NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:545
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 - PERKEMAHAN

Seminggu berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari keberangkatan ke perkemahan pun tiba. Revan berdiri di depan gerbang sekolah, membawa ransel besar di punggungnya. Ia menguap kecil, masih sedikit mengantuk karena semalam tidur terlalu larut.

"Revan! Sini!" Farel melambaikan tangan dari dekat bus yang akan membawa mereka ke lokasi perkemahan.

Revan berjalan menghampiri, lalu bersandar di sisi bus. "Lu udah siap?"

Farel mengangkat alis. "Harusnya gue yang nanya gitu ke lu. Jangan pingsan di jalan."

Revan hanya nyengir, tapi di dalam hatinya, ia merasa lega bisa menikmati momen seperti ini. Setelah semua yang terjadi, perkemahan ini terasa seperti liburan kecil yang ia butuhkan.

Tak lama, guru mereka mulai mengatur barisan siswa. "Oke, semuanya masuk ke bus masing-masing sesuai kelompok yang sudah ditentukan!"

Revan melihat daftar yang ditempel di pintu bus. Matanya langsung tertuju pada namanya… lalu mengerutkan kening.

"Eh, gue satu kelompok sama siapa aja?" gumamnya.

Farel mengintip. "Hah? Lu sama gue, terus… Nayla, Dika, sama… Astrid."

Revan menoleh ke Farel dengan ekspresi bingung. "Astrid? Si cewek yang suka duduk di belakang kelas itu?"

Farel mengangguk. "Iya, yang jarang ngomong. Wah, kayaknya bakal menarik."

Revan hanya mengangkat bahu. Ia tidak terlalu kenal Astrid, tapi mungkin ini kesempatan untuk lebih akrab dengan teman-teman sekelasnya.

Tanpa berpikir panjang, ia naik ke dalam bus, duduk di kursi dekat jendela, dan menatap keluar.

Ia berharap perkemahan ini benar-benar hanya tentang sekolah dan tidak ada kejadian aneh lagi.

Tapi… entah kenapa, firasatnya mengatakan sebaliknya.

Setelah melihat daftar kelompok lagi, Revan memperhatikan perubahan nama-nama yang akan menjadi teman satu timnya selama perkemahan.

"Jadi… kelompok kita isinya gue, lu, Alisha, Danudara, sama Indira," kata Revan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi bus.

Farel terkekeh. "Kayaknya bakal menarik. Alisha kan lumayan aktif di kelas, Danudara anaknya santai, terus Indira…"

Revan mengangkat alis. "Gue nggak terlalu kenal Indira. Dia kayak gimana?"

Farel mengangkat bahu. "Nggak banyak ngomong dia mah, tapi kalau dia ngomong, biasanya langsung kena mental."

Revan hanya mengangguk-angguk. Ia masih belum yakin bagaimana dinamika kelompok mereka nanti, tapi ia berharap semuanya berjalan lancar.

Beberapa menit kemudian, bus mulai bergerak, membawa mereka keluar dari kota menuju lokasi perkemahan di daerah pegunungan.

Perjalanan berlangsung cukup tenang. Beberapa siswa sibuk berbincang atau mendengarkan musik, sementara yang lain tidur. Revan sendiri memilih menikmati pemandangan dari jendela, membiarkan pikirannya melayang.

Namun, sesaat sebelum ia benar-benar rileks, sebuah perasaan aneh muncul di dadanya.

Seperti… firasat buruk.

Ia menghela napas. "Mungkin cuman perasaan gue aja," gumamnya pelan.

Yang jelas, apapun yang menunggu mereka di perkemahan nanti, Revan bertekad untuk menghadapinya seperti biasa—tanpa terlalu banyak drama.

Saat bus melaju melewati jalan berkelok menuju perkemahan, suasana di dalamnya mulai lebih hidup. Beberapa siswa bercanda, ada yang mulai memperebutkan camilan, dan ada juga yang sudah tertidur dengan mulut menganga.

Farel menyikut Revan. "Rev, coba deh lihat Danudara."

Revan menoleh dan langsung terkekeh. Danudara tertidur dengan kepala miring ke belakang, mulutnya terbuka lebar seperti ikan koi kelaparan. Yang lebih parah, Alisha yang duduk di sebelahnya sedang mengambil foto dengan ekspresi penuh kemenangan.

"Ini bakal jadi bahan gibahan seumur hidup," kata Alisha sambil menyeringai.

Indira yang duduk di depan mereka hanya melirik dan berkata santai, "Pastikan fotonya kualitas HD. Biar bisa dicetak kalo perlu."

Revan dan Farel hampir tertawa terbahak-bahak, tapi mereka buru-buru menutup mulut saat melihat guru mereka berjalan mendekat.

Tapi masalah baru muncul.

Saat bus melewati polisi tidur, sebuah guncangan membuat Danudara tersentak bangun dengan ekspresi panik. "SERANGAN DADAKAN!" teriaknya sambil reflek mengayunkan tangan.

Sayangnya, tangannya malah kena kepala Farel.

PLAK!

Farel langsung memegangi kepalanya. "WOI! GUA NGGAK NGAPA-NGAPAIN!"

Danudara masih kebingungan, matanya setengah sadar. "Hah? Hah? Kita di mana? Udah nyampe kah?"

Revan, yang sudah terlipat dua menahan tawa, menepuk bahu Danudara. "Santai, kita bukan lagi di medan perang."

Sementara itu, Alisha dan Indira sudah sibuk membagikan foto Danudara ke grup kelas.

Saat Danudara melihat itu, wajahnya langsung berubah pucat. "Tunggu. TUNGGU! HAPUS! GUE BAYAR BERAPA PUN DEMI FOTO ITU DIHAPUS!"

Alisha hanya tertawa. "Udah terlambat, Danu. Udah dijadiin bahan gibahan."

Perjalanan baru setengah jalan, tapi Revan bisa merasakan kalau perkemahan ini bakal penuh dengan kejadian konyol.

Dan dia… tidak keberatan sama sekali.

Bus akhirnya sampai di lokasi perkemahan, sebuah area luas di kaki gunung dengan pohon-pohon tinggi dan udara sejuk. Para siswa turun satu per satu sambil membawa tas mereka.

Revan meregangkan badan sambil menghirup udara segar. "Akhirnya! Gua bisa ngerasain jadi manusia setelah duduk tiga jam di bus."

Farel menepuk pundaknya. "Sama. Gue hampir berubah jadi fosil di kursi tadi."

Sementara itu, Danudara masih sibuk memohon ke Alisha. "Serius deh, plis hapus fotonya. Kalau emak gue liat, gue bakal disuruh puasa gadget setahun!"

Alisha hanya tersenyum licik. "Hmm… mungkin kalau lu mau cuci piring buat kita selama kemah ini, gua bisa pertimbangkan."

Danudara langsung memasang ekspresi pasrah. "Nih, lihat baik-baik. Ini wajah seorang lelaki yang telah kehilangan harga dirinya…"

Indira yang sejak tadi diam, tiba-tiba berkomentar. "Harga diri lu udah hilang sejak mulut lu nganga di bus, Danu."

Semua langsung ngakak, kecuali Danudara yang langsung pura-pura menatap langit dengan wajah sendu.

Para guru mulai mengatur pembagian tenda.

"Oke, kalian sudah dibagi kelompok. Setiap kelompok akan tinggal dalam satu tenda besar!" kata salah satu guru.

Farel mengangkat tangan. "Pak, kelompok kami ada cewek dan cowok, gimana tuh?"

Guru itu berpikir sejenak. "Hmm… yaudah, kalian tetap satu kelompok, tapi dipisah tendanya. Yang cowok satu tenda, yang cewek satu tenda."

Mendengar itu, Revan dan Farel langsung lega. Tapi Alisha malah menyeringai. "Jadi kalau tengah malam kita cewek-cewek minta tolong karena ada hantu, kalian wajib nolongin, ya?"

Farel langsung panik. "WOI JANGAN NGOMONG GITU! BELUM APA-APA GUE UDAH MERINDING!"

Indira menambahkan, "Kalau kita ketakutan, kita tinggal teriak aja. Kalau kalian nggak datang… ya, bakal ada sesuatu yang menarik datang ke tenda kalian."

Revan menelan ludah. "Tunggu, maksud lu apaan?"

Indira hanya tersenyum misterius, lalu masuk ke tendanya.

Farel langsung menepuk bahu Revan. "Rev, kita pulang aja gimana?"

Setelah semua perlengkapan dibagikan, tibalah saat mendirikan tenda.

Revan, Farel, dan Danudara berdiri di depan tenda yang masih dalam bentuk lipatan.

Farel mengelus dagunya. "Oke, keknya ini bakal gampang."

Danudara mengangguk. "Iya, tinggal buka, dorong dikit, jadi deh."

Lima belas menit kemudian…

Mereka bertiga masih berdiri di tempat yang sama, menatap sesuatu yang bukan tenda, melainkan… sesuatu yang lebih mirip seni abstrak.

Revan menendang tiang yang entah bagaimana malah melilit ke dirinya sendiri. "Ini tenda atau jebakan Batman?!"

Farel mencoba menarik salah satu tali, tapi yang terjadi malah tiang tendanya roboh dan menimpa kepalanya. "ARGH! SIAPA YANG DESAIN BEGINI?!"

Danudara, yang seharusnya membantu, justru malah sibuk merekam mereka. "Ini bakal jadi konten shit of the day."

Dari tenda sebelah, terdengar suara cekikikan. Alisha dan Indira sudah berhasil mendirikan tenda mereka dengan rapi dan kini sedang menikmati camilan sambil menonton kegagalan tim cowok.

Alisha melambaikan tangan. "Perlu bantuan, kroco?"

Revan mendengus. "Nggak usah, kami jantan, bisa pasang tenda sendiri!"

Dua puluh menit kemudian…

Mereka akhirnya menyerah.

Indira menatap mereka dengan ekspresi tanpa emosi. "Kalau kalian niat tidur di alam terbuka, bilang aja."

Alisha hanya tertawa sambil membantu memperbaiki tenda mereka. "Tenang, cowok-cowok lemah. Kami cewek-cewek kuat siap menolong kalian."

Revan hanya bisa menghela napas. "Ini baru hari pertama, tapi harga diri kita udah ancur, bro…"

Danudara hanya mengangguk pasrah. "Kita cowok, tapi yang lebih jantan kayaknya cewek-cewek itu."

Malam ini akan panjang.

Setelah perjuangan panjang mendirikan tenda (dengan bantuan cewek-cewek tentunya), akhirnya malam pun tiba. Udara di sekitar perkemahan semakin dingin, dan suara jangkrik serta hembusan angin mulai terdengar lebih jelas.

Di tengah lapangan, para siswa berkumpul mengelilingi api unggun. Beberapa sibuk memanggang marshmallow, sementara yang lain hanya duduk santai menikmati suasana.

Revan, Farel, Danudara, Alisha, dan Indira duduk melingkar di sekitar api.

“Wah, udah lama gue nggak ngerasain suasana kayak gini,” kata Farel sambil menggigit marshmallow yang setengah gosong.

Alisha menyeringai. “Tunggu aja sampai ada yang mulai cerita horor.”

Danudara, yang sedang asyik makan, langsung menelan ludah. “Kita bisa nggak lewatin bagian itu? Kita ngomongin yang lain aja, misalnya… harga cabai di pasar?”

Indira melirik Danudara dengan ekspresi datar. “Kalo lu takut, bilang aja.”

Danudara tersenyum canggung. “Takut? HAHAHA! Gue? Takut? Hahaha… iya.”

Revan tertawa kecil, lalu melihat sekeliling. “Eh, tapi serius. Biasanya kalau acara kemah kayak gini, pasti ada uji nyali atau semacamnya, kan?”

Farel mengangguk. “Iya, tapi mudah-mudahan tahun ini nggak ada.”

Baru saja kata-kata itu keluar dari mulut Farel, seorang guru berdiri di depan mereka dan berbicara dengan suara lantang.

"Anak-anak, untuk menambah pengalaman seru kalian di perkemahan, malam ini kita akan mengadakan Ujian Nyali!"

Farel dan Danudara langsung membeku di tempat.

Sementara itu, Alisha dan Indira saling melirik dengan senyum penuh antisipasi.

“Ya Tuhan… Kenapa gue nggak belajar shut up waktu di rumah?” bisik Farel putus asa.

Guru melanjutkan penjelasan. “Setiap siswa akan berjalan melewati jalur yang sudah ditentukan di hutan. Tenang saja, ini aman, dan ada panitia yang berjaga di titik-titik tertentu.”

“AMAN?” Danudara nyaris teriak. “Pak, bapak tahu kan kita ini anak-anak? Kenapa malah disuruh masuk hutan sendirian?!”

Guru hanya tertawa kecil. “Kalian akan berjalan satu per satu dengan jarak lima menit. Jangan khawatir, nggak ada yang akan terjadi.”

Revan menghela napas. “Oke, siapa duluan?”

Guru mengecek daftar. “Urutan pertama… Danudara.”

“Hah?” Danudara langsung pucat. “Bapak bisa ganti ke urutan terakhir nggak? Atau kalau bisa, saya di rumah aja?”

Semua tertawa melihat ekspresi Danudara yang ketakutan.

“TENANG AJA, DANU!” teriak Alisha sambil menepuk punggungnya keras-keras. “Kalau ada yang ganggu, langsung lari aja secepat mungkin!”

“Kalau yang ganggu bisa lari lebih cepat gimana?!”

Indira menambahkan, “Yaudah, lu tinggal pasrah.”

Danudara menghela napas panjang. “Oke. Gue pergi dulu.”

Dengan langkah berat, Danudara pun memasuki hutan, membawa senter kecil sebagai satu-satunya sumber cahaya.

Lima menit berlalu…

Sepuluh menit berlalu…

Danudara belum kembali.

Revan mulai merasa ada yang aneh. “Harusnya dia udah balik, kan?”

Farel menelan ludah. “Iya, harusnya…”

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari dari arah hutan.

DUG! DUG! DUG! DUG!

Semua langsung menoleh ke arah suara itu.

Danudara muncul dari kegelapan, berlari sekencang mungkin sambil teriak, “LARI! ADA SETAN! ADA SETANNN!!!”

Semua siswa langsung panik.

“WOI WOI WOI, SERIUS?!” Farel sudah bersiap lari.

Tapi sebelum ada yang bergerak, sesuatu keluar dari balik pohon…

Seekor MONYET dengan ekspresi bingung berdiri di belakang Danudara.

Hening.

Satu detik.

Dua detik.

Semua langsung ngakak.

“DANU! ITU CUMA MONYET, WOI!” teriak Revan sambil tertawa sampai sakit perut.

Danudara masih ngos-ngosan. “T-TAPI TADI… TADI DIA JALAN PELAN DI POHON, TERUS NGELIHATIN GUE DARI ATAS… MUKANYA PERSIS KAYAK…”

Farel terbatuk menahan tawa. “Persis kayak apa? Persis kayak guru olahraga kita?”

Semua makin ngakak. Bahkan Alisha sampai jatuh ke tanah karena nggak kuat nahan tawa.

Danudara hanya bisa duduk lemas di tanah. “Udahlah, harga diri gue beneran udah habis di kemah ini…”

Indira menepuk bahu Danudara. “Kita semua udah tahu itu, Danu.”

Malam itu, ujian nyali berubah menjadi sesi roasting Danudara.

Setelah ujian nyali yang lebih mirip prank monyet itu, para siswa akhirnya kembali ke tenda masing-masing. Beberapa masih menahan tawa melihat wajah Danudara yang trauma, sementara yang lain mulai mengantuk.

Revan, Farel, dan Danudara berbagi satu tenda. Begitu mereka masuk ke dalam, Farel langsung merebahkan diri di sleeping bag-nya.

“Ahhh… akhirnya bisa tidur…”

Revan ikut berbaring. “Sumpah, gue udah ngantuk banget.”

Danudara yang masih gemetar duduk di sudut. “Gue nggak bisa tidur. Kalian nggak tahu betapa seremnya tatapan monyet itu…”

Farel mendengus. “Danu, serius, dia monyet, bukan mantan lo.”

“Kalau mantan gue yang ngeliatin dari atas pohon, gue lebih takut lagi.”

Revan baru merasakan rasa indah masa SMA, karena saat SMP ia dipenuhi oleh perundungan dan juga kesepian, akhirnya Revan bisa merasakan bagaimana rasanya punya teman yang sangat peduli padanya dan sefrekuensi.

Revan tertawa kecil dan menutup matanya. Akhirnya, ketenangan datang...

SREEEK.... SREEEK...

Suara aneh terdengar dari luar.

Danudara langsung menegang. “K-Kalian dengar itu?”

Farel, yang sudah setengah tidur, hanya bergumam. “Kalau bukan suara lo minta pulang, berarti nggak penting.”

Revan mengintip dari dalam tenda. “Mungkin angin.”

Tapi tiba-tiba, ada BAYANGAN BESAR yang bergerak di luar tenda mereka.

Danudara langsung panik. “GUYS, GUE SERIUS. KAYAKNYA ITU—”

BRUKKKK!

Tenda mereka AMBRUK!

Semua langsung berteriak panik di dalam tenda yang tiba-tiba roboh.

“WOI WOI APAAN NIH?!”

“REVAN, LU NGINJEK MUKA GUE!”

“DANU, JANGAN PELUK GUE, INI BUKAN DRAMA ROMANCE!”

Dengan perjuangan penuh, mereka bertiga akhirnya merangkak keluar dari tenda… dan menemukan Farel tertindih tiang tenda dengan ekspresi pasrah.

Di samping mereka, berdiri seekor SAPI yang tampak polos sambil mengunyah rumput.

Hening.

Danudara menunjuk sapi itu dengan tangan gemetar. “K-Kenapa ada sapi di sini?”

Farel, yang masih tertindih tiang, mendesah. “Gue nggak tau, tapi tolong… angkat… ini…”

Revan dan Danudara buru-buru mengangkat tiang tenda dan membantu Farel bangkit.

Alisha dan Indira, yang mendengar kegaduhan, datang menghampiri. Begitu melihat keadaan tenda Revan yang ambruk dan sapi yang berdiri santai di samping mereka, Alisha langsung ngakak.

“AHAHAHAHAHA! GILA, SAPI NGAMBRUKIN TENDA LU?! KALIAN DIKERJAAN MONYET DAN SAPI DI MALAM YANG SAMA?!”

Indira hanya menghela napas. “Gue nggak tahu ini kemah atau kebun binatang.”

Revan mengacak rambutnya frustasi. “Siapa sih yang pelihara sapi di sini?”

Dari kejauhan, terdengar suara bapak penjaga perkemahan berteriak, “WOI, ITU SAPI GUE! SAPIII, BALIK SINI LU!”

Sapi itu hanya melenguh santai dan berjalan menjauh, meninggalkan Revan dan teman-temannya dengan tenda ambruk dan harga diri yang hampir tidak tersisa.

Danudara menghela napas panjang. “Jadi gini ya… hidup di alam liar…”

Farel menepuk bahu Danudara. “Enggak, Danu. Ini bukan alam liar. Ini cuma kita yang sial.”

Setelah insiden sapi tadi malam, pagi harinya Revan dan teman-temannya menghadapi masalah yang lebih besar—tenda mereka masih ambruk, dan mereka harus mendirikannya lagi sebelum kegiatan pagi dimulai.

Farel berdiri di depan tumpukan kain dan tiang tenda dengan tangan di pinggang. “Oke, kita harus bikin ini lagi. Gampang, kan?”

Revan mengangkat satu tiang tenda dan mengamati bentuknya. “Iya… harusnya gampang…”

Danudara berdehem. “Tapi ada satu masalah.”

“Masalah apa?” tanya Farel.

Danudara menunjuk kain tenda yang kusut. “Gue gak tahu ini bagian atap atau lantai.”

Hening.

Revan, Farel, dan Danudara saling pandang.

Alisha yang sedang lewat, berhenti dan bersedekap sambil mengamati mereka. “Serius, cowok-cowok sekalian, segitunya gak bisa pasang tenda?”

Indira, yang juga melihat dari kejauhan, hanya menghela napas dan duduk di kursi lipatnya sambil menyeruput teh hangat. “Gue udah prediksi ini bakal terjadi.”

Farel menyingsingkan lengan baju. “Udahlah, gak usah banyak bacot, kita pasang aja.”

Dan dimulailah proses pembangunan tenda yang penuh kekacauan.

Setelah 30 menit penuh perjuangan, akhirnya tenda mereka berdiri.

…Tapi begitu angin kencang bertiup, tenda langsung rubuh lagi.

Alisha sudah berjongkok sambil menahan perutnya karena terlalu banyak ketawa. “HAHAHAHA… GILA, INI TONTONAN BODOH TERBAIK PAGI INI!”

Indira menyesap tehnya dengan tenang. “Gue bisa bikin esai tentang betapa kacaunya proses ini.”

Farel bangkit dari tanah dengan ekspresi lelah. “Udah, udah. Kita coba sekali lagi…”

Akhirnya, dengan sedikit bantuan (dan banyak hinaan) dari Alisha dan Indira, tenda mereka akhirnya berdiri dengan benar.

Revan menyeka keringat dari dahinya dan menghela napas lega. “Akhirnya…”

Danudara duduk di tanah dengan ekspresi kosong. “Gue gak mau lihat tenda lagi selama sisa hidup gue.”

Farel mengangguk setuju. “Fix. Kalau ada ujian survival di sekolah, gue izin sakit aja.”

Tapi mereka belum sempat menikmati kemenangan mereka karena tiba-tiba…

"WOOOIIII! KEMAHNYA KEBAKARAN!!!"

Mereka semua menoleh panik.

Alisha menunjuk ke arah tenda di seberang mereka, yang kini berasap. “ITUUU! KELAS SEBELAH NGEBAKARAN TENDA!”

Revan, Farel, Danudara, Alisha, dan Indira langsung panik dan berlari ke arah kepulan asap.

Sementara itu, di kejauhan, seorang anak terlihat memegang korek api dengan ekspresi bersalah. “Gue cuma mau nyalain kompor…”

Revan menepuk dahinya. “Ya ampun, baru hari pertama…”

Asap mulai membubung ke langit, sementara teriakan panik terdengar di seantero perkemahan.

“AIR! BUTUH AIR!” teriak salah satu panitia.

Farel yang baru saja sukses mendirikan tenda langsung menjerit, “WOI JANGAN BILANG TENDANYA KEBAKARAN LAGI?! KITA BARU PASANG TUH TADI!”

Alisha buru-buru mendekat dan melihat bahwa yang terbakar adalah tenda kelompok lain. “Tenang, bukan tenda kita! Itu tenda kelas sebelah!”

Revan berusaha tetap tenang dan menepuk bahu Farel. “Bro, ayo kita bantuin.”

“Tapi…” Farel menoleh ke tenda mereka sendiri yang akhirnya berdiri dengan susah payah. “Kalau kita tinggal, nanti ada angin dikit langsung roboh lagi.”

Indira yang masih duduk sambil menyeruput teh berkata santai, “Yaudah, gue jagain tenda, kalian bantuin tuh yang panik-panik.”

Dengan cepat, Revan, Farel, Danudara, dan Alisha ikut dalam operasi pemadaman darurat.

...---...

“ARGHH MATA GUE!!” Revan berguling-guling di tanah.

Farel menepuk-nepuk punggungnya. “Woi, kita lagi damkar mode on, gausah drama dulu!”

“WAAHH JAKET GUE KEBARAAN!”

“LEPAS! LEPAS!” seru Revan panik.

Dengan refleks, Alisha melempar jaketnya ke udara.

Masalahnya…

Jaket itu malah mendarat di kepala seorang guru.

Seketika, semua orang membeku.

Pak Guru melepas jaket itu dengan wajah hitam berasap, lalu menatap mereka dengan tatapan penuh kekecewaan.

Farel berbisik ke Revan. “Rev… keknya kita bakal kena hukuman.”

Revan menelan ludah. “Iya… feeling gue juga gitu.”

...---...

Setelah beberapa menit penuh kekacauan, akhirnya api berhasil dipadamkan.

Tenda yang terbakar habis tidak bisa diselamatkan. Beberapa siswa dari kelompok tersebut terpaksa harus tidur di aula perkemahan.

Sementara itu, Revan dan teman-temannya dipanggil oleh guru pembimbing untuk dikasih ‘ceramah spesial’.

Pak Guru menghela napas panjang sebelum berbicara, “Jadi… siapa yang mau jelasin kenapa tadi hampir bikin guru kebakar juga?”

Farel, dengan wajah pasrah, mengangkat tangan. “Pak, kalau saya bilang tadi itu kecelakaan, bapak percaya?”

Pak Guru memijit pelipisnya. “Nggak.”

Revan, Farel, Alisha, dan Danudara hanya bisa tertawa kecut.

Indira, yang selama ini hanya duduk santai dan minum teh, akhirnya berkata, “Gue bilang juga apa, kalian bakal bikin masalah.”

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
nasipadangenakjir: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
nasipadangenakjir: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!