberapa perabotan usang. Tapi inilah satu-satunya tempat yang bisa ia sebut rumah.
Dengan hati-hati, ia membaringkan Reyna di atas kain lusuh yang menjadi alas tidurnya. Bayi itu mulai menggeliat, tangisnya lirih, menandakan rasa lapar yang tak bisa ditahannya lagi.
Wanita itu buru-buru mengambil air hangat dari termos kecil, mencampurkannya dengan susu yang tadi ia dapatkan. Tangannya sedikit gemetar, takut susu itu kurang atau terlalu panas. Setelah memastikan suhunya aman, ia menuangkan susu ke dalam botol kecil yang sudah lama ia simpan.
Pelan-pelan, ia menyodorkan botol itu ke bibir Reyna. Sejenak, bayi mungil itu diam, lalu mulai menghisap perlahan. Wanita itu menghela napas lega, air matanya mengalir tanpa ia sadari.
"Mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku, Nak. Aku akan menjagamu sebisaku…" bisiknya, menatap wajah polos Reyna dengan penuh kasih sayang.
Di luar, angin malam berhembus kencang, membawa serta kisah baru bagi seorang bayi yang baru saja ditinggalkan, dan kini, menemukan rumah baru di pelukan seorang wanita yang mungkin bukan siapa-siapanya, tetapi bersedia mencintainya sepenuh hati.
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka dengan kasar. Seorang perempuan remaja melangkah masuk dengan langkah gontai, tubuhnya terhuyung-huyung, dan bau alkohol menyengat dari napasnya.
"Ibu… aku pulang…" suaranya terdengar berat, dengan tawa kecil yang terdengar lelah.
Wanita paruh baya itu menoleh cepat, matanya membulat saat melihat kondisi putrinya. "Kamala! Kau mabuk lagi?!" serunya dengan nada kecewa dan khawatir.
Kamala mengabaikan ibunya. Dengan mata setengah terpejam, ia berjalan menuju kasur dan membiarkan tubuhnya terjatuh di sana. Tapi sesaat kemudian, ia mengerutkan kening saat menyadari sesuatu.
"Apa ini…?" gumamnya, melihat bayi mungil yang berbaring di sampingnya. Matanya sedikit terbuka lebar, meski masih diselimuti efek alkohol. "Sejak kapan kita punya bayi?" tanyanya dengan nada bingung dan tawa sinis.
Sang ibu menghela napas panjang. Ia tahu, Kamala sudah semakin jauh berubah. Anak gadisnya yang dulu ceria dan penuh harapan, kini hanya pulang dalam keadaan mabuk dan penuh amarah.
"Dia bukan bayi kita. Aku menemukannya dibuang di tong sampah. Aku tak tega meninggalkannya," jawab sang ibu pelan, menatap Kamala dengan tatapan yang penuh harapan, berharap putrinya bisa mengerti.
Kamala terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. "Hah… jadi sekarang kita jadi tempat penampungan anak buangan? Kita sendiri saja sudah susah, Bu. Apa Ibu pikir bisa membesarkan dia?"
Wanita itu menatap Kamala dengan mata yang penuh kesedihan. "Aku tidak bisa meninggalkannya, Nak. Sama seperti aku tak pernah meninggalkanmu, meski kau selalu membuatku kecewa."
Kamala mendengus, lalu membalikkan badan membelakangi ibunya dan Reyna. "Terserah Ibu… Tapi jangan harap aku ikut bertanggung jawab."
Sang ibu menatap putrinya dengan perasaan campur aduk. Cinta, kecewa, dan harapan yang nyaris pupus. Sambil menatap Reyna yang mulai tertidur pulas, ia berbisik pelan, "Semoga kau tumbuh menjadi anak yang lebih baik darinya…"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments